Jumat, 30 Juni 2017

Teruntuk Aku dari Budapest

Bila air adalah nyawamu
Maka izinkan aku  melepas dahagamu
Apabila kemudian gelap mengikutimu
Tak perlu ragu
Aku adalah kawanmu


Budapest! 
Perjalanan lima hari di kota cantik ini menambah rasa syukur atas nikmat yang tiada henti diberikan-Nya. Untuk seluruh pihak yang kelak akan kuceritakan dalam perjalanan ini, terimakasih karena telah menjadi bagian dari pembelajaranku. Semoga keselamatan senantiasa selalu bersama kalian. Aamiin. 

Hari pertama, aku benar-benar takjub karena gemerlap lampu di pusat kota -yang mana teramat jarang ditemukan di Lippstadt- cantik sekali. Lampu jalan dan penerangan di gedung-gedung entah bagaimana caranya dibuat sangat cantik dan indah, mirip seperti yang sering kita lihat di film :)
Berbagai bahasapun terdengar berseliweran, Inggris, Jerman, Rusia dan tentu saja bahasa Hungaria yang sama sekali ngga aku pahami. Indah sekali melihat beragam wajah dan bahasa berbaur di satu tempat, menikmati keindahan bersama-sama. Namun, ada satu pertanyaan yang melintas begitu saja disela-sela makan malamku, hanya aku perempuan yang berkerudung di sini. 

Biasanya, ketika aku berkunjung ke sebuah kota besar, tak jarang aku berpapasan atau bertukar sapa dengan wanita berkerudung -entah dari negara mana asalnya- Tapi, di hari pertamaku ini, semenjak tiba di bandara, makan malam di pusat kota sampai kembali ke hotel, tak satupun kulihat wanita berkerudung. Hal ini sedikit membuatku penasara, kenapa.

Di hari kedua, terjawablah pertanyaanku, walau belum sepenuhnya. Kala itu aku sedang berdiri di luar toko cinderamata sembari menikmati bangunan-bangunan tua yang menjadi gedung pertokoan. Lalu, seorang pria menghampiriku, ia melempar senyum dengan sopan lalu menyapaku dengan kalimat salam "Assalamualaikum". Aku sontak menjawabnya dengan "Waalaikumsalam", sembari menahan tawa bahagia karena aku bertemu saudara di tanah yang tak kukenal. Kemudian, pria itu berkata dalam bahasa Arab dengan cepat dan lantang. Aku yang tak mengerti bahasa Arab sama sekali langsung memotong perkataannya yang menggebu-gebu "Sorry, i don't speak Arabisch" - iya Arabisch pake -sch Arabisch -_-. Pria itu kemudian kembali mengajakku berbincang namun kali ini dalam bahasa Inggris. 

Harus aku akui bahwa kemampuan bahasa Sundaku yang sering remedial ini lebih baik daripada bahasa Inggris :( Pria yang kemudian aku tahu asalnya dari Tunisia itu sama sekali tidak mengomentari bahasa Inggrisku yang kalang kabut. Dia terus mengajakku berbincang dan semakin bersemangat ketika tahu bahwa aku berasal dari Indonesia. Dia sangat senang ketika ada satu atau dua wisatawan dari Indonesia atau Malaysia yang ia temui. Menurut penjelasannya, sangat jarang wisatawan berkerudung yang ia temui di Budapest olehkarena itu ia sangat bahagia ketika bisa berbincang dengan salah satu saudaranya -begitulah ia memanggilku.

Kemudian, ia kembali bercerita tentang sulitnya melaksanakan puasa di musim panas. Bukan  karena tingginya suhu atau matahari yang bertengger lebih lama melainkan karena keharusan menjaga pandangan dari hal-hal yang tak seharusnya dipandang. Baginya berpuasa di suhu 38 derajat celcius tak seberapa dibanding melihat wanita-wanita dengan sleeveless shirt yang berjalan-jalan di sekitarnya. Mendengarnya, aku mengerti bahwa setiap orang di bulan ramadan memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Untuk sebagian orang mungkin menahan lapar dan haus adalah ujian yang sangat besar tapi bagi sebagiannya lagi menjaga pandangan mungkin adalah ujian yang berat dan bagiku sendiri, menahan hawa nafsu adalah ujianku selama ramadan.

Pria berambut ikal ini selesai menceritakan keluh kesahnya dan bagaimana ia mengatasi ujian-ujian selama ramadan, kemudian ia bertanya bagaimana dengan ramadanku. Belum lengkap aku menjawab pertanyaannya, aku baru memulai dengan kalimat "well, honestly it's my first ramadan here..." dia membrodolku dengan banyak pertanyaan dan pernyataan. Dia tidak mengira aku yang dimatanya begitu fit dan oke oke aja ternyata baru pertama kali puasa di eropa, dia kemudian menawarkan banyak "service" untukku. Selain memberiku banyak nasihat soal ramadan dan bagaimana agar aku bisa tahan berpuasa di Budapest. Ia pun menawariku untuk berkeliling pusat perbelanjaan dengan menggunakan rooder secara gratis! Lebih cepat dan ngga capek, katanya. Bukan bermaksud menolak rejeki tapi pertama aku takut jatuh kedua waktu jalan-jalanku telah habis dan aku harus segera berkumpul kembali dengan kelompokku. Aku menolaknya dengan halus kemudian berpamitan, dia sela ucapan perpisahan kami dia tetap mengingatkanku untuk menjaga ramadanku, thx brother!

Pertemuanku dengan brother ikal satu itu ternyata menuntunku pada pertemuanku selanjutnya dengan seorang ibu dari Indonesia yang telah 17 tahun tinggal di Budapest. Masih sesak karena bahagia bertemu dengan si brother , aku kembali dibuat kaget saat mendengar  pembicaraan dua wanita dalam bahasa Indonesia. Pertama, aku minta maaf dulu karena nguping pembicaraan orang. Aku spontan menoleh ke arah sumber suara, kedua ibu tersebut melempar senyum ke arahku sembari berkata ,"orang Indonesia, ya? PPI?" Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, salah satu ibu berlari mengejar trem sembari melambai ke arahku yang berdiri senang tapi bingung di jalur trem. Lampu pun berubah hijau, aku dan ibu yang sampai sekarang aku sesali kenapa aku ngga nanya nama beliau siapa, melanjutkan perjalanan. Ternyata kami searah, syukurlah! Kemudian beliau bercerita bagaimana suhu 38 derajat ini baginya masih terlalu dingin, ia dan suaminya yang telah 17 tahun tinggal di Budapest dan bagaimana indahnya kota Budapest baginya. Hal kedua yang aku sesali adalah, kenapa aku ngga minta nomer ibu itu. Sebelum berpisah ibu itu memberikan beberapa nasihat untukku selama di Budapest. Terimakasih, Bu! Semoga kita bertemu lagi, aku masih ingat wajah Ibu dan anak Ibu serta kerudung biru yang Ibu kenakan saat itu :) 

Setelah bertemu dengan si brother dan ibu-ibu Indonesia tersebut, entah dari mana asalnya tapi aku jadi semakin semangat untuk terus melanjutkan program perjalanan kami di Budapest. Selain materi dan informasi yang diberikan oleh pendamping kelompok dan pemandu wisata, ternyata banyak informasi lainnya yang tanpa diduga aku dapatkan dari orang-orang yang kutemui di jalan. Ini semakin menambah keyakinanku bahwa keberadaanku di sini adalah untuk belajar. Belajar membuka mata lebih lebar agar semakin peka terhadap sekitar. Belajar bersyukur atas segala yang diberikan-Nya melalui berbagai jalan yang terkadang tidak pernah kita duga. 

Meskipun demikian, aku merasa bersalah pada seorang ibu yang aku ngga tau dari mana asalnya. Saat itu aku sedang menunggu trem untuk kembali ke hotel, dari seberang jalan seorang ibu berkerudung memandangku dengan intens. Ketika lampu untuk penyebrang jalan telah hijau, ibu itu dengan sedikit berlari menghampiriku dan menyapa dengan kalimat salam "Assalamualaikum" aku menjawabnya dengan "Waalaikumsalam". Kemudian ia berkata dalam bahasa Arab yang aku tidak pahami. Aku menginterupsinya dengan berkata bahwa aku tidak mengerti ucapannya. Kemudian dengan terbata-bata dia berkata masjid, shalat sembari melakukan takbiratul ihram dan melipat kedua tangannya di dada. Aku paham, ibu itu bermaksud bertanya di mana masjid ia hendak menunaikan shalat. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sembari terus berkata maaf aku tidak tahu. Aku mencari pemandu wisataku berniat bertanya apakah ada mesjid di sekitar sini tapi sayangnya pemandu wisataku ternyata berada di sebrang jalan dan melambai-lambaikan tangannya ke arah kami sembari menyuruh kami bergerak berpindah halte. Dengan berat hati aku meninggalkan ibu tersebut sembari berkata maaf karena hanya itu yang dapat aku ucapkan. 

Doaku untuk ibu itu, semoga Allah memberikan petunjuk-Nya melalui jalan lain. Maaf aku ngga bisa membantumu, Bu. Tapi kelak, semoga aku bisa membantu dengan cara yang lain.

Perjalanan ini semakin membuatku yakin bahwa persaudaraan itu bukan hanya dari darah atau suku bangsa, Lebih dari itu. Tidak terikat tanah kelahiran, tidak tercantum dalam kartu keluarga melainkan terikrar dalam hati.

Semoga kelak dapat bertemu dengan saudara-saudara yang lainnya di berbagai penjuru dunia.

Salam dariku dan sedikit potret cantik dari Budapest












Minggu, 07 Juni 2015

Panggilan Cahaya

Panggilan Cahaya
Malam ini terang, sangat terang, malam paling terang yang pernah aku lihat. Bukan malam bertabur bintang berhias bulan bundar sempurna, juga bukan malam dengan pelbagai warna – warni nyala lampu. Hanya malam terang bersama warga yang sibuk mondar – mandir dan saling meneriaki, aku mencondongkan tubuhku keluar jendela kamar, mencoba melihat lebih jelas apa yang mereka lakukan di rumahku.
            Terang malam seolah menuntunku terjun dari lantai dua rumahku dan langsung mendarat tepat di antara kerumunan masa yang sibuk, sangat sibuk. Kulihat ayah yang berusaha menenangkan ibu bersama tangisnya yang tak membuat pekak telinga namun terasa pedih di hati. Aku melangkah mendekati keduanya, memeluk ibuku menimpa pelukan ayah. Hangat.
            Aku tak ingin melepaskan pelukanku, hanya saja rasa penasaran ini sangat kuat saat aku melihat salah satu tetanggaku yang berteriak panik memanggil nama ibu, “Bu Warso, Ibu maafkan saya, saya ndak tahu dia di mana, mungkin sedang bermain dengan temannya, tapi dia ndak pamit sama saya, pie iki, Bu?”, jelas Bu Tarminah, tetangga dekatku.
            Aku semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi, apa yang salah dengan malam yang lebih terang dari biasanya. Dan “dia” yang mereka maksud, dia siapa, tolong beritahu aku agar setidaknya aku mengerti situasi ini dan bisa ikut membantu walau hanya mengambil beberapa ember.
            Saat hendak pamit meminta izin pada ibu untuk membantu, ibu seolah tak mendengarku, ia larut dalam tangisnya yang semakin dalam di dada ayah. Aku mencoba menyerunya lagi, nihil, ia tetap tak mendengarku, bahkan menoleh pun tidak. Aku memanggilnya lagi, apa yang salah.
            Seorang warga mengalihkan perhatianku saat ini berlari dengan napas yang tak beraturan, “Itu, bapak petugas e berhasil masuk, itu digendong”, katanya sembari menunjuk bapak berbaju orange lengkap dengan helmet putih bergaris biru yang berjalan tergesa – gesa. “Clear area, tolong beri jalan, tolong, tolong beri jalan”, teriak salah satu temannya yang memimpin di depan.
            Aku mendekati bapak yang mukanya penuh debu dan menghitam, seolah berlulur arang pembakaran sate. Aku semakin dekat dengan bapak yang kini menyimpan apa yang yang digendongnya ke dalam ambulance, ku lihat ayah dan ibu mengikutiku. Dengan penuh keberanian, ayah menatap wajah seonggok tubuh yang kini menggosong, tak banyak yang dapat dilihatnya selain kalung inisial R yang tergantung di leher jasad yang hangus terbakar akibat terjebak di lantai dua rumah yang mengalami kebakaran. Ku dengar ibu semakin menaikan volume tangisnya sampai akhirnya jatuh pingsan saat seberkas cahaya memintaku mengikutinya, meninggalkan ibu, ayah, warga yang sibuk, dan jasad yang hangus, jasadku.

Kuping Gajah


Kecoak! Makhluk secokelat cokelat yang lumer di mulut, bersayap walau tak seindah kupu –kupu, beradar walau tak secanggih GPS, pendiam dan sepi dalam seribu bahasa kalbu yang hanya ia dan teman – temannya mengerti. Pernah tahu suara kecoak, aku pernah. Dan sampai membawaku mengikutinya.
            Ini hari pindahanku, seluruh barang di rumah lama beralih  ke rumah baru yang lebih besar dan luas. Lebih hijau dengan taman kecil di depan dan taman luas di belakang yang cukup untuk dipakai bulutangkis. Kamarku pun jauh lebih luas, lebih indah dengan balkon kecil di luar dan lebih menyenangkan karena aku benar – benar benci kamarku yang dulu. Tidak terlalu kecil tapi cukup menampung lemari baju, rak sepatu, meja belajar, rak buku, keranjang cucian, kasur ukuran single, semua anggota kamarku yang lama. Ah, jangan lupakan satu makhluk lagi, kecoak! Makhluk cokelat yang suka terbang ke sana – kemari menebar teror dan ketakutan bagi setiap pasang mata yang memandangnya. Kecoak! Setiap malam sebelum tidur serentetan ritual aku jalani, menyemprotkan pembasmi serangga, memasang pengusir serangga elektrik, memeriksa setiap penjuru ruangan, memastikan tak ada makhluk kecil bernama kecoak ini, makhluk menyebalkan. Kecil namun membuat tidur tak nyenyak, kecil namun membuatku melempar segala benda padanya, kecil namun cabe rawit, kecil – kecil nakal.
            Ibu selalu bilang untuk tidak menindas yang lemah, aku membela diri, aku tak pernah menindas yang lemah, kalau benar kecoak itu lemah mana mungkin mereka sanggup bertahan hidup begitu lama, mana sanggup mereka terus bergerak – gerak walau keracunan semprotan serangga, mana mungkin sanggup memanggil teman – temannya saat sudah terkapar dan nyawa di ujung moncong, mana mungkin mereka menggangguku setiap malam membuat tidur tak nyaman. Kecoak makhluk lemah, bukan.
            Kepindahanku ini sangatlah aku harapkan, meninggalkan kamar  yang sesak oleh berbagai mebel dan kecoak. Kecoak! Senang rasanya meninggalkan mereka dan bangkai – bangkai temannya di rumah lama, ucapkan selamat tinggal pada mimpi buruk.
            Aku selesai dengan kamarku, menatanya senyaman mungkin, kamarku kini tak terlalu padat penduduk dan sesak, ada jarak antara satu barang dengan barang yang lainnnya, tak ada tempat untuk kecoak bersembunyi! Ibu bilang bahwa aku seharusnya sebelum pindah meminta maaf pada arwah – arwah kecoak yang aku antarkan pada ajalnya, namun aku sama sekali tak sudi, aku tidak mau, tak akan pernah terjadi. Namun, ibu terus mendesakku, ia mengingatkan bahwa setiap jiwa yang mati dengan tidak damai arwahnya akan gentayangan, aku tidak takut, aku tidak peduli, datang saja sini kalau berani, akan aku suwir setiap bagian tubuhnya, aku yakin.
            Sebenarnya aku tidak begitu yakin, belakangan ini sebelum akhirnya aku pindah rumah, setiap malam aku selalu dihantui kejadian aneh, sedikit aneh, tidak hanya aneh, sangat aneh dan kalau boleh aku jujur itu agak sedikit menakutiku, benar. Seperti biasa sebelum tidur aku setia pada ritualku, tanpa terlewat satu tahapan pun. Namun, setiap kali tubuhku terbalut selimut dan menutup mata, rasanya seperti ada sesuatu yang berjalan di balik tubuhku, berjalan – jalan santai di atas punggung dan itu sangat geli, merinding. Aku membalik tubuhku ke kanan, rasanya sama saja, seperti ia masih di lari – lari manis di punggung menuju paha, aku membalik tubuh ke kiri, rasanya seolah ia kini berjalan menuruni pahaku menuju betis, bisa aku rasakan kakinya begitu mungil halus seolah bulu – bulu lembut yang genit menggelitiki betisku yang kini turun ke telapak kaki, mengitarinya, menjelajah sela- sela jari-jemari, geli, merinding, aku menendang – nendang udara, seperti menghalau sesuatu, menggoyangkan kaki – kakiku, menggosok –gosokkan punggung ke kasur dan tetap saja, rasa geli itu bermain di tubuhku seperti sedang piknik cantik, aku menggaruk – garuk punggung yang tak gatal sekuat tenaga dengan kuku – kuku jari tanganku yang panjang, tak sakit, lebih mengerikan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhku.
            Esok hari aku bangun dengan tubuh penuh luka, punggungku penuh luka cakaran sementara kaki -kakiku memar seperti jatuh dari sepeda, aku berusaha menyembunyikan luka aneh itu dari ibu, tak mau ibu banyak bertanya dan cemas, karena aku pun masih belum tahu bagaimana harus menjawab dan menenangkannya. Abaikan saja, anggap saja aku jatuh dari kasur.
            Kejadian itu terus berulang setiap hari setiap malam, tanpa jeda. Dan semakin hari luka – luka di tubuhku semakin bertambah, aku rasa kini aku mulai menjadi kolektor luka, termasuk luka dalam bagian hati dan sekitarnya. Aku ragu memberitahu ibu sampai akhirnya tanpa sengaja ia melihat sendiri tanganku yang berbekas luka cakaran. Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tak tahu pasti apa yang terjadi, aku hanya mengarang cerita dengan judul jatuh dari kasur, jatuh di kamar mandi, kepeleset dan lain sebagainya.
            Melihat aku yang semakin hari semakin lengkap mengoleksi luka, ibu memutuskan untuk pindah rumah, katanya rumah lama itu tidak membawa hoki, aku menurut saja dengan senang hati, meninggalkan kejadian – kejadian aneh yang mungkin fiktif dengan bekas luka yang nyata.
            Selama menuju rumah baru, ibu tak henti mengingatkanku untuk meminta maaf pada arwah kecoak – kecoak yang aku bantai, aku tetap tidak mau, membayangkannya saja aku tak sudi. Ibu tak kenal menyerah, berbagai peringatan ia sampaikan padaku yang acuh mendengarkannya, apa peduliku kini aku di rumah baru, selamat tinggal mimpi buruk.
            Sehabis makan malam aku menonton teve sendirian, ibu sudah mengurung diri di kamar dengan to do list esok hari, aku meregangkan otot – otot yang seharian ini bekerja ekstra menata kamar, ah tak sabar rasanya tidur di kamar baru. Aku menonton teve dengan setoples besar kuping gajah, bukan kuping gajah asli, hanya makanan ringan berbentuk lonjong berwarna cokelat tua dengan hiasan garis putih yang mengikuti bentuk lonjongnya, sama sekali tidak mirip kuping gajah. Menurutku ini lebih mirip dengan makhluk kecil menjijikan bernama kecoak. Kecoak lagi! Aku usir jauh – jauh bayangan makhluk itu dan fokus pada layar televisi, mengunyah kuping gajah tanpa melihat bentuk dan rupanya.
            Aku tak tahu berapa lama aku duduk manis di kursi sampai dengan rasa gatal menyerbu dan mengganggu santaiku. Aku garuk seluruh kulit yang gatal, namun aneh, semakin kuat aku menggaruknya semakin gatal kulitku, aku terus menggaruk sembari sesekali memukul – mukul tubuhku, karena rasanya ada sesuatu yang berjalan santai, lagi, di atas tubuhku. Aku memukul – mukul kaki dengan remote teve, aku menggebuk tangan kiri dengan telapak tangan kanan, begitupun sebaliknya, rasanya semakin gatal, seolah segerombolan makhluk menyerbu tubuhku mulai dari ujung kuku kaki sampai dengan kulit kepala, gatal. Aku terus meronta – ronta, melawan sekuat tenaga, nihil, tetap sama rasanya. Tuhan, sekarang sakit sekali, seperti gigi – gigi kecil menggerogoti tubuhku. Aku menubrukkan punggungku berkali – kali pada sandaran kursi, begitu kuat sampai akhirnya kursi terbalik dan aku jatuh telungkup di lantai, kuping gajah berserakan di sekitarku, berjalan bergerombol mendaki tubuhku, ada yang mulai dari kaki, tangan, kepala, oh, tunggu, Tuhan! Bukan kuping gajah, ini kecoak – kecoak cokelat yang meyerang tubuhku, mengkudeta kuasa atas tubuhku sendiri, aku berusaha menggoyangkan badan mengusir mereka, namun rasanya mereka semakin banyak, aku melompat – lompat, namun mereka sepertinya ada di mana – mana, keluar dari berbagai penjuru menuju aku. Tuhan aku takut.
            Aku berlari sembari terus menggaruk sekuat tenaga, mencari semprotan serangga yang aku tak tahu di mana ibu menaruhnya, Tuhan gatal sekali, sakit. Aku membenturkan tubuh ke tembok, berharap mereka semua penyok, gagal, justru mereka semakin banyak, menyerbuku meruntuhkan tembok, aku berlari menuju kamar mandi, ingin membasahi tubuhku agar mereka mengalir bersama air. Tubuhku rasanya berkali lipat lebih berat sulit sekali berlari dengan tubuh berbalut kecoak, tubuhku tak seimbang, aku jatuh, tersungkur dengan kepala menghadap kamar mandi, aku berusaha merangkak menggapai kran air yang tak jauh dari pintu, sedikit lagi.
            Aku berhasil membuka kran, ingin mengusir kecoak – kecoak ini, kudekatkan tubuhku pada keran, dan kecoak – kecoak itu semakin banyak karena mengalir keluar dari keran yang seharusnya berisi air, aku menangis kesakitan, takut. Tolong aku siapapun tolong aku, aku takut. Perlahan mereka mulai memenuhi leherku, berlanjut pada mulut, hidung, mata, telinga, hingga  aku sanggup mendengar celetukan – celetukan kecil di dalam telingaku.
“Gigit saja”
“Kencingi matanya”
“Gelitiki kulitnya”
“Panggil yang lain”
“Habisi otaknya”
“Tutup hidungnya, tahu rasa dia, bagaimana rasanya sesak napas”
Aku tak sanggup melakukan apapun lagi, selain mendengar kalimat – kalimat balas dendam dari mulut mereka, menderita karena penyerangan mereka. Aku merasakan gigi – gigi kecil yang banyak itu menggerogoti otakku perlahan, pandanganku cokelat, hitam, tak ada apa – apa lagi. Tuhan, maafkan aku. Kecoak, terkutuk kalian!

Keesokan harinya ibu menemukan tubuhku yang tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi dengan kran air yang terbuka dan kamar mandi yang banjir, di sekitar tubuhku banyak sekali remah kuping gajah berserakan, tubuhku memar, lebih parah dari yang sudah – sudah, ibu menangis, memelukku, mengikhlaskan aku pergi bersama arwah – arwah kecoak terkutuk penuh dendam.

Jumat, 22 Mei 2015

Bagaimana Bisa

Ini kisahku bersama gadis berkepang dua dengan kacamata mata kucing melorot yang dikenakannya. Kala itu aku baru saja berkemas hendak pulang saat tatapan matanya menyela di antara semilir angin yang mulai terasa dingin.
“Hi!” Sapaku dengan hangat. Ia melirikku, menarik napas panjang dan membalas sapaanku, “Hi!” Aku tersenyum padanya yang nampak kikuk dan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Aku memerhatikannya dengan rinci, tubuhnya tidak begitu kurus namun tidak pula dapat dikatakan gemuk, wajahnya bulat dan menurutku manis dengan kedua pipi gempal memerah, matanya seolah memancarkan rasa penasaran yang begitu besar dan siap untuk diluapkan.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya padaku.
“Pulang.”
“Pulang begitu saja?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, apalagi yang dapat ditambahkan pada kata pulang, hanya pulang, seperti biasanya.
“Waktuku sudah habis, ini saatnya aku pulang.”
“Tak bisakah kamu tetap tinggal untuk menemaniku? Setidaknya sampai aku mengantuk.”
Bisakah aku, tanyaku pada diriku yang selama ini tak pernah mempertanyakan kenapa aku harus  muncul dan menghilang di saat yang sama setiap hari. Aku hanya mengikuti apa yang selama ini menjadi aturan bagiku, bukankah aturan adalah sebuah rutinitas yang mengandung keharusan?
“Sepertinya tidak, aku harus pulang, sebentar lagi temanku akan datang, mungkin ia bisa menemanimu,” saranku padanya yang masih memasang wajah penuh tanda tanya.
“Teman? Apa kalian sering bermain bersama?”
“Tentu saja tidak, aku bahkan jarang sekali bertemu dengannya, jari – jari di lenganmu berjumlah lebih banyak dari pertemuanku dengannya.”
“Lalu kenapa ia bisa menjadi temanmu?”
Aku tidak tahu, sejak nenek moyang gadis ini menempati bumi sekalipun, aku sudah memanggilnya teman, kami berbagi tugas setiap hari, tanpa absen, setahun penuh terus bergantian tugas dengan alur yang sama. Tidak bisakah dengan begitu saja aku dapat memanggilnya sebagai teman?
“Karena dia adalah temanku, bagaimana  aku memanggilnya selain dengan sebutan teman?” tanyaku pada gadis yang mulai membuatku berpikir ke mana – mana.
“Bukankah teman seharusnya selalu bertemu? Mereka selalu bermain bersama berbagi segalanya, bukan begitu?”
Ia benar namun selama ini aku tidak pernah memikirkan hal itu apalagi memedulikannya, tidak pernah. Aku cukup puas dengan apa yang selama ini menjadi alur perjalananku, seharian bertanggar kemudian digantikan oleh temanku dan kembali lagi keesokan paginya, begitu selalu dan selamanya.
“Begitu menurutmu?” tanyaku
“Tentu saja, teman harus selalu bersama.”
“Kamu punya teman?”
“Tidak,” jawabnya dengan lantang tanpa gentar atau bahkan sedikit berpikir.
Aku takjub dengan jawabannya, ada apa dengan gadis ini.
“Kamu tidak berteman dengan siapapun?”
“Tidak, untuk apa aku berteman jika temanku tidak bisa bersama setiap detik, aku tidak perlu teman seperti itu, bagaimana aku percaya pada teman yang tidak selalu bersamaku, bagaimana bisa?”
Aku diam, apa yang gadis ini maksudkan, apa yang dia maksud adalah aku dan temanku, bagaimana mungkin kami melawan rutinitas yang merupaka aturan, bagaimana? Aku di pagi hari hingga menjelang senja dan ia pada malam hari bersama bintang di langit. Aku matahari di siang hari dan ia bulan di langit malam, bagaimana bisa berubah.
“Aku bisa melakukannya, mengapa kamu tidak?” tanyaku gemas sekaligus tergelitik oleh pernyataannya.
“Lalu, bagaimana kamu bisa berteman dan bahkan berbagi tugas dengan temanku yang bahkan entah kapan dapat kamu temui lagi, bagaimana kamu percaya pada apa yang  tidak dapat dipastikan, bagaimana?”
“Bagaimana aku bisa?”


Sabtu, 19 Juli 2014

Menjadi 100 Tahun Bersama Kakek yang Ahli Peledak

Judul Novel     : The 100-Year-Old Man Who Climbed Out Of The Window And Disappeared
Penulis             :  Jonas Jonasson
Penerbit           :  Piratförlaget, Sweden, 2013
Penerjemah      : Marcalais Francisca
Tebal               : 508 halaman
Harga             : Rp. 59.000,00
Diterbitkan di Indonesia oleh PT Bentang Pustaka
Melakukan sebuah lompatan bukanlah sebuah tindak pidana, kecuali jika kita melompati pagar rumah seseorang setelah menguras habis isi peti hartanya dan meminjam setumpuk emas dan uang tanpa izin pemiliknya.
Sebuah lompatan dapat berarti pula jalan untuk menemui hari baru yang selama ini terhalang beton. Seperti lompatan milik seorang tua berusia seabad, Allan Karlson. Tepat di hari jadinya yang ke-100 ia memilih melompat dari jendela kamarnya di Rumah Lansa yang berada di kota tenang bernama Malmkӧping. Seluruh  orang hadir, wartawan, pekerja panti, Direktur Alice bahkan Sang Walikota sudah siap merayakan pesta ulangtahun yang langka terjadi, dengan tiga digit angka. Hanya Empunya hari saja yang tidak berkenan hadir dengan memilih melompat dan melewati hari – harinya kembali dengan penuh petualangan menarik.
Siapa sangka pengambilan tanpa izin koper abu-abu milik seorang anggota Never Again  - yang sama sekali tidak direncanakannya membawanya  bertemu kawan baru dari beragam usia serta spesies. Mereka  melakukan perjalanan menegangkan dengan bumbu tawa di sana – sini.
Allan yang seorang ahli bom mengalami banyak petualangan menegangkan selama 100 tahun hidupnya. Jonas Jonasson sang penulis menceritakan perjalanan hidup Allan dalam sebuah novel biografi dengan unsur humor yang sama sekali tak bisa lepas dari setiap kisahnya.
Allan ialah seorang anti-politik yang berkawan dengan banyak kepala negara. Beberapa kali ia dijamu oleh petinggi – petinggi dunia dari negara - negara komunis, sosialis, liberalis dan berbagai ideologi lainnya yang sama sekali tidak menarik minat Allan. Allan pernah menikmati tequila bersama Harry Truman, yang saat itu masih menjadi wakil presiden  dan kemudian meninggalkan Allan di tengah tequila mereka karena kematian Presiden Roosevelt.
Selama hidupnya tak hanya jamuan bersama petinggi negara saja yang Allan lalui, ia meledakan rumah, menjadi objek penelitian,  dipenjara, diduga mati, menyamar menjadi seorang marsekal, menyelamatkan istri Mao Tse-tung. Yang terakhir membuatnya dan salah satu rekan barunya bernama Herbert Einstein, yang masih adik dari Albert Einstein, mendapat liburan gratis di sebuah pulau eksotis bernama Bali. Tanpa harus memusingkan urusan paspor dan dokumen lainnya. Ia mendapat setumpuk uang dari Mao yang sebenarnya dikirim Presiden Truman untuk Kuomintang dan karena terburu – buru, Kuomintang meninggalkan uang tersebut dalam pelarian ke Taiwan.  
Banyak hal yang Allan lakukan selama hidupnya. Dan Jonas Jonasson menceritakan pengalaman Allan dengan apik serta menarik. Ia membawa kita untuk menikmati setiap hari dalam hidup yang memiliki beragam petualangan yang siap untuk dijemput. Seperti Jonas Jonasson katakan dalam bukunya Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.
Maka jika Tuhan membisiki kita bahwa umur kita hingga 100 tahun, petualangan apa yang akan kita lakukan. Sebagai pedoman, silakan cermati kisah Allan Karslon, seorang pria berusia 100 tahun yang melompat dari jendela kamarnya di Rumah Lansia, di buku ini.