Kesalahan terbesarku
saat memutuskan memberi perhatian padanya, menggantungkan harapanku padanya
yang bahkan kurang dari tiga bulan sejak aku melihatnya lagi di sudut meja
kantin dengan sepiring kecil pie buah dan cappucino hangat yang buihnya tersisa
di sekitar bibirnya. Kopi itu, kalau bukan karena mereka mungkin aku tak akan
begini jadinya, berharap padanya yang sampai detik ini hanya menjadi si dia
yang aku tak tahu namanya. Aku tak pernah lelah sungguh, hanya saja mungkin
selama ini aku salah jalur, atau bahkan sejak awal sudah salah memulai.
Aku mengemasi barang –
barangku dengan tingkat kemalasan luar biasa tinggi. Satu – satutshirt yang berwarna – warni itu terlipat rapi
menumpuk di koperku, seperti pelangi. Yang terakhir adalah kerudung berwarna
biru yang beberapa bulan belakangan ini selalu aku pakai. Kerudung ini telah
begitu baik dan banyak membantuku walau akhirnya tetap saja nihil, tanpa hasil.
Aku mengenakan kerudung itu, melihat model kerudung yang belakangan ini tak
pernah aku rubah, demi sedikit saja mendapat perhatian darinya. Sudahlah
setidaknya ada Pak Kasim yang
menyadari kerudungku
yang begini terus, hari ini aku harus pamit padanya, banyak sekali aku
merepotkan pria itu.
Menemui Pak Kasim sama
artinya dengan kembali ke tempat kursusku, menapaki kembali jalanan yang
mengingatkanku pada pria itu, kuharap ia sedang tak ada di sana, aku bohong,
aku berharap dia ada di sana, kami bertemu mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Ini jadwal terakhir kursus, tak ada waktu lagi.
Pak Kasim sedang asyik
duduk di taman ketika aku menemuinya, aku mengambil kursi yang bersebrangan
dengannya. Kursi ini, pie buah di hadapanku, secangkir cappucino, membawaku
pada alasan mengapa berat rasanya melangkah ke tempat ini.
Hari itu Jumat
pertamaku melihatnya di tempat kursus, dengan penuh ragu aku berusaha
meyakinkan diriku bahwa mata ini mulai bertambah minus beberapa dioptri. Ah!
Benar itu dia, kenapa bisa ada di sini, kebetulan yang terlalu kebetulan
membuatku bahagia bisa melihatnya lagi. Aku berusaha mencuri perhatiannya
dengan mencari meja yang tepat bersebrangan dengan dia yang sedang asyik
menikmati secangkir cappucino dan pie buah yang begitu lembut ia kunyah disela
– sela konsentrasinya membaca sebuah buku yang sampai saat ini masih aku ingat judulnya
“Die Lieblingsgedichte Der Deutschen” karena aku baru saja mengembalikan buku
itu pada Pak Kasim, pustakawan di tempat kursusku.
Aku menjatuhkan
beberapa benda dengan menyenggol kotak pensilku yang sengaja dibiarkan terbuka
agar isinya berjatuhan ke lantai menimbulkan suara gaduh dan mungkin saja dapat
menarik perhatiannya dan bahkan dapat membuatnya sedikit saja melirikku dan
sadar akan kehadiran wajah yang tak asing baginya. Namun, aku gagal. Hanya
peralatan tulisku yang berhasil sesuai rencana menimbulkan suara gaduh dan
berserakan di atas lantai.
“Kamu kapan berangkat?”
Pertanyaan Pak Kasim membuatku tersadar,
daritadi aku hanya duduk dan lupa menyapanya.
“Nanti malam, Pak”
“Kenapa baru bilang
sekarang, hati – hati, saya nggak akan lihat kerudung birumu ini lagi dong”
Pak Kasim, ia hapal
betul aku tak pernah ganti kerudung semenjak Jumat pertamaku bertemu dengan
pria cappucino itu. Aku kembali teringat kegagalanku di Jumat kedua. Saat itu dengan tekad
bulat aku yakin setidaknya dia akan tahu bahwa kami satu tempat kursus. Aku
sengaja mengenakan pakaian dengan cagaya casual, sama persis dengan minggu
lalu. Aku memesan beberapa pie buah dan secangkir cappucino, membolak – balikan
halaman buku dengan resah. Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi dan ia
tidak keluar kelas. Sudahlah.
“Kamu mau pie buah?”
“Mau, Pak. Aku pesan
sendiri, deh. Bapak mau tambah?”
“Enggak, terimakasih.
Sudah kenyang”
“Sebentar, Pak”
Aku meninggalkan Pak
Kasim dan melangkah menuju kantin. Taman ini cukup luas hanya aksesnya saja
yang hanya satu jalur sehingga ke mana pun tujuannya, pasti melewati semua
kelas, toilet dan kantin. Toilet itu, mengingatkanku pada kegagalan – kegagalan
setelah Jumat waktu itu.
Jumat ketiga ini aku
belum menyerah, sebelum pulang aku sengaja duduk – duduk manis di taman depan,
taman yang pasti dilalui semua peserta yang masuk dan keluar tempat kursus.
Kali ini posisiku strategis, mustahil gagal kecuali hari ini ia tidak masuk. Dan
benar. Ia tidak masuk. Aku melangkah malas ke toilet, mencuci mukaku yang sudah
lusuh. Sial sekali aku ini.
Kegagalan selanjutnya
adalah Jumat terakhir di bulan pertama kuartal ini dan aku masih berusaha
mencuri perhatiannya. Jumat ini sepertinya akhir bulanku yang malang, kenapa
tidak. Saat dengan siap sedia aku menunggunya lewat entah mengapa tiba – tiba
ada panggilan alam yang tak tertahankan sehingga saat aku kembali alhasil aku
hanya menikmati punggungnya yang berjalan semakin menjauhiku, malang.
“Ini, Pak. Aku bawain
pie sama secangkir teh, biar makin santai ngobrolnya”
“Merepotkan sekali,
terimakasih”
“Kebalik, aku yang
selalu ngerepotin”
“Saya masih ingat saat
ramah tamah kemarin kamu malah duduk sendiri di pojokan, saya kira kamu sakit”
Pak Kasim ini
perhatian sekali, mungkin karena umurnya yang memang sudah menginjak kepala 5
sehingga ia terasa begitu perhatian, seperti ayahku sendiri. Ah, dan ramah
tamah itu, kegagalanku yang teramat menyakitkan.
Setelah satu bulan aku
tidak bertemu dengannya, aku berharap lebih pada acara ini, aku berdandan
semirip mungkin seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Aku menunggunya
dengan gelisah dan tegang, aku sudah mempersiapkan berbagai strategi modus
perkenalan. Sudah menjadi rahasia umum peserta kursus bahwa pasca ramah tamah
ada pasangan baru yang bermunculan. Dan aku berharap ini giliranku. Sepanjang
acara aku mencarinya namun nihil, mungkin dia sibuk sehingga tak sempat hadir.
Aku hanya kecewa dan menghabiskan sisa acara ini dengan muka cemberut.
“Itu lagi nggak enak
badan, Pak”
“Pantesan, sebentar
saya tinggal dulu, ya. Saya ingin kasih kenang – kenangan untuk kamu biar inget
terus tempat ini. Eh, apa kamu sudah pamit sama Alan? Kamu kan langganan kedai
kopinya”
Tanpa perlu ia
memberiku benda kenangan sudah banyak kenangan dari tempat ini, taman, kue pie,
cappucino, buku yang aku dan pria itu pernah baca. Aku yang setengah mati
keheran melihatnya duduk santai di kantin setelah rentetan kejadian menyebalkan
sepanjang hari itu. Hari itu, hari pertamaku melihatnya. Semuanya berawal dari
kedai kopi langgananku di sebelah tempat kursus, aku sering ke sana jika aku
sedang penat.
Hari itu teramat
kesal, temanku membatalkan janji dengan mendadak, promotorku sulit dihubungi,
motor mogok dan jalanan yang macet. Aku mampir ke kedai kopi Alan untuk
menenangkan diri. Aku yang diselimuti kesal dan marah kehilangan fokus sehingga
tergelincir dan jatuh dengan cekatan seorang pria yang sedang duduk di mini bar
menyimpan cangkir kopinya, membantuku dan berkata, “Lain kali hati – hati,
Mbak”, aku yang dibantunya hanya bisa mengangguk malu karena pria yang sedari
tadi aku perhatikan kini tepat berdiri di hadapanku, berjarak sepanjang ukuran
kertas HVS A4. Pria ini adalah pria yang sama dengan pria yang tadi pagi
membantuku menyebrang jalan, ternyata istilah dunia sempit itu memang benar
adanya. Dan setelah kejadian itu aku bertemu dengannya lagi di kedai kopi,
namun yang paling membuatku tekejut adalah saat melihatnya duduk di kantin
dengan santai, rasanya dunia memang benar benar sempit seolah hanya untuk kami
berdua.
“Sekalian pulang deh,
Pak. Aku mampir ke sana”
“Oh gitu, sebentar
saya ambil hadiah untukmu dulu, ya”
Giliran Pak Kasim yang
meninggalkanku, aku menyeruput teh hijauku, hangat namun belum cukup
menenangkan. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area taman, mungkin saja
kali ini aku melihatnya. Aku melihat seorang gadis berambut panjang berjalan ke
arahku, atau mungkin ia hendak menuju kantin. Gadis manis yang berwajah
oriental. Gadis itu berjalan terburu – buru dengan barang bawaannya yang di
dekap di dada. Sepertinya ia kesulitan dengan barang bawaanya itu, ia menabrak
Pak Kasim yang berjalan berlawanan arah. Sepenggal kejadian tabrakan itu
mengingatkanku pada gadis oriental yang menabrakku di kedai kopi Alan.
“Aw!”
“Maaf”
Gadis oriental itu
segera meninggalkanku setelah maaf terucap dari mulutnya. Hanya maaf, untung
wanita.
“Ini”
Pak Kasim memberiku
gelang karet berwarna biru. Di atasnya ada tulisan nama tempat kursusku dengan
cat putih. Sederhana namun Pak Kasim benar, ini akan mengingatkanku pada tempat
kursus ini.
“Vielen herzlichen Dank”
Kami kembali
berbincang layaknya seorang anak yang sedang menyimak pengalaman – pengalaman
ayahnya.
“Di Jerman nanti harus
mandiri, usah ngandelin orang lain. Mereka di sana …”
Aku memerhatikan
nasihat dan sarannya dengan seksama sampai dengan konsentrasiku buyar saat
melihat si wanita oriental yang tak asing mukanya berjalan bergandengan dengan
pria yang aku nantikan. Semua perkataan Pak Kasim seolah menguap begitu saja
bersamaan dengan hatiku yang entah mengapa sakit rasanya. Ah! Tangan mereka
bergandengan, dengan gelang berliontin salib melingkar di lengan wanita itu.
Namanya saja tidak tahu tapi aku sudah patah hati dibuatnya.
…
Saat mendengar ucapan
Pak Kasim aku terkejut, Jerman? Apa mungkin ia akan terbang secepat ini. Aku
mempererat genggamanku pada Mey dan mempecepat langkahku yang dengan sangat
sulit Mey berusaha menyamainya.
“Sakit, Kak”
“Dia ke Jerman, Mey.
Mungkinkah secepat ini?”
“Siapa?”
“Wanita yang tadi di
taman, dengan Pak Kasim”
“Yang pake kerudung?”
“Iya”
“Dia Muslim, Kak”
Pernyataan Mey sejak
pertama membantunya menyebrang sudah mengganggu pikiranku. Gadis berkerudung,
muslim. Ditambah dengan kejadian di kedai kopi dan ternyata kami satu tempat
kursus. Aku tahu saat kotak pensilnya jatuh dan isinya berserakan, rasanya
ingin aku membantu, menjabat tangannya, dan berkata setidaknya, “Hi, ketemu
lagi”. Bukan maksudku menghindarinya hanya saja aku tak tahu, apa yang harus
aku lakukan. Sejak pertama melihatnya aku jatuh hati padanya. Aku bingung, tak
tahu harus apa, aku menghindarinya bukan aku tak mau melihatnya hanya saja aku
tak mau ia terluka, aku bisa apa nantinya. Ia berkerudung dan aku dengan adikku
yang bergelang liontin salib. Biar Tuhannya dan Tuhanku yang memutuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar