Jumat, 22 Mei 2015

Bagaimana Bisa

Ini kisahku bersama gadis berkepang dua dengan kacamata mata kucing melorot yang dikenakannya. Kala itu aku baru saja berkemas hendak pulang saat tatapan matanya menyela di antara semilir angin yang mulai terasa dingin.
“Hi!” Sapaku dengan hangat. Ia melirikku, menarik napas panjang dan membalas sapaanku, “Hi!” Aku tersenyum padanya yang nampak kikuk dan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Aku memerhatikannya dengan rinci, tubuhnya tidak begitu kurus namun tidak pula dapat dikatakan gemuk, wajahnya bulat dan menurutku manis dengan kedua pipi gempal memerah, matanya seolah memancarkan rasa penasaran yang begitu besar dan siap untuk diluapkan.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya padaku.
“Pulang.”
“Pulang begitu saja?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, apalagi yang dapat ditambahkan pada kata pulang, hanya pulang, seperti biasanya.
“Waktuku sudah habis, ini saatnya aku pulang.”
“Tak bisakah kamu tetap tinggal untuk menemaniku? Setidaknya sampai aku mengantuk.”
Bisakah aku, tanyaku pada diriku yang selama ini tak pernah mempertanyakan kenapa aku harus  muncul dan menghilang di saat yang sama setiap hari. Aku hanya mengikuti apa yang selama ini menjadi aturan bagiku, bukankah aturan adalah sebuah rutinitas yang mengandung keharusan?
“Sepertinya tidak, aku harus pulang, sebentar lagi temanku akan datang, mungkin ia bisa menemanimu,” saranku padanya yang masih memasang wajah penuh tanda tanya.
“Teman? Apa kalian sering bermain bersama?”
“Tentu saja tidak, aku bahkan jarang sekali bertemu dengannya, jari – jari di lenganmu berjumlah lebih banyak dari pertemuanku dengannya.”
“Lalu kenapa ia bisa menjadi temanmu?”
Aku tidak tahu, sejak nenek moyang gadis ini menempati bumi sekalipun, aku sudah memanggilnya teman, kami berbagi tugas setiap hari, tanpa absen, setahun penuh terus bergantian tugas dengan alur yang sama. Tidak bisakah dengan begitu saja aku dapat memanggilnya sebagai teman?
“Karena dia adalah temanku, bagaimana  aku memanggilnya selain dengan sebutan teman?” tanyaku pada gadis yang mulai membuatku berpikir ke mana – mana.
“Bukankah teman seharusnya selalu bertemu? Mereka selalu bermain bersama berbagi segalanya, bukan begitu?”
Ia benar namun selama ini aku tidak pernah memikirkan hal itu apalagi memedulikannya, tidak pernah. Aku cukup puas dengan apa yang selama ini menjadi alur perjalananku, seharian bertanggar kemudian digantikan oleh temanku dan kembali lagi keesokan paginya, begitu selalu dan selamanya.
“Begitu menurutmu?” tanyaku
“Tentu saja, teman harus selalu bersama.”
“Kamu punya teman?”
“Tidak,” jawabnya dengan lantang tanpa gentar atau bahkan sedikit berpikir.
Aku takjub dengan jawabannya, ada apa dengan gadis ini.
“Kamu tidak berteman dengan siapapun?”
“Tidak, untuk apa aku berteman jika temanku tidak bisa bersama setiap detik, aku tidak perlu teman seperti itu, bagaimana aku percaya pada teman yang tidak selalu bersamaku, bagaimana bisa?”
Aku diam, apa yang gadis ini maksudkan, apa yang dia maksud adalah aku dan temanku, bagaimana mungkin kami melawan rutinitas yang merupaka aturan, bagaimana? Aku di pagi hari hingga menjelang senja dan ia pada malam hari bersama bintang di langit. Aku matahari di siang hari dan ia bulan di langit malam, bagaimana bisa berubah.
“Aku bisa melakukannya, mengapa kamu tidak?” tanyaku gemas sekaligus tergelitik oleh pernyataannya.
“Lalu, bagaimana kamu bisa berteman dan bahkan berbagi tugas dengan temanku yang bahkan entah kapan dapat kamu temui lagi, bagaimana kamu percaya pada apa yang  tidak dapat dipastikan, bagaimana?”
“Bagaimana aku bisa?”