Sabtu, 19 Juli 2014

Menjadi 100 Tahun Bersama Kakek yang Ahli Peledak

Judul Novel     : The 100-Year-Old Man Who Climbed Out Of The Window And Disappeared
Penulis             :  Jonas Jonasson
Penerbit           :  Piratförlaget, Sweden, 2013
Penerjemah      : Marcalais Francisca
Tebal               : 508 halaman
Harga             : Rp. 59.000,00
Diterbitkan di Indonesia oleh PT Bentang Pustaka
Melakukan sebuah lompatan bukanlah sebuah tindak pidana, kecuali jika kita melompati pagar rumah seseorang setelah menguras habis isi peti hartanya dan meminjam setumpuk emas dan uang tanpa izin pemiliknya.
Sebuah lompatan dapat berarti pula jalan untuk menemui hari baru yang selama ini terhalang beton. Seperti lompatan milik seorang tua berusia seabad, Allan Karlson. Tepat di hari jadinya yang ke-100 ia memilih melompat dari jendela kamarnya di Rumah Lansa yang berada di kota tenang bernama Malmkӧping. Seluruh  orang hadir, wartawan, pekerja panti, Direktur Alice bahkan Sang Walikota sudah siap merayakan pesta ulangtahun yang langka terjadi, dengan tiga digit angka. Hanya Empunya hari saja yang tidak berkenan hadir dengan memilih melompat dan melewati hari – harinya kembali dengan penuh petualangan menarik.
Siapa sangka pengambilan tanpa izin koper abu-abu milik seorang anggota Never Again  - yang sama sekali tidak direncanakannya membawanya  bertemu kawan baru dari beragam usia serta spesies. Mereka  melakukan perjalanan menegangkan dengan bumbu tawa di sana – sini.
Allan yang seorang ahli bom mengalami banyak petualangan menegangkan selama 100 tahun hidupnya. Jonas Jonasson sang penulis menceritakan perjalanan hidup Allan dalam sebuah novel biografi dengan unsur humor yang sama sekali tak bisa lepas dari setiap kisahnya.
Allan ialah seorang anti-politik yang berkawan dengan banyak kepala negara. Beberapa kali ia dijamu oleh petinggi – petinggi dunia dari negara - negara komunis, sosialis, liberalis dan berbagai ideologi lainnya yang sama sekali tidak menarik minat Allan. Allan pernah menikmati tequila bersama Harry Truman, yang saat itu masih menjadi wakil presiden  dan kemudian meninggalkan Allan di tengah tequila mereka karena kematian Presiden Roosevelt.
Selama hidupnya tak hanya jamuan bersama petinggi negara saja yang Allan lalui, ia meledakan rumah, menjadi objek penelitian,  dipenjara, diduga mati, menyamar menjadi seorang marsekal, menyelamatkan istri Mao Tse-tung. Yang terakhir membuatnya dan salah satu rekan barunya bernama Herbert Einstein, yang masih adik dari Albert Einstein, mendapat liburan gratis di sebuah pulau eksotis bernama Bali. Tanpa harus memusingkan urusan paspor dan dokumen lainnya. Ia mendapat setumpuk uang dari Mao yang sebenarnya dikirim Presiden Truman untuk Kuomintang dan karena terburu – buru, Kuomintang meninggalkan uang tersebut dalam pelarian ke Taiwan.  
Banyak hal yang Allan lakukan selama hidupnya. Dan Jonas Jonasson menceritakan pengalaman Allan dengan apik serta menarik. Ia membawa kita untuk menikmati setiap hari dalam hidup yang memiliki beragam petualangan yang siap untuk dijemput. Seperti Jonas Jonasson katakan dalam bukunya Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.
Maka jika Tuhan membisiki kita bahwa umur kita hingga 100 tahun, petualangan apa yang akan kita lakukan. Sebagai pedoman, silakan cermati kisah Allan Karslon, seorang pria berusia 100 tahun yang melompat dari jendela kamarnya di Rumah Lansia, di buku ini.

Achlost

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...
Sapardi Djoko Damono
...
Aku hanya apa yang kau baca, yang selalu kau cerca, saat menemukan yang tidak tepat. Namun, tak jarang aku berisi rangkaian kalimat yang menarik, lalu kau menyalinnya di atas notes hitam kesayanganmu itu. Aku senang, kau senang, apalagi yang kurang.
Maafkan aku yang mungkin sebagai penyebab kau bermata empat. Namun, dengan kacamatamu itu, sungguh kau terlihat cantik dan menarik. Kacamata bulat mata kucingmu itu serasi dengan bentuk wajahmu yang lonjong. Bingkai hitamnya menonjolkan warna matamu yang secokelat mata kucing.
Aku ingat berbagai ekspresi wajahmu. Saat kau menangis mendapat akhir yang menyedihkan, saat kau tersenyum menerima penutup yang bahagia atau saat kau mengangkat alis dan menaikan bagian kanan bibir atasmu, aku tahu saat itu pasti kau keheranan dengan apa yang baru saja kau baca, aku suka ekspresi itu, sungguh, wajahmu terlihat lebih lucu dan imut.
Aku tahu, aku tak seperti mereka, yang mampu bersuara. Aku hanya terdiri dari untaian kata yang dengan telaten kau baca hingga titik dan koma. Memandang wajahmu yang selalu tepat di hadapanku saja sudah teramat cukup membuatku senang, walau tak pernah kenyang.
Ada candu yang terkandung dalam dirimu. Semenjak pertama kali aku dibawamu, di dekap hangat kedua tanganmu, bahkan tak jarang dipeluk hangat di depan dadamu, aku rindu semua itu. Kau begitu apik dan telaten merawatku serta kawan – kawanku. Aku senang berdiri, berbaring, berbaris rapi di rak dinding. Kawan – kawanku pun senang. Mengapa tidak, kau merawat kami dengan baik, tak membiarkan secuil debu pun hinggap pada kami. Dengan telaten tangan – tangan lembutmu membubuhkan inisial namamu pada kertas label, tak lupa kau tulis kode penulisnya. Tak sampai disitu, kau membungkus kami dengan plastik sampul bening, kami terlihat rapi dan bersih karenanya. Lalu kau simpan kami sesuai kode di kertas label.
Sejujurnya andai ada kuasa, kekuatan dan keajaiban. Ingin aku sedikit memprotesmu, memintamu tak sebegitu sering menambah populasi di rak dindingmu. Rasaku saja belum sampai benar padamu, bagaimana aku bisa bersaing dengan mereka yang baru – baru. Namun, kebahagiaanmu melihat rak dindingmu terisi penuh melorotkan keinginanku untuk angkat bicara. Senang rasanya melihat senyum bahagiamu. Tak usah ambil pusing dengan inginku, begini saja aku cukup. Mengagumimu dari dekat, menatap langsung mata cokelatmu diam dan bersembunyi di balik barisan kalimat yang habis kau lahap.
Biarkan saja aku seperti ini, tak pernah secara langsung berbicara padamu. Apalah aku ini yang hanya cetakan printer – printer besar, yang hanya menampung puluhan ribu kata namun tak sehuruf pun dapat aku katakan. Tak sekali pun ada kesempatanku untuk secara langsung mendengar suaramu.
Anggap saja cerita – cerita yang kau baca adalah wakil dari apa yang ingin aku sampaikan, sedihku, senangku, apa yang ingin sekali aku katakan padamu, biarlah hanya tertulis dengan rapi di atas lembaran kertas, kau hanya cukup membacanya.
Sampai titik terakhir dalam cerita gadis dan tudung merah di rak dinding paling atas habis menjadi abu, kau tak pernah tahu dan aku tak pernah memberi tahu, biarlah begini, aku tak apa, sungguh.
...
Aku iri pada dia yang bisa menatap matamu berjam – jam lamanya, tidak seperti aku yang menikmati daun telingamu hingga keduanya panas dan kau harus menukar posisi, dari kanan ke kiri, kiri ke kanan, ke kiri lagi, lalu kanan begitu seterusnya selama berjam – jam hingga sambungannya terputus.
Seketika kau langsung melemparkanku ke atas kasur, tak mau dekat – dekat denganku yang berisik ini. Atau kau memasukkan aku dengan kasar ke dalam tasmu yang berisi berbagai barang. Membiarkanku berdesak – desakan dengan penghuni tasmu yang beragam, sesak, gelap dan aku masih saja tak dapat puas memandang wajahmu.
Bukannya aku tak bersyukur dan kufur. Aku ingin sehari saja di letakkan tepat di hadapanmu, sejajar dengan matamu, memandang wajahmu sampai kapanpun semauku. Bukan hanya terjebak di dalam tas atau di balik selimut, tak jarang aku pun tergeletak tak berdaya di bawah tempat tidurmu, tergeser – geser tangan dan kakimu yang bergerak seenaknya di kala malam, membuatku yang tak berkaki ini hanya pasrah ditendang dan diseret sampai terkapar di bawah ranjang.
Keesokan paginya saat aku mulai berbunyi dengan nyaring, mengganggu tidurmu yang sempit, kau marah padaku yang berisik ini, kau mencari – cariku dan kembali marah menemukanku yang tergeletak di bawah ranjang. Aku menempel di daun telingamu, mendengar suara di sana yang marah membentakmu, aku pun mendengar kau yang balik marah dengan nada suara yang tak kalah tinggi. Pagi ini kalian bertengkar, sama seperti  pagi beberapa hari yang lalu dan pagi beberapa minggu yang lalu juga pagi di bulan – bulan yang entah sudah sampai di mana hitungannya.
Jika tak salah mendeteksi pertengakaran ini adalah antara kau dan si Martin di ujung sana yang aku tak tahu rupanya. Setiap kali berbicara dengannya, kata – kata kasar keluar dari mulutmu, juga sumpah serapah yang berujung pada janji yang selalu tak kau tepati karena itu si Martin murka dan terus menghubungimu. Aku yang tak bisa berbicara apalagi bergerak, hanya menjadi saksi bisu pertengkaran kalian dan menjadi objek pelengkap penderita karena sudah dapat dipastikan, kau akan melemparku kasar ke mana saja ketika si Martin memutuskan sambungannya, menyudahi obrolan tanpa kalimat perpisahan. Tak sopan.
Aku tak pernah dendam padamu, sungguh. Banting saja aku sesukamu ke mana saja yang kau mau, asalkan kau bahagia aku tak apa. Hanya ini yang mampu aku lakukan, menjadi pelampiasanmu, untunglah aku bukan track lari yang sudah dipakai diludahi dikeringati lalu ditinggal pergi. Kau masih membawaku di tasmu atau menggeletakkan aku di kasurmu walau sudah kau banting ke sana – sini.
Aku memang bukan kertas yang mudah terbakar namun aku tetaplah benda yang akan rusak, hangus terbakar. Biarkan segala rahasiamu dengan si Martin kusimpan sendiri bersama perasaanku dan inginku menatap matamu tajam, biarlah semuanya ikut terbang bersama asap – asap hitam yang mengepul di udara.
...
Perasaanku biarlah terlukiskan lewat lagu, lewat daftar putar yang kau mainkan. Lewat foto – foto yang sering kau buka saat lelah dengan jendela ms.word. Biarlah kau tahu perasaanku lewat tawa dan senyum yang memenuhi layar, geli rasanya melihatmu tersenyum melihat tingkahmu sendiri.
Aku ingin kau tahu, biarlah lagu – lagu ini mewakili aku yang tak mampu berbicara ini. Aku tak tuli dan bisu hanya saja aku tidak diijinkan untuk berbicara. Biarlah aku tetap diam seperti ini, menemanimu mengetik satu per satu huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, satu paragraf hingga paragraf – paragraf lainnya. Biarlah aku tetap menyaksikanmu yang menopang dagu pada kedua tanganmu yang menyangga, membaca ulang apa yang baru saja kau ketik, ctrl + a lalu del, kau hapus apa yang ada di monitor dan kau ulangi dari awal.
Aku tak lelah menemanimu, aku senang kita terjaga semalaman bahkan tak jarang hingga dini hari. Aku melihatmu yang menarik – narik rambut tanda pikiranmu mulai kalut. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghiburmu selain menuruti apa yang jemarimu perintahkan.
Saat suara boom itu aku ingat kau baru saja membuka situs lowongan kerja. Kau panik dan kalang kabut, aku tak bisa melakukan apapun selain berdiam diri menyaksikanmu yang histeris sembari aku terus memproses program yang tadi kau buka.
Aku tak tahu apa yang lebih baik kau lakukan selain apa yang baru saja kau lakukan. Meninggalkanku dan seisi rumahmu yang sibuk dengan pikirannya masing – masing. Kami memang berbeda rupa dan bentuk namun asal kau tahu kami satu hati di sini, mencintaimu dalam diam dan istilah benda mati. Siapa bilang benda mati tak berhati.
...
Kebakaran yang melanda salah satu rumah di kawasan Ampera semalam diduga akibat kelalaian yang menyebabkan arus pendek. Namun, beberapa sumber mengatakan bahwa ada unsur kesengajaan dalam peristiwa ini, menurut keterangan warga sekitar beberapa hari yang lalu ada dua orang pria berbadan besar yang mendatangi rumah itu. Membentak dan mengancam akan membakar rumah tersebut. Diduga kuat kedua pria itu adalah penagih hutang. Tak ada korban jiwa pada peristiwa ini. Namun, seluruh harta benda di dalamnya hangus terbakar. Terlihat buku – buku yang hangus terbakar, telepon seluler yang hanya tinggal rangkanya serta laptop yang hitam legam di atas meja yang sudah menjadi abu.
...


Adil Itu Dusta

Aku ini biru di lautan sampai ke dasar. Aku ini biru di angkasa sampai ke luar. Berhenti memanggilku terang atau gelap. Karena aku biru yang lengkap. Pengotakan itu sungguh mengganggu. Mengapa tak dibiarkan saja apa adanya.Tanpa lebel ataupun nama. Cukup  aku si biru saja.
Jariku dengan mudah dapat menghitung berapa lama waktu yang aku lewati pasca peristiwa itu. Ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan kini hampir memasuki jari manis. Empat tahun. Waktu yang aku lalui semenjak dengan mudahnya ia pergi meninggalkanku, mencampakkan aku, menyia - nyiakan aku, me- yang lainnya yang begitu sakit, perih. Aku tak pernah dendam, sungguh. Aku hanya enggan dan sangat tak sudi melihat wajahnya lagi walau sejujurnya rasaku padanya masih sama seperti yang dulu.
Dua belas Juni  empat tahun yang tepatnya, saat ia meminta izin padaku untuk menjadi kawan di hidupku, menemani setiap kedipan mata dan hembusan napas, menjadikan dadanya alas bersandar yang paling nyaman. Aku setuju, tentu saja, ia pria yang tampan dengan isi dompet menawan.Saat itu aku merasa bahwa aku manusia paling beruntung dapat berdampingan dengannya. Mengiringi setiap langkahnya. Aku senang saat bayangan tubuh kami berjalan beriringan, senada dan seirama.
Kebahagiaan itu hanya seumur biji kedelai yang telah menjadi tunas tauge. Pada akhirnya memang tak ada yang benar – benar bertahan pada suatu keadaan. Tak selamanya hariku penuh dengan tawa bersamanya karena saat ini tawa itu berubah menjadi tangis yang kuharap tak selamanya mengisi hariku. Sudah kubilang bukan, tak ada yang benar – benar bertahan pada satu keadaan.
Sejujurnya aku merasa beruntung di balik kesedihanku yang bertahun - tahun, setidaknya aku tahu, bahwa ternyata semua janjinya tak lebih dari sekedar rayuan sales mengejar target, bahwa pada akhirnya dia tetap meninggalkanku yang sepenuh hati percaya padanya, sepenuh jiwa menggantung padanya, sepenuh nyawa ingin bersamanya dan setahun penuh ditipunya.
Hanya butuh satu tahun baginya untuk mendapat paket lengkap berisi aku. Dan hanya butuh sebulan lamanya untuk kembali merajut kasih dengan yang kini menjadi kekasihnya setelah resmi aku dicampakkannya. Aku bisa apa, mungkin sejak awal memang bukan aku yang dipilihnya. Sejak awal seharusnya aku menyadari bahwa ia tak lebih baik dari teman yang suka menikung dari belakang. Seharusnya aku lebih peka pada kejanggalan dalam dirinya, bukan fokus seutuhnya pada paras rupawannya dan terpesona pada rambut – rambut halus yang melingkari atas mulut sampai ke dagu, geli rasanya merasakan rambut – rambut itu menyapu wajahku.
Anggap saja aku ini hanya track lari yang diam tanpa pernah mengeluh walaupun ia berlari di atasku dengan sepatu butut yang menyiksa kaki.
Anggap saja aku ini track lari yang tak pernah protes meski ia injak – injak atau bahkan hanya sekedar membuang ludah.
Anggap saja aku ini track lari yang setelah dipakai lalu ditinggal pergi begitu saja dengan jejak - jejak sepatu yang bertebaran di seluruh tubuhku tanpa pernah ada terimakasih aku telah membantu. Silakan saja pergi dengan semua bualannya itu, menyisakan aku sendiri di sini dengan perih dan hujaman kebodohan diriku sendiri.
Hampir empat tahun aku berusaha melupakan semua sakit yang ada. Berhasil. Mungkin. Namun, masih wajah innocent-nya yang hadir di setiap kali aku tertidur. Aku masih teringat akan deretan giginya yang dipagari agar rapi, membuatnya sedikit kesulitan saat berbicara dan aku suka, itu terdengar lucu bagiku. Ah, aku juga masih ingat dua sumur di pipinya yang begitu dalam dan manis, muncul hanya di saat ia menarik kedua pipinya dan menyimpulkan senyum di bibir. Indah sekali, aku suka, sungguh. Sumur itu.
Sumur di pipinya kontras sekali dengan sumur milikku. Satu tahun ternyata terlalu cepat bagiku untuk sepenuhnya percaya padanya yang kini menggoreskan luka sedalam empat tahun. Bayangkan saja seberapa dalam galian sumur yang terus dikorek selama empat tahun, sedalam itu sakit yang aku rasa bahkan hanya saat mendengar namanya melintas di telingaku. Cupingnya panas, lubang hidungku mengantup, napasku berat, jantungku berhenti berdetak, wajahku menengadah menahan tetesan air mata yang siap meluncur. Sesakit ini.
Sesakit ini kenangan yang ditinggalkan olehnya yang begitu dermawan mengumbar janji tanpa pernah menepati. Kesempurnaan fisiknya jungkir balik dengan cerminan sikapnya yang seolah tak berhati karena mencampakkan aku yang sudah teramat terikat padanya. Tatapan mata cokelatnya yang indah berlawanan dengan cara pandangnya yang licik. Hidungnya yang membentuk sudut siku – siku itu pun hanya berfungsi mengendus kesempatan di balik kesempitan. Bagaimana lagi aku harus menggambarkan dirinya yang berwujud manusia namun bersikap bagai tak berakal budi.
Kurasa Tuhan cukup adil menciptakan sosok penawar dari pria menyebalkan yang aku tak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan kebusukannya. Namanya Ken, sebut saja dia malaikat yang baik hati tanpa sayap dan tongkat atau serbuk peri. Ia tak bisa terbang namun dengan cepat selalu ada saat aku mencapai titik paling lemah pada diriku. Selalu ada disaat tubuhku bersiap menghujam tanah, selalu ada disaat aku butuh pundak untuk bersandar.
Dan ia pun ada saat aku jatuh merutuki diriku sendiri karena pria yang walau hanya setahun singgah namun sanggup menggoreskan luka sedalam empat tahun.
Ken tak pernah protes, ia hanya diam dan mendengarkan semua keluhanku, walaupun aku tak yakin benar dia menyimak setiap perkataanku. Aku tak peduli, setidaknya aku tak sendiri. Ada Ken yang dengan segala kesederhanaanya namun begitu mewah terasa. Tatapan matanya sungguh teduh, nyaman.
Kurasa adil membandingkan Ken dengan pria yang aku tak mau lagi sibuk – sibuk menyebut namanya, terlalu sakit. Haya agar dunia tahu betapa kejamnya aku yang masih tak sanggup membuka hati pada makhluk Tuhan dengan segala kesempurnaan lahir batin seperti Ken. Ken sangat sederhana, wajahnya tak begitu tampan, wajahnya mencerminkan betul  sikapnya yang bijaksana, tenang dan aku berani bersumpah, tak ada wanita normal di muka bumi ini  yang tak akan meleleh dengan pandangan matanya yang tajam namun menenangkan. Ralat, kecuali aku. Mungkin karena aku yang tidak normal.
Bagaimana aku bisa begitu normal layaknya wanita biasa yang ditinggal pergi mantan kekasihnya karena pria itu menemukan dambaan hatinya yang lain, jika mantan kekasihku itu lebih memilih pria berbadan kekar dan dada kotak – kotak daripada aku yang wanita normal biasa dengan dada seadanya.Bagaimana mungkin aku masih bisa bersikap biasa jika mantan kekasihku adalah seorang biseksual yang pada akhirnya lebih memilih menjadi seorang homoseksual tulen.

Jangan salahkan aku yang pura – pura menutup mata pada perhatian yang Ken berikan. Aku tahu, ada sesuatu di balik perhatiannya, mungkin saja cinta, aku tak peduli. Sudah habis rasanya cintaku untuk si pria homo itu. Aku tak lagi percaya pada apa yang mereka sebut walau berbeda – beda tetap satu jua, aku tidak peduli! Kenapa tidak Tuhan ciptakan manusia sama rata agara tak ada normal, homo atau bahkan yang seperti aku, bukan apapun. 

Anna

Dua, ditambah kakinya dan milikku jadi enam, ditambah lengannya dan punyaku jadi sepuluh, tambahan dua bola mata indahnya jadi dua belas, angka yang cantik. Tak ada yang berbeda dari kami, hampir seluruh metabolisme tubuhnya bergantung pada cairan, begitu pun aku. Tak ada yang kontras di antara kami selain dia yang seorang wanita dan pacar ke-12 sahabatku di tahun ini, hanya di tahun ini saja. Aku suka pada pacar ke-12 sahabatku, mungkin sebaiknya abaikan saja kisah ini. Tak ada tukang tikung yang berakhir dengan nasib baik.
Senandungku terhenti ketika Gert mematikan mesin motor dengan kasar dan tiba – tiba. Kenapa lagi anak ini, aku melihat wajahnya merah padam dan tatapan matanya yang tajam. Wanita. Apalagi yang sanggup membuatnya semurka ini selain perihal wanita. Gert yang malang, buta akan nikmat Tuhan lainnya yang terang. Aku terus memerhatikannya yang duduk di bangku teras, sibuk mencari sesuatu di di dalam tas. Sebungkus Mojito tergeletak di atas meja setelah salah satu personilnya diculik paksa untuk menghitamkan bibir dan paru – paru Gert.
Scheiβe
Asap berhamburan. Kata pertama yang keluar dari mulut Gert adalah sebuah umpatan yang biasa ia katakan setiap kali kesal pada apapun.
“Laura! Dumme Scheiβe! Hure!
Asap kembali keluar dengan riang dari mulutnya. Kalimat umpatan lengkap dengan menyebut nama pacarnya dengan istilah sekasar itu, pastilah mereka bertengkar, aku yakin sekali. Pasti mereka sudah putus. Jadi gadis kesebelas itu adalah Laura. Tschüβ!
Gert bukan pria yang akan begitu lama larut dalam sebuah hal, terutama masalah wanita. Ia akan dengan mudah melupakan semua hal yang mengganggunya dan dengan mudah pula mengantikan semua itu dengan hal baru yang jauh lebih menyenangkan baginya, termasuk wanita. Walaupun begitu sesungguhnya ketahuilah, ia adalah seorang yang berhati lembut di balik jaket kulit berduri. Aku kenal betul siapa Gert, lima tahun cukup bagiku untuk mengetahui setiap jengkal yang terjadi di hidupnya. Dengan bangga dan sedikit bahagia tapi tidak mengurangi rasa hormat aku berani bersumpah, aku adalah sahabatnya yang paling setia, ke mana pun ia pergi akan ada aku di sana, walaupun aku tak selalu nampak di dekatnya. Aku yang selalu bersamanya kecuali jika pakaian dalam masuk hitungan.
Sudah lama aku menemani Gert berjelajah mencari pelabuhan, pelabuhan hati. Tak butuh waktu lama bagi Gert dengan wajah tampan dan saldo mapan untuk mencuri perhatian wanita. Tak perlu lama – lama bersama seorang wanita dan tak perlu lama – lama pula untuk mencari gantinya. Pilih saja sesuka hati maka dengan cepat wanita itu jadi miliknya. Jangan salahkah Gert dan apalagi aku, tanyakan saja mengapa wanita begitu mudah jatuh pada rayuan picisan pria, mengapa wanita dengan mudah percaya pada obral janji pria, setidaknya gunakan banyak akal daripada perasaan maka wanita akan tahu mana pria yang benar – benar peduli padanya dan mana yang seperti Gert.
Musim panas kemarin Gert merayakan Sommerfest di sepanjang Hauptstaβe selama tiga  hari dengan tiga wanita berbeda. Rekor tercepatnya berkencan. Dan wanita kesebelas itu adalah Laura. Aku kira Laura akan menjadi wanita kesebelasan penutup penjelajahan Gert. Karena sikap Gert padanya sangat berbeda. Setiap hari ia selalu membawaku membeli hadiah untuk Laura, Blumenstrauβ, Schokolade, Teddy Bear, aku rasa kali ini Gert benar – benar jatuh cinta, bukan hanya sekedar berlabuh, lalu pergi.
Du kannst ja nicht verstehen
Gert benar aku memang tidak akan pernah mengerti dengan perubahan sikapnya, tapi aku tetap menjadi sahabatnya, setidaknya selama ini ia tidak pernah melupakanku dan selalu membawaku ke mana – mana, tunggu saja sampai ia benar – benar meninggalkanku, aku lindas lidahnya. Laura ini benar – benar merubah Gert,  aku sudah mengira bahwa Laura tempat terakhir perjalanan kami dan aku sangat berharap bahwa aku benar, ayolah aku tidak semuda dulu yang masih kuat menemani Gert setiap detik, aku sudah tua dan akan dilebur pemerintah sebentar lagi. Biarkan aku istirahat menikmati sore hari dari balik pagar rumah, sementara Gert melakukan apapun yang ia mau bersama Laura. Mereka senang aku bahagia apalagi yang kurang. Adil sekali.
Namun, rasanya aku masih harus menunggu untuk menikmati langit sore di rumah, entah apa yang terjadi di antara mereka tapi nampaknya Gert sangat murka dan aku tak berani berkomentar.  Setidaknya sebentar lagi Oktober, Gert pasti senang. Oktober berarti Oktoberfest, Bier, Bier, Bier, apalagi. Sudah pasti akan ada banyak wanita dan Gert dengan mudah menunjuk satu dari mereka. Tunggu, itu dulu, sekarang Gert berbeda, tadi saja asap sebungkus Mojito mengepul di teras, ia tak pernah sedespresi ini. Laura! Kau cari mati denganku.
Benar saja! Gert berubah, ia tak segarang kucing liar lagi, ia lebih banyak diam dan tak banyak bertingkah. Ini bukan Gert, apa yang terjadi dengan kawanku. Laura! Dia harus bertanggung jawab. Yang bisa aku lakukan adalah bersabar hingga Oktoberfest dimulai, sebentar lagi aku yakin, sembari menunggu anggap saja aku menonton pertunjukan cinta dengan Gert sebagai tokoh utama yang sedang patah hati.
Aku kini lebih banyak berdiam diri di depan teras, Gert membiarkanku di luar dan tidak membantuku berteduh di dalam, angin musim gugur mulai menggelitik tubuhku. Ah, kawan! Ayolah!
Aku rasa ini jawaban dari kesabaranku menunggu Gert di luar, mungkin anugerah dari mana saja entahlah aku tidak peduli dari mana datangnya ini benar- benar menakjubkan. Aku sering melihat wanita – wanita cantik berkeliaran di sekitar rumah, namun yang ini, aku baru pertama kali melihatnya, pertama kali merasakan panas tubuhku meningkat berkali lipat. Ia lebih cantik dari kesebelas wanita Gert yang dulu, aku harap Gert tidak melihat wanita ini.
Senyumannya bagai bunga yang mekar di tengah musim gugur, aku tak pernah melihat yang seperti ini, apa ini yang sering Gert rasakan. Kawan, aku tahu sekarang bagaimana rasanya. Wanita itu masih dapat aku lihat dengan jelas, sepatu kets merah muda, blue jeans, tshirt putih dan rambut hitam yang dibiarkan terurai, wajahnya manis, dari rambut hitam dan warna kulitnya aku tahu, dia pasti keturunan Turki, menarik. Ia berjalan dengan cepat seperti kebanyakan orang Jerman lainnya. Rasanya ingin aku memperlambat langkahnya, biarkan aku nikmati anugerah ini. Gert jangan keluar rumah, aku mohon.
Sial! Kenapa ia keluar.
Gert menghampiriku, menyapaku ramah, mengecek tubuhku yang sudah lama kaku. Jangan lihat ke kanan aku mohon, lihat saja tubuhku yang kurang cairan ini. Gert menghidupkan mesin motornya, aku bersenandung namun sedikit sumbang, wajar saja sudah lama aku tak mengeluarkan bunyi. Alis Gert sedikit berkerut mendengar suaraku yang begitu tak enak masuk gendang telinga.
Kami pergi ke sebuah toko roti langganan Gert, tidak terlalu jauh dari rumahnya hanya saja Gert orang Jerman yang tidak kejerman-jermanan, ia malas berjalan kaki dan lebih suka memintaku menemaninya, tidak, ia tak pernah memintaku ia melakukan apapun sesuai keinginannya.
Weissbrot, bitte. Und einen Kaffee
Seperti biasa ia gemar memakan roti gandum putih yang agak keras dengan secangkir kopi. Dengan santai ia menikmati makanannya, lama sekali rasanya tidak menikmati jalan – jalan bersamanya. Ah, tidak aku sedang tidak menikmati perjalanan ini, aku takut Gert melihat wanita itu, tidak.
Ketika kami hendak kembali pulang aku macet, ah apalagi ini, aku ingin segera pulang sebelum Gert melihatnya. Ia mengecek mesin, tak ada yang salah katanya, ia terus mencoba menghidupkan mesin motornya, berkali – kali dan terus gagal. Ayo pulang aku tidak mau Gert melihat wanita itu. Gert terus mencoba sampai akhirnya ia tetap saja gagal. Seorang pria dari kedai menghampiri kami.
Was ist los?”
Tolong kami, tolong bawa Gert secepatnya pulang sebelum melihat wanita itu.
Mein Motorrad funktioniert nicht
Achso, darf ich mal?
Pria itu menghampiriku, mengecek seluruh tubuhku dan berhenti pada panah merah yang sangat dekat dengan huruf e. Gert! Bensinnya habis, tanpa cairan itu mana mungkin mesinnya hidup, aku memang buatan Jerman  tapi bukan berarti tak butuh bensin. Gert merasa malu pada pria dari kedai itu, mereka sedang asyik mengobrol ketika seorang wanita yang tadi aku lihat keluar dari kedai menghampiri pria yang sedang berbincang dengan Gert.
“Anna, hier ist Gert. Meine beste Gäste
Namanya Anna dan Gert kini bertemu dengan Anna, menjabat tangan Anna, tersenyum pada Anna, berbincang dengan Anna, menatap Anna lagi lebih dalam, seperti mencari sesuatu di mata Anna, ia masih terus menatap Anna sampai akhirnya tersadar bunyi benda jatuh yang mengagetkan semua orang.
“Bruk!”
Aku jatuh, tubuhku dan perasaanku. Aku tahu sebuah motor tak mungkin memiliki hati, tapi aku dapat merasakan, merasakan Gert yang kembali cerah, merasakan Anna yang sepertinya tertarik pada Gert, merasakan tubuhku yang lemas dan terjatuh. Tanpa cairan bensin itu apalah aku, hanya akan berakhir dengan tumpukan debu di garasi rumah. Tanpa kesempatan memandang langit sore apalagi memandang Anna, tinggal tunggu waktu sampai dilebur. Motor tua dengan senandung knalpot khas tahun 90an.
"Prost!"

Semua yang hadir sibuk dengan Mass mereka yang terisi penuh  Bier, begitupun dengan pasangan yang nampak bahagia bercanda tawa di dekat tumpukan jerami kering.

Auseinander

Kesalahan terbesarku saat memutuskan memberi perhatian padanya, menggantungkan harapanku padanya yang bahkan kurang dari tiga bulan sejak aku melihatnya lagi di sudut meja kantin dengan sepiring kecil pie buah dan cappucino hangat yang buihnya tersisa di sekitar bibirnya. Kopi itu, kalau bukan karena mereka mungkin aku tak akan begini jadinya, berharap padanya yang sampai detik ini hanya menjadi si dia yang aku tak tahu namanya. Aku tak pernah lelah sungguh, hanya saja mungkin selama ini aku salah jalur, atau bahkan sejak awal sudah salah memulai.
Aku mengemasi barang – barangku dengan tingkat kemalasan luar biasa tinggi. Satu – satutshirt yang berwarna – warni itu terlipat rapi menumpuk di koperku, seperti pelangi. Yang terakhir adalah kerudung berwarna biru yang beberapa bulan belakangan ini selalu aku pakai. Kerudung ini telah begitu baik dan banyak membantuku walau akhirnya tetap saja nihil, tanpa hasil. Aku mengenakan kerudung itu, melihat model kerudung yang belakangan ini tak pernah aku rubah, demi sedikit saja mendapat perhatian darinya. Sudahlah setidaknya ada Pak Kasim yang menyadari kerudungku yang begini terus, hari ini aku harus pamit padanya, banyak sekali aku merepotkan pria itu.
Menemui Pak Kasim sama artinya dengan kembali ke tempat kursusku, menapaki kembali jalanan yang mengingatkanku pada pria itu, kuharap ia sedang tak ada di sana, aku bohong, aku berharap dia ada di sana, kami bertemu mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ini jadwal terakhir kursus, tak ada waktu lagi.
Pak Kasim sedang asyik duduk di taman ketika aku menemuinya, aku mengambil kursi yang bersebrangan dengannya. Kursi ini, pie buah di hadapanku, secangkir cappucino, membawaku pada alasan mengapa berat rasanya melangkah ke tempat ini.
Hari itu Jumat pertamaku melihatnya di tempat kursus, dengan penuh ragu aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mata ini mulai bertambah minus beberapa dioptri. Ah! Benar itu dia, kenapa bisa ada di sini, kebetulan yang terlalu kebetulan membuatku bahagia bisa melihatnya lagi. Aku berusaha mencuri perhatiannya dengan mencari meja yang tepat bersebrangan dengan dia yang sedang asyik menikmati secangkir cappucino dan pie buah yang begitu lembut ia kunyah disela – sela konsentrasinya membaca sebuah buku yang sampai saat ini masih aku ingat judulnya “Die Lieblingsgedichte Der Deutschen” karena aku baru saja mengembalikan buku itu pada Pak Kasim, pustakawan di tempat kursusku.
Aku menjatuhkan beberapa benda dengan menyenggol kotak pensilku yang sengaja dibiarkan terbuka agar isinya berjatuhan ke lantai menimbulkan suara gaduh dan mungkin saja dapat menarik perhatiannya dan bahkan dapat membuatnya sedikit saja melirikku dan sadar akan kehadiran wajah yang tak asing baginya. Namun, aku gagal. Hanya peralatan tulisku yang berhasil sesuai rencana menimbulkan suara gaduh dan berserakan di atas lantai.
“Kamu kapan berangkat?”
Pertanyaan Pak Kasim membuatku tersadar, daritadi aku hanya duduk dan lupa menyapanya.
“Nanti malam, Pak”
“Kenapa baru bilang sekarang, hati – hati, saya nggak akan lihat kerudung birumu ini lagi dong”
Pak Kasim, ia hapal betul aku tak pernah ganti kerudung semenjak Jumat pertamaku bertemu dengan pria cappucino itu. Aku kembali teringat kegagalanku di Jumat kedua. Saat itu dengan tekad bulat aku yakin setidaknya dia akan tahu bahwa kami satu tempat kursus. Aku sengaja mengenakan pakaian dengan cagaya casual, sama persis dengan minggu lalu. Aku memesan beberapa pie buah dan secangkir cappucino, membolak – balikan halaman buku dengan resah. Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi dan ia tidak keluar kelas. Sudahlah.

“Kamu mau pie buah?”
“Mau, Pak. Aku pesan sendiri, deh. Bapak mau tambah?”
“Enggak, terimakasih. Sudah kenyang”
“Sebentar, Pak”
Aku meninggalkan Pak Kasim dan melangkah menuju kantin. Taman ini cukup luas hanya aksesnya saja yang hanya satu jalur sehingga ke mana pun tujuannya, pasti melewati semua kelas, toilet dan kantin. Toilet itu, mengingatkanku pada kegagalan – kegagalan setelah Jumat waktu itu.
Jumat ketiga ini aku belum menyerah, sebelum pulang aku sengaja duduk – duduk manis di taman depan, taman yang pasti dilalui semua peserta yang masuk dan keluar tempat kursus. Kali ini posisiku strategis, mustahil gagal kecuali hari ini ia tidak masuk. Dan benar. Ia tidak masuk. Aku melangkah malas ke toilet, mencuci mukaku yang sudah lusuh. Sial sekali aku ini.
Kegagalan selanjutnya adalah Jumat terakhir di bulan pertama kuartal ini dan aku masih berusaha mencuri perhatiannya. Jumat ini sepertinya akhir bulanku yang malang, kenapa tidak. Saat dengan siap sedia aku menunggunya lewat entah mengapa tiba – tiba ada panggilan alam yang tak tertahankan sehingga saat aku kembali alhasil aku hanya menikmati punggungnya yang berjalan semakin menjauhiku, malang.
“Ini, Pak. Aku bawain pie sama secangkir teh, biar makin santai ngobrolnya”
“Merepotkan sekali, terimakasih”
“Kebalik, aku yang selalu ngerepotin”
“Saya masih ingat saat ramah tamah kemarin kamu malah duduk sendiri di pojokan, saya kira kamu sakit”
Pak Kasim ini perhatian sekali, mungkin karena umurnya yang memang sudah menginjak kepala 5 sehingga ia terasa begitu perhatian, seperti ayahku sendiri. Ah, dan ramah tamah itu, kegagalanku yang teramat menyakitkan.
Setelah satu bulan aku tidak bertemu dengannya, aku berharap lebih pada acara ini, aku berdandan semirip mungkin seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Aku menunggunya dengan gelisah dan tegang, aku sudah mempersiapkan berbagai strategi modus perkenalan. Sudah menjadi rahasia umum peserta kursus bahwa pasca ramah tamah ada pasangan baru yang bermunculan. Dan aku berharap ini giliranku. Sepanjang acara aku mencarinya namun nihil, mungkin dia sibuk sehingga tak sempat hadir. Aku hanya kecewa dan menghabiskan sisa acara ini dengan muka cemberut.
“Itu lagi nggak enak badan, Pak”
“Pantesan, sebentar saya tinggal dulu, ya. Saya ingin kasih kenang – kenangan untuk kamu biar inget terus tempat ini. Eh, apa kamu sudah pamit sama Alan? Kamu kan langganan kedai kopinya”
Tanpa perlu ia memberiku benda kenangan sudah banyak kenangan dari tempat ini, taman, kue pie, cappucino, buku yang aku dan pria itu pernah baca. Aku yang setengah mati keheran melihatnya duduk santai di kantin setelah rentetan kejadian menyebalkan sepanjang hari itu. Hari itu, hari pertamaku melihatnya. Semuanya berawal dari kedai kopi langgananku di sebelah tempat kursus, aku sering ke sana jika aku sedang penat.
Hari itu teramat kesal, temanku membatalkan janji dengan mendadak, promotorku sulit dihubungi, motor mogok dan jalanan yang macet. Aku mampir ke kedai kopi Alan untuk menenangkan diri. Aku yang diselimuti kesal dan marah kehilangan fokus sehingga tergelincir dan jatuh dengan cekatan seorang pria yang sedang duduk di mini bar menyimpan cangkir kopinya, membantuku dan berkata, “Lain kali hati – hati, Mbak”, aku yang dibantunya hanya bisa mengangguk malu karena pria yang sedari tadi aku perhatikan kini tepat berdiri di hadapanku, berjarak sepanjang ukuran kertas HVS A4. Pria ini adalah pria yang sama dengan pria yang tadi pagi membantuku menyebrang jalan, ternyata istilah dunia sempit itu memang benar adanya. Dan setelah kejadian itu aku bertemu dengannya lagi di kedai kopi, namun yang paling membuatku tekejut adalah saat melihatnya duduk di kantin dengan santai, rasanya dunia memang benar benar sempit seolah hanya untuk kami berdua.
“Sekalian pulang deh, Pak. Aku mampir ke sana”
“Oh gitu, sebentar saya ambil hadiah untukmu dulu, ya”
Giliran Pak Kasim yang meninggalkanku, aku menyeruput teh hijauku, hangat namun belum cukup menenangkan. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area taman, mungkin saja kali ini aku melihatnya. Aku melihat seorang gadis berambut panjang berjalan ke arahku, atau mungkin ia hendak menuju kantin. Gadis manis yang berwajah oriental. Gadis itu berjalan terburu – buru dengan barang bawaannya yang di dekap di dada. Sepertinya ia kesulitan dengan barang bawaanya itu, ia menabrak Pak Kasim yang berjalan berlawanan arah. Sepenggal kejadian tabrakan itu mengingatkanku pada gadis oriental yang menabrakku di kedai kopi Alan.
“Aw!”
“Maaf”
Gadis oriental itu segera meninggalkanku setelah maaf terucap dari mulutnya. Hanya maaf, untung wanita.
“Ini”
Pak Kasim memberiku gelang karet berwarna biru. Di atasnya ada tulisan nama tempat kursusku dengan cat putih. Sederhana namun Pak Kasim benar, ini akan mengingatkanku pada tempat kursus ini.
Vielen herzlichen Dank
Kami kembali berbincang layaknya seorang anak yang sedang menyimak pengalaman – pengalaman ayahnya.
“Di Jerman nanti harus mandiri, usah ngandelin orang lain. Mereka di sana …”
Aku memerhatikan nasihat dan sarannya dengan seksama sampai dengan konsentrasiku buyar saat melihat si wanita oriental yang tak asing mukanya berjalan bergandengan dengan pria yang aku nantikan. Semua perkataan Pak Kasim seolah menguap begitu saja bersamaan dengan hatiku yang entah mengapa sakit rasanya. Ah! Tangan mereka bergandengan, dengan gelang berliontin salib melingkar di lengan wanita itu. Namanya saja tidak tahu tapi aku sudah patah hati dibuatnya.
Saat mendengar ucapan Pak Kasim aku terkejut, Jerman? Apa mungkin ia akan terbang secepat ini. Aku mempererat genggamanku pada Mey dan mempecepat langkahku yang dengan sangat sulit Mey berusaha menyamainya.
“Sakit, Kak”
“Dia ke Jerman, Mey. Mungkinkah secepat ini?”
“Siapa?”
“Wanita yang tadi di taman, dengan Pak Kasim”
“Yang pake kerudung?”
“Iya”
“Dia Muslim, Kak”
Pernyataan Mey sejak pertama membantunya menyebrang sudah mengganggu pikiranku. Gadis berkerudung, muslim. Ditambah dengan kejadian di kedai kopi dan ternyata kami satu tempat kursus. Aku tahu saat kotak pensilnya jatuh dan isinya berserakan, rasanya ingin aku membantu, menjabat tangannya, dan berkata setidaknya, “Hi, ketemu lagi”. Bukan maksudku menghindarinya hanya saja aku tak tahu, apa yang harus aku lakukan. Sejak pertama melihatnya aku jatuh hati padanya. Aku bingung, tak tahu harus apa, aku menghindarinya bukan aku tak mau melihatnya hanya saja aku tak mau ia terluka, aku bisa apa nantinya. Ia berkerudung dan aku dengan adikku yang bergelang liontin salib. Biar Tuhannya dan Tuhanku yang memutuskan.


Albern

Belaian lembut tangannya membangunkanku dari sisa - sisa tidur nyenyak semalam. Badanku lelah, sangat lelah. Aku menggelengkan kepala bekali - berkali sementara ia hanya tersenyum puas melihatku terbangun untuk menyaksikan rutinitas paginya seperti biasa. Segera ia mengelus kepalaku dengan lembut dan memberikan senyuman selamat pagi yang indah. Nyaman. Aku melihatnya bergegas mandi dan berganti pakaian. Aroma sabunnya yang khas, kegemaranku setiap pagi, semacam makanan pembuka untuk penggugah selera.
Kami sarapan bersama seperti biasanya, sebelum ia meninggalkanku dengan rumah dan seisinya yang selalu menatap iri kepadaku yang tak bersalah ini. Ia kembali mengelus kepalaku dengan lembut, mendaratkan kecupan di keningku dan berkata, "Jangan nakal, ya. Aku pergi. Dah!". Suara pintu yang bergesekan dengan lantai menjadi penanda langkah - langkah kakinya yang pergi menjauh dan aku yang sendiri. Aku merentangkan tubuh yang pegal, menggetarkan tubuhku seolah mengusir rasa kantuk.
            Aku melangkah menuju taman kecil di belakang rumahnya, tempat yang aku suka di rumah ini, tentu saja setelah kamarnya. Beberapa kuas berbagai ukuran tertidur di atas meja bundar kecil di samping kanvas besar yang berisi bentangan langit malam bersama jutaan titik magnesium bintang. Dari balik dedauan yang rimbun aku dapat melihat bulan yang mengintip malu dari balik awan hitam keunguan. Kuas - kuas ini pasti lelah setelah kemarin kami menghabiskan malam bersama. Aku melangkah dengan hati - hati, tak mau membangunkan kuas - kuas yang tertidur lelap berselimutkan warna - warni cat air. Hangat.
Aku membaringkan tubuh, membiarkan rumput - rumput menjadi alas untuk tidur, langit pagi ini indah sekali. Sayang ia harus terburu - buru pergi. Biasanya kami sering menghabiskan pagi bersama, berbaring di rumput seperti yang aku lakukan saat ini, memandangi lukisan Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu indah. Aku selalu ingat janjinya yang akan membuatkanku lukisan paling indah dari semua lukisan yang pernah dia buat. Aku jug masih ingat semangatnya untuk menjadi pelukis.
Empat tahun berlalu setelah ia yakin akan cita - citanya menjadi pelukis. Dan empat tahun, waktu yang aku lewati tanpa sekali pun melewatkan senyumnya. Empat tahun cukup bagiku untuk menyakinkan diriku sendiri bahwa aku menyayanginya dan tak pernah ingin melewatkan satu detik pun tanpa bersamanya. Pagiku yang selalu disambut senyuman hangat yang diukir di bibirnya, jalan - jalan sore yang tak pernah kami lewatkan. Berbagai lukisan langit yang telah dibuatnya. Kumpulan kebahagiaan yang paling bahagia yang tak akan aku lupakan. Tak sabar rasanya menunggu ia pulang.
Suara langkah kaki yang lebih ramai dari biasanya membangunkanku, rupanya aku tertidur cukup lama, ia sudah pulang. Aku segera menghampirinya yang ternyata tidak sendiri, beberapa temannya duduk manis di ruang tamu, satu diantaranya terasa asing bagiku, aku kembali membuka lembaran ingatanku, nihil. Aku tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Mungkin teman barunya. Biarkan saja selama ia tidak macam – macam.
Ia menghampiriku, membelai kepalaku seperti biasanya dengan senyuman yang indah, tunggu. Senyuman ini terasa berbeda, aku dapat merasakannya, ia sangat bahagia, lebih bahagia dari biasanya. Aku bertanya padanya. Namun, ia hanya kembali tersenyum dan mengelus kepalaku. "Kamu makan sendiri, ya. Aku tadi udah makan sama temen - temen. Selamat makan, Du"
Belum pernah sebelumnya seperti ini, setelat apapun ia pulang, aku dengan setia menunggunya pulang di depan pintu, menanti saat - saat kebersamaan kami, makan bersama dan aku dengan setia mendengar keluh kesahnya. Namun, kali ini, apa yang salah, dia kenapa. Ia meninggalkanku di dapur, kembali menghampiri teman - temannya. Aku memandangi mereka dari jauh, begitu akrab, bahagia dan melupakan waktu jalan - jalan soreku. Beberapa dari mereka satu per satu pamit pulang dan menyapaku dengan ramah namun si asing ini, masih bertahan di rumah dan berbincang dengan akrab. Aku tak melepaskan sedetik pun pandanganku dari mereka yang tertawa terbahak - bahak. Anggap saja aku ini hiasan dinding atau patung selamat datang dan semacamnya, tak usah dihiraukan, anggap saja kalian hanya sedang berduaan.
Matahari semakin menghilang, si asing pun pamit dan tak hirau kepadaku yang ikut mengantarnya keluar. Setelah menyaksikan laju motor si asing yang semakin menjauh aku protes, aku meminta kejelasan dari hari ini yang begitu ganjil. Lagi - lagi ia hanya tersenyum. Aku mengikutinya menuju taman belakang, mungkin saja ia ingin berbaring di rumput memandangi langit malam sebelum pergi tidur.
Aku salah, ia merapikan kuas, cat dan semua perangkat lukisnya. "Du, besok aku mau jalan sama Dean, wish me luck", katanya dengan mata yang berbinar. Aku tak mengerti apa yang ia maksud, ia meninggalkanku dalam kebingungan, membiarkan aku berpikir semalaman dan terjaga hingga pagi hari untuk menyaksikan si asing yang merebut senyuman selamat pagiku.
Ia begitu bahagia dalam rangkulan si asing bernama Dean ini, aku protes, ia tak mendengarkanku, aku kembali protes, ia semakin tak menghiraukanku, aku berteriak dengan lantang, "Aku cemburu!". Ia hanya melirikku sekilas dan kembali asyik dengan Dean sialan ini. Aku berteriak sekali lagi, "Aku cemburu! Aku tak suka! Sudah sana pergi, Dean!". Dean memandang ke arahku dengan heran dan bertanya,"Dia kenapa?".
"Kenapa? Kau tanya aku kenapa, aku cemburu apa itu kurang jelas, aku tak suka kau merebut jalan - jalan soreku, aku tak suka kau merampas senyuman selamat pagiku dan aku sangat tak suka melihatmu dekat -  dekat dengannya, sudah pergi sana!...", amarahku semakin memuncak karena belum selesai aku memprotesnya ia memalingkan muka dan menghinaku, "Aneh!". Tanpa pikir panjang aku menggigit kakinya dengan gigi - gigi taringku yang terbiasa mencabik - cabik bantal sofa. Dean menjerit kesakitan, aku puas, sangat puas.
"Dudu! Kamu kenapa, lepasin!"
Aku tak peduli dengan apa yang dia katakan, aku terus menggigit kaki Dean sekuat tenagaku, ingin rasanya menembus tulang pria menyebalkan yang telah merebut sayangku.
"Dudu, lepasin!"
Aku tak akan pernah melepaskannya, sungguh. Sebelum Dean ini berjanji tak akan pernah kembali.
"Dudu!"
Aku masih mengigitnya dengan seringai licik, aku tak peduli dengan erangannya, sungguh, benar – benar tidak peduli.
"Dudu! Anjing nakal! Lepasin Dean! Dia pacar aku, kamu nggak boleh jahat sama Dean!"
Aku berhenti menggigitnya, bukannya menggonggong aku hanya melongo bego, memandangnya yang untuk pertama kali marah kepadaku. Anjing nakal. Ia tak pernah memanggilku seperti itu, aku temannya, aku sayang padanya. Dan si Dean ini, pacarnya, mana mungkin. Aku menunduk, tak lagi sanggup memandang wajahnya.
"Pergi sana! Dasar anjing nakal!" perintahnya mengusirku.

"Guk...guk...guk