Minggu, 07 Juni 2015

Kuping Gajah


Kecoak! Makhluk secokelat cokelat yang lumer di mulut, bersayap walau tak seindah kupu –kupu, beradar walau tak secanggih GPS, pendiam dan sepi dalam seribu bahasa kalbu yang hanya ia dan teman – temannya mengerti. Pernah tahu suara kecoak, aku pernah. Dan sampai membawaku mengikutinya.
            Ini hari pindahanku, seluruh barang di rumah lama beralih  ke rumah baru yang lebih besar dan luas. Lebih hijau dengan taman kecil di depan dan taman luas di belakang yang cukup untuk dipakai bulutangkis. Kamarku pun jauh lebih luas, lebih indah dengan balkon kecil di luar dan lebih menyenangkan karena aku benar – benar benci kamarku yang dulu. Tidak terlalu kecil tapi cukup menampung lemari baju, rak sepatu, meja belajar, rak buku, keranjang cucian, kasur ukuran single, semua anggota kamarku yang lama. Ah, jangan lupakan satu makhluk lagi, kecoak! Makhluk cokelat yang suka terbang ke sana – kemari menebar teror dan ketakutan bagi setiap pasang mata yang memandangnya. Kecoak! Setiap malam sebelum tidur serentetan ritual aku jalani, menyemprotkan pembasmi serangga, memasang pengusir serangga elektrik, memeriksa setiap penjuru ruangan, memastikan tak ada makhluk kecil bernama kecoak ini, makhluk menyebalkan. Kecil namun membuat tidur tak nyenyak, kecil namun membuatku melempar segala benda padanya, kecil namun cabe rawit, kecil – kecil nakal.
            Ibu selalu bilang untuk tidak menindas yang lemah, aku membela diri, aku tak pernah menindas yang lemah, kalau benar kecoak itu lemah mana mungkin mereka sanggup bertahan hidup begitu lama, mana sanggup mereka terus bergerak – gerak walau keracunan semprotan serangga, mana mungkin sanggup memanggil teman – temannya saat sudah terkapar dan nyawa di ujung moncong, mana mungkin mereka menggangguku setiap malam membuat tidur tak nyaman. Kecoak makhluk lemah, bukan.
            Kepindahanku ini sangatlah aku harapkan, meninggalkan kamar  yang sesak oleh berbagai mebel dan kecoak. Kecoak! Senang rasanya meninggalkan mereka dan bangkai – bangkai temannya di rumah lama, ucapkan selamat tinggal pada mimpi buruk.
            Aku selesai dengan kamarku, menatanya senyaman mungkin, kamarku kini tak terlalu padat penduduk dan sesak, ada jarak antara satu barang dengan barang yang lainnnya, tak ada tempat untuk kecoak bersembunyi! Ibu bilang bahwa aku seharusnya sebelum pindah meminta maaf pada arwah – arwah kecoak yang aku antarkan pada ajalnya, namun aku sama sekali tak sudi, aku tidak mau, tak akan pernah terjadi. Namun, ibu terus mendesakku, ia mengingatkan bahwa setiap jiwa yang mati dengan tidak damai arwahnya akan gentayangan, aku tidak takut, aku tidak peduli, datang saja sini kalau berani, akan aku suwir setiap bagian tubuhnya, aku yakin.
            Sebenarnya aku tidak begitu yakin, belakangan ini sebelum akhirnya aku pindah rumah, setiap malam aku selalu dihantui kejadian aneh, sedikit aneh, tidak hanya aneh, sangat aneh dan kalau boleh aku jujur itu agak sedikit menakutiku, benar. Seperti biasa sebelum tidur aku setia pada ritualku, tanpa terlewat satu tahapan pun. Namun, setiap kali tubuhku terbalut selimut dan menutup mata, rasanya seperti ada sesuatu yang berjalan di balik tubuhku, berjalan – jalan santai di atas punggung dan itu sangat geli, merinding. Aku membalik tubuhku ke kanan, rasanya sama saja, seperti ia masih di lari – lari manis di punggung menuju paha, aku membalik tubuh ke kiri, rasanya seolah ia kini berjalan menuruni pahaku menuju betis, bisa aku rasakan kakinya begitu mungil halus seolah bulu – bulu lembut yang genit menggelitiki betisku yang kini turun ke telapak kaki, mengitarinya, menjelajah sela- sela jari-jemari, geli, merinding, aku menendang – nendang udara, seperti menghalau sesuatu, menggoyangkan kaki – kakiku, menggosok –gosokkan punggung ke kasur dan tetap saja, rasa geli itu bermain di tubuhku seperti sedang piknik cantik, aku menggaruk – garuk punggung yang tak gatal sekuat tenaga dengan kuku – kuku jari tanganku yang panjang, tak sakit, lebih mengerikan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhku.
            Esok hari aku bangun dengan tubuh penuh luka, punggungku penuh luka cakaran sementara kaki -kakiku memar seperti jatuh dari sepeda, aku berusaha menyembunyikan luka aneh itu dari ibu, tak mau ibu banyak bertanya dan cemas, karena aku pun masih belum tahu bagaimana harus menjawab dan menenangkannya. Abaikan saja, anggap saja aku jatuh dari kasur.
            Kejadian itu terus berulang setiap hari setiap malam, tanpa jeda. Dan semakin hari luka – luka di tubuhku semakin bertambah, aku rasa kini aku mulai menjadi kolektor luka, termasuk luka dalam bagian hati dan sekitarnya. Aku ragu memberitahu ibu sampai akhirnya tanpa sengaja ia melihat sendiri tanganku yang berbekas luka cakaran. Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tak tahu pasti apa yang terjadi, aku hanya mengarang cerita dengan judul jatuh dari kasur, jatuh di kamar mandi, kepeleset dan lain sebagainya.
            Melihat aku yang semakin hari semakin lengkap mengoleksi luka, ibu memutuskan untuk pindah rumah, katanya rumah lama itu tidak membawa hoki, aku menurut saja dengan senang hati, meninggalkan kejadian – kejadian aneh yang mungkin fiktif dengan bekas luka yang nyata.
            Selama menuju rumah baru, ibu tak henti mengingatkanku untuk meminta maaf pada arwah kecoak – kecoak yang aku bantai, aku tetap tidak mau, membayangkannya saja aku tak sudi. Ibu tak kenal menyerah, berbagai peringatan ia sampaikan padaku yang acuh mendengarkannya, apa peduliku kini aku di rumah baru, selamat tinggal mimpi buruk.
            Sehabis makan malam aku menonton teve sendirian, ibu sudah mengurung diri di kamar dengan to do list esok hari, aku meregangkan otot – otot yang seharian ini bekerja ekstra menata kamar, ah tak sabar rasanya tidur di kamar baru. Aku menonton teve dengan setoples besar kuping gajah, bukan kuping gajah asli, hanya makanan ringan berbentuk lonjong berwarna cokelat tua dengan hiasan garis putih yang mengikuti bentuk lonjongnya, sama sekali tidak mirip kuping gajah. Menurutku ini lebih mirip dengan makhluk kecil menjijikan bernama kecoak. Kecoak lagi! Aku usir jauh – jauh bayangan makhluk itu dan fokus pada layar televisi, mengunyah kuping gajah tanpa melihat bentuk dan rupanya.
            Aku tak tahu berapa lama aku duduk manis di kursi sampai dengan rasa gatal menyerbu dan mengganggu santaiku. Aku garuk seluruh kulit yang gatal, namun aneh, semakin kuat aku menggaruknya semakin gatal kulitku, aku terus menggaruk sembari sesekali memukul – mukul tubuhku, karena rasanya ada sesuatu yang berjalan santai, lagi, di atas tubuhku. Aku memukul – mukul kaki dengan remote teve, aku menggebuk tangan kiri dengan telapak tangan kanan, begitupun sebaliknya, rasanya semakin gatal, seolah segerombolan makhluk menyerbu tubuhku mulai dari ujung kuku kaki sampai dengan kulit kepala, gatal. Aku terus meronta – ronta, melawan sekuat tenaga, nihil, tetap sama rasanya. Tuhan, sekarang sakit sekali, seperti gigi – gigi kecil menggerogoti tubuhku. Aku menubrukkan punggungku berkali – kali pada sandaran kursi, begitu kuat sampai akhirnya kursi terbalik dan aku jatuh telungkup di lantai, kuping gajah berserakan di sekitarku, berjalan bergerombol mendaki tubuhku, ada yang mulai dari kaki, tangan, kepala, oh, tunggu, Tuhan! Bukan kuping gajah, ini kecoak – kecoak cokelat yang meyerang tubuhku, mengkudeta kuasa atas tubuhku sendiri, aku berusaha menggoyangkan badan mengusir mereka, namun rasanya mereka semakin banyak, aku melompat – lompat, namun mereka sepertinya ada di mana – mana, keluar dari berbagai penjuru menuju aku. Tuhan aku takut.
            Aku berlari sembari terus menggaruk sekuat tenaga, mencari semprotan serangga yang aku tak tahu di mana ibu menaruhnya, Tuhan gatal sekali, sakit. Aku membenturkan tubuh ke tembok, berharap mereka semua penyok, gagal, justru mereka semakin banyak, menyerbuku meruntuhkan tembok, aku berlari menuju kamar mandi, ingin membasahi tubuhku agar mereka mengalir bersama air. Tubuhku rasanya berkali lipat lebih berat sulit sekali berlari dengan tubuh berbalut kecoak, tubuhku tak seimbang, aku jatuh, tersungkur dengan kepala menghadap kamar mandi, aku berusaha merangkak menggapai kran air yang tak jauh dari pintu, sedikit lagi.
            Aku berhasil membuka kran, ingin mengusir kecoak – kecoak ini, kudekatkan tubuhku pada keran, dan kecoak – kecoak itu semakin banyak karena mengalir keluar dari keran yang seharusnya berisi air, aku menangis kesakitan, takut. Tolong aku siapapun tolong aku, aku takut. Perlahan mereka mulai memenuhi leherku, berlanjut pada mulut, hidung, mata, telinga, hingga  aku sanggup mendengar celetukan – celetukan kecil di dalam telingaku.
“Gigit saja”
“Kencingi matanya”
“Gelitiki kulitnya”
“Panggil yang lain”
“Habisi otaknya”
“Tutup hidungnya, tahu rasa dia, bagaimana rasanya sesak napas”
Aku tak sanggup melakukan apapun lagi, selain mendengar kalimat – kalimat balas dendam dari mulut mereka, menderita karena penyerangan mereka. Aku merasakan gigi – gigi kecil yang banyak itu menggerogoti otakku perlahan, pandanganku cokelat, hitam, tak ada apa – apa lagi. Tuhan, maafkan aku. Kecoak, terkutuk kalian!

Keesokan harinya ibu menemukan tubuhku yang tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi dengan kran air yang terbuka dan kamar mandi yang banjir, di sekitar tubuhku banyak sekali remah kuping gajah berserakan, tubuhku memar, lebih parah dari yang sudah – sudah, ibu menangis, memelukku, mengikhlaskan aku pergi bersama arwah – arwah kecoak terkutuk penuh dendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar