Kecoak! Makhluk
secokelat cokelat yang lumer di mulut, bersayap walau tak seindah kupu –kupu,
beradar walau tak secanggih GPS, pendiam dan sepi dalam seribu bahasa kalbu
yang hanya ia dan teman – temannya mengerti. Pernah tahu suara kecoak, aku
pernah. Dan sampai membawaku mengikutinya.
Ini hari
pindahanku, seluruh barang di rumah lama beralih ke rumah baru yang
lebih besar dan luas. Lebih hijau dengan taman kecil di depan dan taman luas di
belakang yang cukup untuk dipakai bulutangkis. Kamarku pun jauh lebih luas,
lebih indah dengan balkon kecil di luar dan lebih menyenangkan karena aku benar
– benar benci kamarku yang dulu. Tidak terlalu kecil tapi cukup menampung lemari
baju, rak sepatu, meja belajar, rak buku, keranjang cucian, kasur ukuran single, semua anggota kamarku yang
lama. Ah, jangan lupakan satu makhluk lagi, kecoak! Makhluk cokelat yang suka
terbang ke sana – kemari menebar teror dan ketakutan bagi setiap pasang mata
yang memandangnya. Kecoak! Setiap malam sebelum tidur serentetan ritual aku jalani,
menyemprotkan pembasmi serangga, memasang pengusir serangga elektrik, memeriksa
setiap penjuru ruangan, memastikan tak ada makhluk kecil bernama kecoak ini,
makhluk menyebalkan. Kecil namun membuat tidur tak nyenyak, kecil namun
membuatku melempar segala benda padanya, kecil namun cabe rawit, kecil – kecil
nakal.
Ibu
selalu bilang untuk tidak menindas yang lemah, aku membela diri, aku tak pernah
menindas yang lemah, kalau benar kecoak itu lemah mana mungkin mereka sanggup
bertahan hidup begitu lama, mana sanggup mereka terus bergerak – gerak walau
keracunan semprotan serangga, mana mungkin sanggup memanggil teman – temannya
saat sudah terkapar dan nyawa di ujung moncong, mana mungkin mereka
menggangguku setiap malam membuat tidur tak nyaman. Kecoak makhluk lemah,
bukan.
Kepindahanku
ini sangatlah aku harapkan, meninggalkan kamar yang sesak oleh berbagai mebel dan kecoak.
Kecoak! Senang rasanya meninggalkan mereka dan bangkai – bangkai temannya di
rumah lama, ucapkan selamat tinggal pada mimpi buruk.
Aku
selesai dengan kamarku, menatanya senyaman mungkin, kamarku kini tak terlalu
padat penduduk dan sesak, ada jarak antara satu barang dengan barang yang
lainnnya, tak ada tempat untuk kecoak bersembunyi! Ibu bilang bahwa aku
seharusnya sebelum pindah meminta maaf pada arwah – arwah kecoak yang aku
antarkan pada ajalnya, namun aku sama sekali tak sudi, aku tidak mau, tak akan
pernah terjadi. Namun, ibu terus mendesakku, ia mengingatkan bahwa setiap jiwa
yang mati dengan tidak damai arwahnya akan gentayangan, aku tidak takut, aku
tidak peduli, datang saja sini kalau berani, akan aku suwir setiap bagian
tubuhnya, aku yakin.
Sebenarnya
aku tidak begitu yakin, belakangan ini sebelum akhirnya aku pindah rumah,
setiap malam aku selalu dihantui kejadian aneh, sedikit aneh, tidak hanya aneh,
sangat aneh dan kalau boleh aku jujur itu agak sedikit menakutiku, benar.
Seperti biasa sebelum tidur aku setia pada ritualku, tanpa terlewat satu
tahapan pun. Namun, setiap kali tubuhku terbalut selimut dan menutup mata,
rasanya seperti ada sesuatu yang berjalan di balik tubuhku, berjalan – jalan
santai di atas punggung dan itu sangat geli, merinding. Aku membalik tubuhku ke
kanan, rasanya sama saja, seperti ia masih di lari – lari manis di punggung
menuju paha, aku membalik tubuh ke kiri, rasanya seolah ia kini berjalan
menuruni pahaku menuju betis, bisa aku rasakan kakinya begitu mungil halus
seolah bulu – bulu lembut yang genit menggelitiki betisku yang kini turun ke
telapak kaki, mengitarinya, menjelajah sela- sela jari-jemari, geli, merinding,
aku menendang – nendang udara, seperti menghalau sesuatu, menggoyangkan kaki –
kakiku, menggosok –gosokkan punggung ke kasur dan tetap saja, rasa geli itu
bermain di tubuhku seperti sedang piknik cantik, aku menggaruk – garuk punggung
yang tak gatal sekuat tenaga dengan kuku – kuku jari tanganku yang panjang, tak
sakit, lebih mengerikan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhku.
Esok
hari aku bangun dengan tubuh penuh luka, punggungku penuh luka cakaran
sementara kaki -kakiku memar seperti jatuh dari sepeda, aku berusaha
menyembunyikan luka aneh itu dari ibu, tak mau ibu banyak bertanya dan cemas,
karena aku pun masih belum tahu bagaimana harus menjawab dan menenangkannya.
Abaikan saja, anggap saja aku jatuh dari kasur.
Kejadian
itu terus berulang setiap hari setiap malam, tanpa jeda. Dan semakin hari luka
– luka di tubuhku semakin bertambah, aku rasa kini aku mulai menjadi kolektor
luka, termasuk luka dalam bagian hati dan sekitarnya. Aku ragu memberitahu ibu
sampai akhirnya tanpa sengaja ia melihat sendiri tanganku yang berbekas luka
cakaran. Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tak tahu pasti apa yang
terjadi, aku hanya mengarang cerita dengan judul jatuh dari kasur, jatuh di
kamar mandi, kepeleset dan lain sebagainya.
Melihat
aku yang semakin hari semakin lengkap mengoleksi luka, ibu memutuskan untuk
pindah rumah, katanya rumah lama itu tidak membawa hoki, aku menurut saja
dengan senang hati, meninggalkan kejadian – kejadian aneh yang mungkin fiktif
dengan bekas luka yang nyata.
Selama
menuju rumah baru, ibu tak henti mengingatkanku untuk meminta maaf pada arwah
kecoak – kecoak yang aku bantai, aku tetap tidak mau, membayangkannya saja aku
tak sudi. Ibu tak kenal menyerah, berbagai peringatan ia sampaikan padaku yang
acuh mendengarkannya, apa peduliku kini aku di rumah baru, selamat tinggal
mimpi buruk.
Sehabis
makan malam aku menonton teve sendirian, ibu sudah mengurung diri di kamar
dengan to do list esok hari, aku
meregangkan otot – otot yang seharian ini bekerja ekstra menata kamar, ah tak
sabar rasanya tidur di kamar baru. Aku menonton teve dengan setoples besar
kuping gajah, bukan kuping gajah asli, hanya makanan ringan berbentuk lonjong
berwarna cokelat tua dengan hiasan garis putih yang mengikuti bentuk lonjongnya,
sama sekali tidak mirip kuping gajah. Menurutku ini lebih mirip dengan makhluk
kecil menjijikan bernama kecoak. Kecoak lagi! Aku usir jauh – jauh bayangan
makhluk itu dan fokus pada layar televisi, mengunyah kuping gajah tanpa melihat
bentuk dan rupanya.
Aku tak
tahu berapa lama aku duduk manis di kursi sampai dengan rasa gatal menyerbu dan
mengganggu santaiku. Aku garuk seluruh kulit yang gatal, namun aneh, semakin
kuat aku menggaruknya semakin gatal kulitku, aku terus menggaruk sembari
sesekali memukul – mukul tubuhku, karena rasanya ada sesuatu yang berjalan
santai, lagi, di atas tubuhku. Aku memukul – mukul kaki dengan remote teve, aku
menggebuk tangan kiri dengan telapak tangan kanan, begitupun sebaliknya,
rasanya semakin gatal, seolah segerombolan makhluk menyerbu tubuhku mulai dari
ujung kuku kaki sampai dengan kulit kepala, gatal. Aku terus meronta – ronta,
melawan sekuat tenaga, nihil, tetap sama rasanya. Tuhan, sekarang sakit sekali,
seperti gigi – gigi kecil menggerogoti tubuhku. Aku menubrukkan punggungku
berkali – kali pada sandaran kursi, begitu kuat sampai akhirnya kursi terbalik
dan aku jatuh telungkup di lantai, kuping gajah berserakan di sekitarku,
berjalan bergerombol mendaki tubuhku, ada yang mulai dari kaki, tangan, kepala,
oh, tunggu, Tuhan! Bukan kuping gajah, ini kecoak – kecoak cokelat yang
meyerang tubuhku, mengkudeta kuasa atas tubuhku sendiri, aku berusaha
menggoyangkan badan mengusir mereka, namun rasanya mereka semakin banyak, aku
melompat – lompat, namun mereka sepertinya ada di mana – mana, keluar dari
berbagai penjuru menuju aku. Tuhan aku takut.
Aku
berlari sembari terus menggaruk sekuat tenaga, mencari semprotan serangga yang
aku tak tahu di mana ibu menaruhnya, Tuhan gatal sekali, sakit. Aku
membenturkan tubuh ke tembok, berharap mereka semua penyok, gagal, justru
mereka semakin banyak, menyerbuku meruntuhkan tembok, aku berlari menuju kamar
mandi, ingin membasahi tubuhku agar mereka mengalir bersama air. Tubuhku
rasanya berkali lipat lebih berat sulit sekali berlari dengan tubuh berbalut
kecoak, tubuhku tak seimbang, aku jatuh, tersungkur dengan kepala menghadap
kamar mandi, aku berusaha merangkak menggapai kran air yang tak jauh dari
pintu, sedikit lagi.
Aku
berhasil membuka kran, ingin mengusir kecoak – kecoak ini, kudekatkan tubuhku
pada keran, dan kecoak – kecoak itu semakin banyak karena mengalir keluar dari
keran yang seharusnya berisi air, aku menangis kesakitan, takut. Tolong aku
siapapun tolong aku, aku takut. Perlahan mereka mulai memenuhi leherku,
berlanjut pada mulut, hidung, mata, telinga, hingga aku sanggup mendengar celetukan – celetukan
kecil di dalam telingaku.
“Gigit saja”
“Kencingi matanya”
“Gelitiki kulitnya”
“Panggil yang lain”
“Habisi otaknya”
“Tutup hidungnya, tahu rasa dia, bagaimana rasanya sesak
napas”
Aku tak sanggup
melakukan apapun lagi, selain mendengar kalimat – kalimat balas dendam dari
mulut mereka, menderita karena penyerangan mereka. Aku merasakan gigi – gigi
kecil yang banyak itu menggerogoti otakku perlahan, pandanganku cokelat, hitam,
tak ada apa – apa lagi. Tuhan, maafkan aku. Kecoak, terkutuk kalian!
Keesokan harinya
ibu menemukan tubuhku yang tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi dengan kran
air yang terbuka dan kamar mandi yang banjir, di sekitar tubuhku banyak sekali
remah kuping gajah berserakan, tubuhku memar, lebih parah dari yang sudah –
sudah, ibu menangis, memelukku, mengikhlaskan aku pergi bersama arwah – arwah
kecoak terkutuk penuh dendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar