Minggu, 07 Juni 2015

Panggilan Cahaya

Panggilan Cahaya
Malam ini terang, sangat terang, malam paling terang yang pernah aku lihat. Bukan malam bertabur bintang berhias bulan bundar sempurna, juga bukan malam dengan pelbagai warna – warni nyala lampu. Hanya malam terang bersama warga yang sibuk mondar – mandir dan saling meneriaki, aku mencondongkan tubuhku keluar jendela kamar, mencoba melihat lebih jelas apa yang mereka lakukan di rumahku.
            Terang malam seolah menuntunku terjun dari lantai dua rumahku dan langsung mendarat tepat di antara kerumunan masa yang sibuk, sangat sibuk. Kulihat ayah yang berusaha menenangkan ibu bersama tangisnya yang tak membuat pekak telinga namun terasa pedih di hati. Aku melangkah mendekati keduanya, memeluk ibuku menimpa pelukan ayah. Hangat.
            Aku tak ingin melepaskan pelukanku, hanya saja rasa penasaran ini sangat kuat saat aku melihat salah satu tetanggaku yang berteriak panik memanggil nama ibu, “Bu Warso, Ibu maafkan saya, saya ndak tahu dia di mana, mungkin sedang bermain dengan temannya, tapi dia ndak pamit sama saya, pie iki, Bu?”, jelas Bu Tarminah, tetangga dekatku.
            Aku semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi, apa yang salah dengan malam yang lebih terang dari biasanya. Dan “dia” yang mereka maksud, dia siapa, tolong beritahu aku agar setidaknya aku mengerti situasi ini dan bisa ikut membantu walau hanya mengambil beberapa ember.
            Saat hendak pamit meminta izin pada ibu untuk membantu, ibu seolah tak mendengarku, ia larut dalam tangisnya yang semakin dalam di dada ayah. Aku mencoba menyerunya lagi, nihil, ia tetap tak mendengarku, bahkan menoleh pun tidak. Aku memanggilnya lagi, apa yang salah.
            Seorang warga mengalihkan perhatianku saat ini berlari dengan napas yang tak beraturan, “Itu, bapak petugas e berhasil masuk, itu digendong”, katanya sembari menunjuk bapak berbaju orange lengkap dengan helmet putih bergaris biru yang berjalan tergesa – gesa. “Clear area, tolong beri jalan, tolong, tolong beri jalan”, teriak salah satu temannya yang memimpin di depan.
            Aku mendekati bapak yang mukanya penuh debu dan menghitam, seolah berlulur arang pembakaran sate. Aku semakin dekat dengan bapak yang kini menyimpan apa yang yang digendongnya ke dalam ambulance, ku lihat ayah dan ibu mengikutiku. Dengan penuh keberanian, ayah menatap wajah seonggok tubuh yang kini menggosong, tak banyak yang dapat dilihatnya selain kalung inisial R yang tergantung di leher jasad yang hangus terbakar akibat terjebak di lantai dua rumah yang mengalami kebakaran. Ku dengar ibu semakin menaikan volume tangisnya sampai akhirnya jatuh pingsan saat seberkas cahaya memintaku mengikutinya, meninggalkan ibu, ayah, warga yang sibuk, dan jasad yang hangus, jasadku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar