Panggilan Cahaya
Malam ini terang, sangat
terang, malam paling terang yang pernah aku lihat. Bukan malam bertabur bintang
berhias bulan bundar sempurna, juga bukan malam dengan pelbagai warna – warni
nyala lampu. Hanya malam terang bersama warga yang sibuk mondar – mandir dan
saling meneriaki, aku mencondongkan tubuhku keluar jendela kamar, mencoba
melihat lebih jelas apa yang mereka lakukan di rumahku.
Terang malam seolah menuntunku terjun dari lantai dua
rumahku dan langsung mendarat tepat di antara kerumunan masa yang sibuk, sangat
sibuk. Kulihat ayah yang berusaha menenangkan ibu bersama tangisnya yang tak
membuat pekak telinga namun terasa pedih di hati. Aku melangkah mendekati
keduanya, memeluk ibuku menimpa pelukan ayah. Hangat.
Aku tak ingin melepaskan pelukanku, hanya saja rasa
penasaran ini sangat kuat saat aku melihat salah satu tetanggaku yang berteriak
panik memanggil nama ibu, “Bu Warso, Ibu
maafkan saya, saya ndak tahu dia di mana, mungkin sedang bermain dengan
temannya, tapi dia ndak pamit sama saya, pie iki, Bu?”, jelas Bu Tarminah,
tetangga dekatku.
Aku semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi, apa
yang salah dengan malam yang lebih terang dari biasanya. Dan “dia” yang mereka
maksud, dia siapa, tolong beritahu aku agar setidaknya aku mengerti situasi ini
dan bisa ikut membantu walau hanya mengambil beberapa ember.
Saat hendak pamit meminta izin pada ibu untuk membantu,
ibu seolah tak mendengarku, ia larut dalam tangisnya yang semakin dalam di dada
ayah. Aku mencoba menyerunya lagi, nihil, ia tetap tak mendengarku, bahkan
menoleh pun tidak. Aku memanggilnya lagi, apa yang salah.
Seorang warga mengalihkan perhatianku saat ini berlari
dengan napas yang tak beraturan, “Itu,
bapak petugas e berhasil masuk, itu digendong”, katanya sembari menunjuk
bapak berbaju orange lengkap dengan helmet putih bergaris biru yang berjalan
tergesa – gesa. “Clear area, tolong beri jalan, tolong, tolong beri jalan”,
teriak salah satu temannya yang memimpin di depan.
Aku mendekati bapak yang mukanya penuh debu dan
menghitam, seolah berlulur arang pembakaran sate. Aku semakin dekat dengan
bapak yang kini menyimpan apa yang yang digendongnya ke dalam ambulance, ku lihat ayah dan ibu
mengikutiku. Dengan penuh keberanian, ayah menatap wajah seonggok tubuh yang
kini menggosong, tak banyak yang dapat dilihatnya selain kalung inisial R yang
tergantung di leher jasad yang hangus terbakar akibat terjebak di lantai dua
rumah yang mengalami kebakaran. Ku dengar ibu semakin menaikan volume tangisnya
sampai akhirnya jatuh pingsan saat seberkas cahaya memintaku mengikutinya,
meninggalkan ibu, ayah, warga yang sibuk, dan jasad yang hangus, jasadku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar