Biarkan hatiku tetap sakit dan pilu dengan lidah yang
acap kali menyebut namanya terasa kelu. Mata cokelatnya sungguh teduh menatapku
yang malu. Sampai detik ini aku masih membiarkan semua tentangnya memenuhi
pikiranku. Jangan salahkan dia apalagi aku, jangan menuduh karena tak ada yang
perlu mengaku.
“Sampai kapan kamu menunggu?”
Pertanyaan dari keluarga dan kawan yang iba padaku karena
begitu kuat menunggu selama ini. Aku tak pernah tentukan waktu, siapa aku yang
berhak berkuasa akan waktu, aku bukan Tuhan yang boleh menghentikan waktu,
Tuhan saja tak penah bermain dengan waktu, kenapa aku harus putuskan kapan
behenti menunggu. Menungguku tanpa batas, selama apapun waktu yang ia butuhkan
bebas, penantianku setegar batu cadas.
“Kamu tidak lelah?”
Tak ada yang kukenal dari lelah, karena bagiku ia tak
pernah salah, lantas kurasa ini pantas untuk ditelaah. Mengapa aku harus merasa
lelah menunggu dia yang tersayang, kasih sayang itu tak ada batasnya layaknya
kreatifitas, maka dari itu sebisa mungkin aku berkreasi agar tetap bertahan dan
tak pernah lelah. Karena, menyayangi itu sepanjang hayat, sepanjang hayat
berarti selamanya, bukankah selama hidup diri ini tak pernah lelah untuk
bernapas, mengapa aku lelah untuk menunggunya jika bernapas saja aku sanggup.
“Kenapa kamu seperti ini?”
Pertanyaan seperti itu tak cepat kujawab. Bukannya tak
mau, aku hanya ragu, apa mereka mau mendengar kisahku.
Dua tahun lalu tepatnya hari Selasa tanggal 12 Juni di
sebuah tempat di sekitar Gang Warta, aku menikmati senja bersamanya dari atap
sebuah rumah bergaya belanda. Kami duduk berdampingan, terpisahkan dua cangkir
teh hijau dan sepiring keju yang dipotong dadu.
“Kakak kok suka keju, sih?” tanyaku yang masih keheranan
dengannya yang mengaku vegetarian namun gemar mengunyah keju.
“Enak”
“Enak itu relatif, bukan alasan kongkrit”
“Kamu kenapa suka kebab?”
“Enak”, jawabku yang kemudian terdiam karena telah
terjebak ke dalam permainannya. Ia tersenyum puas ke arahku, seolah memenangkan
lotre jutaan dollar. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, mengedipkan sebelah
mata kepadanya dan menjulurkan lidah untuk mewakili rasa maluku. Ia masih
tersenyum puas, mengacak – acak rambutku.
“Kak, lihat langitnya kayak permen kapas, ingin gigit”
Langit senja yang keunguan terlihat indah berkombinasi
dengan garis – garis oranye yang menegaskan kesan lembut dan tenang. Beberapa
burung gereja terbang hilir – mudik bermain di sore hari. Ah, wajahnya yang
menikmati langit senja mana mungkin aku lupakan. Lesung pipitnya yang menjorok
ke dalam menggodaku untuk menjahilinya, kutusuk – tusukan telunjukku pada sumur
di pipinya. Ia tersenyum berpura – pura marah, menarik lenganku dan mendekapku
di dadanya.
“De?” panggilnya dengan lembut dan perlahan, hampir
seperti berbisik.
“Apa?”
“Jangan lupain Adit, ya”
“Kok gitu sih, aneh. Kebiasaan kalau udah mulai ngaco
omongannya, eling, ah!”
“Umur aja nggak ada yang tahu, apalagi jodoh, De”
“Tapi, kan kita mesti optimis, jalanin aja dan usah mikir
macem – macem!”
Adit terdiam, tubuhku masih nyaman bersandar di dadanya,
kedua tangannya memeluk tubuhku. Ia menitipkan dagunya di bahu kiriku. Aku
dapat merasakan hembusan napasnya yang panas adan tidak teratur, detak
jantungnya pun semakin cepat. Kenapa dia.
“Kakak kenapa? Kita nggak ada masalah, kan?”, tanyaku
sembari melepaskan diri dari pelukannya dan menatap matanya tajam. Wajahnya
begitu kusut dan seolah penuh tekanan. Aku menggenggam kedua tangannya kuat, ia memalingkan pandangannya dariku, membuang
mukanya dan tak lagi menatapku.
“Bukan kita masalahnya, ini cuma tentang aku”
“Kak?”
“Apa?”
“Kakak kenapa?”
“Nggak tahu”
“Kakak aneh! Selalu menutupi masalah dariku, aku tahu
Kakak bukan tipe orang yang suka mengumbar masalah tapi ini aku, bukan orang
lain. Aku tahu Kakak nggak suka sama orang yang selalu ngeluh tapi berbagi
masalah dengan pacar sendiri itu bukan sebuah aib dan bukan berarti Kakak
lemah, kita cari bareng – bareng solusinya”
“Kamu cerewet! Aku pasti rindu itu”
“Kak! Aku serius! You
can count on me, darl!”
“Aku lagi ingin sendiri dulu”
Aku terdiam mendengar jawaban darinya, apa yang ia
maksud. Sendiri saat ini atau sendiri untuk esok lusa dan seterusnya. Aku
membuka mulut namun tak ada satu patah kata pun yang keluar, hanya udara yang
keluar masuk silih berganti.
“Aku mau sendiri dulu”
Ia mengulangi kalimat ajaib itu dan mulutku masih kaku
bahkan untuk mengantup pun tak sanggup. Ia melepaskan genggaman tanganku dna
balik menepuk bahuku.
“De, kamu percaya jodoh?”
Aku terdiam, tak menjawab pertanyaannya yang sungguh
bagai belati menyayat hati.
“Kalau kita jodoh, gimana pun caranya, walau kita putus,
kamu jalan sama orang lain, Adit balikan...”
Ia menghentikan kalimatnya, kalimat itu terpenggal dan
menggantung serta ada penekanan pada kata balikan. Aku mulai kembali seutuhnya
menguasi tubuhku. Aku melepaskan diri dari tangan Adit yang mencengkram kedua
bahuku, seperti ayah yang sedang menasehati anaknya.
“Balikan?”
“Gimana pun caranya, De! Pokoknya kalau jodoh kita pasti balik
lagi”
Aku mengerti sepenuhnya maksud perbincangan ini, bahkan
aku sudah tahu apa akhirnya. Secara halus ia memutuskanku, walau tak ada kata –
kata putus. Aku tak pernah mengira akan hal ini akan terjadi.
“Tapi, kenapa. Kita nggak ada masalah, kan? Atau aku yang
salah, aku nggak ngerti kenapa, Kak?”
“Kamu nggak salah”
“Terus?”
“Aku ingin sendiri dulu”
“Kak! Ini nggak bener, ini nggak boleh terjadi, kalau ada
masalah kita beresin bareng – bareng, bukan sepihak mutusin kayak gini. Takdir,
jodoh, mati itu semua terserah Tuhan, aku tahu itu tapi nggak ada salahnya kita
berusaha, kan. Pasti ada jalan keluar”. Setetes air mata mulai jatuh membasahi
pipiku.
“Aku nggak pantes buat kamu, De. Aku ini siapa, cuma
lulus SMA dan modal nekat deketin kamu yang ningrat”
Aku terdiam mendengar jawaban darinya, sesederhana itu,
semudah itu dia menyerah, aku kecewa.
“Kalau ngerasa nggak
pantes harusnya berusaha gimana caranya biar jadi pantes! Bukan menyerah
kayak gini, lagipula sejak awal aku nggak pernah permasalahin hal ini, itu cuma sekedar status, Kak! Yang
aku butuh bukan status gelar atau pengakuan, aku butuh kita saling melindungi,
menjaga. Kita berjuang sama – sama”
“Itu katamu, De. Apa kata orang lain”
“Perduli setan dengan gunjingan orang! Kenapa Kakak jadi
pengecut kayak gini, aku kecewa! Kita bisa perbaikin, Kak”
“Nggak ada yang perlu diperbaiki. Aku mundur, kita jalani
hidup kita masing – masing, kalau jodoh pasti kita...”
“Cukup! Aku tahu takdir itu ada tapi bukan berarti kita
menyerah dan pasrah kita harus berusaha, Kak!”
“Ini wujud usahaku, agar semuanya menjadi lebih mudah untuk
takdir”
“Pengecut! Kakak itu laki – laki, malu untuk lemah dan
menyerah”
Aku marah dalam sela isak tangisku, ia menarik tubuhku ke
dalam pelukannya, mengelus rambutku perlahan, membisikkan kata maaf berkali –
kali, aku masih menangis dan tak mau pelukannya berakhir. Aku tahu ini mungkin
pelukannya yang terakhir kali, aku tak mau ia pergi, sungguh.
“Sudah waktunya minum obat”
Semenjak kisahku dengan Adit berakhir dengan penutup dia
yang tetap pergi meninggalkan aku dengan seribu tanda tanya besar, setiap hari
aku harus selalu meminum obat. Dokter bilang agar staminaku tak menurun, bagiku
percuma saja, tak ada gunanya.
“Sudah malam, ayo masuk kamar”
Aku masih tediam duduk di kursi yang di letakkan di depan
kamar inapku. Tak hirau pada wanita berseragam putih yang sedari tadi terus
memintaku masuk ke dalam. Wanita itu kurang peka, seharusnya ia tahu jika aku
masuk Adit tak dapat melihatku, kami tak dapat kembali bersama lagi. Aku
mengacuhkan wanita itu yang kini tak sendirian, seorang temannya yang juga berseragam
putih menghampirinya. Mereka bicara pelan sekali namun samar aku dapat
mendengarnya lewat bantuan udara.
“Ada masalah apa?”
“Biasa”
“Lala nggak mau masuk kamar lagi?”
“Iya”
“Kasihan, aku nggak abis pikir kenapa pacarnya tega
ninggalin dia sampai stres kayak gini”
“Ssst! Jangan keras - keras”
“Nggak apa – apa, biar dia mikir, ngapain cowok kayak
begitu masih dipikirin”
“Namanya juga cinta”
“Ah! Cinta itu bohong. Padahal lihat deh si Lala ini
kurang cantik apalagi, badan tinggi, kulit putih, bersih pula, gara – gara
cowok sialan itu aja dia jadi suka ngiris - ngiris tangan, padahal kulitnya
mulus banget”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar