Jumat, 18 Juli 2014

Menunggu Adit


Biarkan hatiku tetap sakit dan pilu dengan lidah yang acap kali menyebut namanya terasa kelu. Mata cokelatnya sungguh teduh menatapku yang malu. Sampai detik ini aku masih membiarkan semua tentangnya memenuhi pikiranku. Jangan salahkan dia apalagi aku, jangan menuduh karena tak ada yang perlu mengaku.
“Sampai kapan kamu menunggu?”
Pertanyaan dari keluarga dan kawan yang iba padaku karena begitu kuat menunggu selama ini. Aku tak pernah tentukan waktu, siapa aku yang berhak berkuasa akan waktu, aku bukan Tuhan yang boleh menghentikan waktu, Tuhan saja tak penah bermain dengan waktu, kenapa aku harus putuskan kapan behenti menunggu. Menungguku tanpa batas, selama apapun waktu yang ia butuhkan bebas, penantianku setegar batu cadas.
“Kamu tidak lelah?”
Tak ada yang kukenal dari lelah, karena bagiku ia tak pernah salah, lantas kurasa ini pantas untuk ditelaah. Mengapa aku harus merasa lelah menunggu dia yang tersayang, kasih sayang itu tak ada batasnya layaknya kreatifitas, maka dari itu sebisa mungkin aku berkreasi agar tetap bertahan dan tak pernah lelah. Karena, menyayangi itu sepanjang hayat, sepanjang hayat berarti selamanya, bukankah selama hidup diri ini tak pernah lelah untuk bernapas, mengapa aku lelah untuk menunggunya jika bernapas saja aku sanggup.
“Kenapa kamu seperti ini?”
Pertanyaan seperti itu tak cepat kujawab. Bukannya tak mau, aku hanya ragu, apa mereka mau mendengar kisahku.
Dua tahun lalu tepatnya hari Selasa tanggal 12 Juni di sebuah tempat di sekitar Gang Warta, aku menikmati senja bersamanya dari atap sebuah rumah bergaya belanda. Kami duduk berdampingan, terpisahkan dua cangkir teh hijau dan sepiring keju yang dipotong dadu.
“Kakak kok suka keju, sih?” tanyaku yang masih keheranan dengannya yang mengaku vegetarian namun gemar mengunyah keju.
“Enak”
“Enak itu relatif, bukan alasan kongkrit”
“Kamu kenapa suka kebab?”
“Enak”, jawabku yang kemudian terdiam karena telah terjebak ke dalam permainannya. Ia tersenyum puas ke arahku, seolah memenangkan lotre jutaan dollar. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, mengedipkan sebelah mata kepadanya dan menjulurkan lidah untuk mewakili rasa maluku. Ia masih tersenyum puas, mengacak – acak rambutku.
“Kak, lihat langitnya kayak permen kapas, ingin gigit”
Langit senja yang keunguan terlihat indah berkombinasi dengan garis – garis oranye yang menegaskan kesan lembut dan tenang. Beberapa burung gereja terbang hilir – mudik bermain di sore hari. Ah, wajahnya yang menikmati langit senja mana mungkin aku lupakan. Lesung pipitnya yang menjorok ke dalam menggodaku untuk menjahilinya, kutusuk – tusukan telunjukku pada sumur di pipinya. Ia tersenyum berpura – pura marah, menarik lenganku dan mendekapku di dadanya.
“De?” panggilnya dengan lembut dan perlahan, hampir seperti berbisik.
“Apa?”
“Jangan lupain Adit, ya”
“Kok gitu sih, aneh. Kebiasaan kalau udah mulai ngaco omongannya, eling, ah!”
“Umur aja nggak ada yang tahu, apalagi jodoh, De”
“Tapi, kan kita mesti optimis, jalanin aja dan usah mikir macem – macem!”
Adit terdiam, tubuhku masih nyaman bersandar di dadanya, kedua tangannya memeluk tubuhku. Ia menitipkan dagunya di bahu kiriku. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang panas adan tidak teratur, detak jantungnya pun semakin cepat. Kenapa dia.
“Kakak kenapa? Kita nggak ada masalah, kan?”, tanyaku sembari melepaskan diri dari pelukannya dan menatap matanya tajam. Wajahnya begitu kusut dan seolah penuh tekanan. Aku menggenggam kedua tangannya kuat,  ia memalingkan pandangannya dariku, membuang mukanya dan tak lagi menatapku.
“Bukan kita masalahnya, ini cuma tentang aku”
“Kak?”
“Apa?”
“Kakak kenapa?”
“Nggak tahu”
“Kakak aneh! Selalu menutupi masalah dariku, aku tahu Kakak bukan tipe orang yang suka mengumbar masalah tapi ini aku, bukan orang lain. Aku tahu Kakak nggak suka sama orang yang selalu ngeluh tapi berbagi masalah dengan pacar sendiri itu bukan sebuah aib dan bukan berarti Kakak lemah, kita cari bareng – bareng solusinya”
“Kamu cerewet! Aku pasti rindu itu”
“Kak! Aku serius! You can count on me, darl!”
“Aku lagi ingin sendiri dulu”
Aku terdiam mendengar jawaban darinya, apa yang ia maksud. Sendiri saat ini atau sendiri untuk esok lusa dan seterusnya. Aku membuka mulut namun tak ada satu patah kata pun yang keluar, hanya udara yang keluar masuk silih berganti.
“Aku mau sendiri dulu”
Ia mengulangi kalimat ajaib itu dan mulutku masih kaku bahkan untuk mengantup pun tak sanggup. Ia melepaskan genggaman tanganku dna balik menepuk bahuku.
“De, kamu percaya jodoh?”
Aku terdiam, tak menjawab pertanyaannya yang sungguh bagai belati menyayat hati.
“Kalau kita jodoh, gimana pun caranya, walau kita putus, kamu jalan sama orang lain, Adit balikan...”
Ia menghentikan kalimatnya, kalimat itu terpenggal dan menggantung serta ada penekanan pada kata balikan. Aku mulai kembali seutuhnya menguasi tubuhku. Aku melepaskan diri dari tangan Adit yang mencengkram kedua bahuku, seperti ayah yang sedang menasehati anaknya.
“Balikan?”
“Gimana pun caranya, De! Pokoknya kalau jodoh kita pasti balik lagi”
Aku mengerti sepenuhnya maksud perbincangan ini, bahkan aku sudah tahu apa akhirnya. Secara halus ia memutuskanku, walau tak ada kata – kata putus. Aku tak pernah mengira akan hal ini akan terjadi.
“Tapi, kenapa. Kita nggak ada masalah, kan? Atau aku yang salah, aku nggak ngerti kenapa, Kak?”
“Kamu nggak salah”
“Terus?”
“Aku ingin sendiri dulu”
“Kak! Ini nggak bener, ini nggak boleh terjadi, kalau ada masalah kita beresin bareng – bareng, bukan sepihak mutusin kayak gini. Takdir, jodoh, mati itu semua terserah Tuhan, aku tahu itu tapi nggak ada salahnya kita berusaha, kan. Pasti ada jalan keluar”. Setetes air mata mulai jatuh membasahi pipiku.
“Aku nggak pantes buat kamu, De. Aku ini siapa, cuma lulus SMA dan modal nekat deketin kamu yang ningrat”
Aku terdiam mendengar jawaban darinya, sesederhana itu, semudah itu dia menyerah, aku kecewa.
“Kalau ngerasa nggak  pantes harusnya berusaha gimana caranya biar jadi pantes! Bukan menyerah kayak gini, lagipula sejak awal aku nggak pernah permasalahin  hal ini, itu cuma sekedar status, Kak! Yang aku butuh bukan status gelar atau pengakuan, aku butuh kita saling melindungi, menjaga. Kita berjuang sama – sama”
“Itu katamu, De. Apa kata orang lain”
“Perduli setan dengan gunjingan orang! Kenapa Kakak jadi pengecut kayak gini, aku kecewa! Kita bisa perbaikin, Kak”
“Nggak ada yang perlu diperbaiki. Aku mundur, kita jalani hidup kita masing – masing, kalau jodoh pasti kita...”
“Cukup! Aku tahu takdir itu ada tapi bukan berarti kita menyerah dan pasrah kita harus berusaha, Kak!”
“Ini wujud usahaku, agar semuanya menjadi lebih mudah untuk takdir”
“Pengecut! Kakak itu laki – laki, malu untuk lemah dan menyerah”
Aku marah dalam sela isak tangisku, ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, mengelus rambutku perlahan, membisikkan kata maaf berkali – kali, aku masih menangis dan tak mau pelukannya berakhir. Aku tahu ini mungkin pelukannya yang terakhir kali, aku tak mau ia pergi, sungguh.
“Sudah waktunya minum obat”
Semenjak kisahku dengan Adit berakhir dengan penutup dia yang tetap pergi meninggalkan aku dengan seribu tanda tanya besar, setiap hari aku harus selalu meminum obat. Dokter bilang agar staminaku tak menurun, bagiku percuma saja, tak ada gunanya.
“Sudah malam, ayo masuk kamar”
Aku masih tediam duduk di kursi yang di letakkan di depan kamar inapku. Tak hirau pada wanita berseragam putih yang sedari tadi terus memintaku masuk ke dalam. Wanita itu kurang peka, seharusnya ia tahu jika aku masuk Adit tak dapat melihatku, kami tak dapat kembali bersama lagi. Aku mengacuhkan wanita itu yang kini tak sendirian, seorang temannya yang juga berseragam putih menghampirinya. Mereka bicara pelan sekali namun samar aku dapat mendengarnya lewat bantuan udara.
“Ada masalah apa?”
“Biasa”
“Lala nggak mau masuk kamar lagi?”
“Iya”
“Kasihan, aku nggak abis pikir kenapa pacarnya tega ninggalin dia sampai stres kayak gini”
“Ssst! Jangan keras - keras”
“Nggak apa – apa, biar dia mikir, ngapain cowok kayak begitu masih dipikirin”
“Namanya juga cinta”

“Ah! Cinta itu bohong. Padahal lihat deh si Lala ini kurang cantik apalagi, badan tinggi, kulit putih, bersih pula, gara – gara cowok sialan itu aja dia jadi suka ngiris - ngiris tangan, padahal kulitnya mulus banget”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar