Belaian lembut tangannya membangunkanku dari sisa - sisa
tidur nyenyak semalam. Badanku lelah, sangat lelah. Aku menggelengkan kepala
bekali - berkali sementara ia hanya tersenyum puas melihatku terbangun untuk
menyaksikan rutinitas paginya seperti biasa. Segera ia mengelus kepalaku dengan
lembut dan memberikan senyuman selamat pagi yang indah. Nyaman. Aku
melihatnya bergegas mandi dan berganti pakaian. Aroma sabunnya yang khas,
kegemaranku setiap pagi, semacam makanan pembuka untuk penggugah selera.
Kami sarapan bersama seperti biasanya, sebelum ia
meninggalkanku dengan rumah dan seisinya yang selalu menatap iri kepadaku yang
tak bersalah ini. Ia kembali mengelus kepalaku dengan lembut, mendaratkan
kecupan di keningku dan berkata, "Jangan nakal, ya. Aku pergi. Dah!".
Suara pintu yang bergesekan dengan lantai menjadi penanda langkah - langkah
kakinya yang pergi menjauh dan aku yang sendiri. Aku merentangkan tubuh yang
pegal, menggetarkan tubuhku seolah mengusir rasa kantuk.
Aku melangkah menuju taman kecil di belakang rumahnya, tempat
yang aku suka di rumah ini, tentu saja setelah kamarnya. Beberapa kuas berbagai
ukuran tertidur di atas meja bundar kecil di samping kanvas besar yang berisi
bentangan langit malam bersama jutaan titik magnesium bintang. Dari balik
dedauan yang rimbun aku dapat melihat bulan yang mengintip malu dari balik awan
hitam keunguan. Kuas - kuas ini pasti lelah setelah kemarin kami menghabiskan
malam bersama. Aku melangkah dengan hati - hati, tak mau membangunkan kuas -
kuas yang tertidur lelap berselimutkan warna - warni cat air. Hangat.
Aku membaringkan tubuh, membiarkan rumput - rumput menjadi
alas untuk tidur, langit pagi ini indah sekali. Sayang ia harus terburu - buru
pergi. Biasanya kami sering menghabiskan pagi bersama, berbaring di rumput seperti yang
aku lakukan saat ini, memandangi lukisan Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu indah. Aku
selalu ingat janjinya yang akan membuatkanku lukisan paling indah dari semua
lukisan yang pernah dia buat. Aku jug masih ingat semangatnya untuk menjadi
pelukis.
Empat tahun berlalu setelah ia yakin akan cita - citanya
menjadi pelukis. Dan empat tahun, waktu yang aku lewati tanpa sekali pun
melewatkan senyumnya. Empat tahun cukup bagiku untuk menyakinkan diriku sendiri
bahwa aku menyayanginya dan tak pernah ingin melewatkan satu detik pun tanpa
bersamanya. Pagiku yang selalu disambut senyuman hangat yang diukir di
bibirnya, jalan - jalan sore yang tak pernah kami lewatkan. Berbagai lukisan
langit yang telah dibuatnya. Kumpulan kebahagiaan yang paling bahagia yang tak
akan aku lupakan. Tak sabar rasanya menunggu ia pulang.
Suara langkah kaki yang lebih ramai dari biasanya
membangunkanku, rupanya aku tertidur cukup lama, ia sudah pulang. Aku segera
menghampirinya yang ternyata tidak sendiri, beberapa temannya duduk manis di
ruang tamu, satu diantaranya terasa asing bagiku, aku kembali membuka lembaran
ingatanku, nihil. Aku tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Mungkin teman
barunya. Biarkan saja selama ia tidak macam – macam.
Ia menghampiriku, membelai kepalaku seperti biasanya dengan
senyuman yang indah, tunggu. Senyuman ini terasa berbeda, aku dapat
merasakannya, ia sangat bahagia, lebih bahagia dari biasanya. Aku bertanya
padanya. Namun, ia hanya kembali tersenyum dan mengelus kepalaku. "Kamu
makan sendiri, ya. Aku tadi udah makan sama temen - temen. Selamat makan,
Du"
Belum pernah sebelumnya seperti ini, setelat apapun ia
pulang, aku dengan setia menunggunya pulang di depan pintu, menanti saat - saat
kebersamaan kami, makan bersama dan aku dengan setia mendengar keluh
kesahnya. Namun, kali
ini, apa yang salah, dia kenapa. Ia meninggalkanku di dapur, kembali
menghampiri teman - temannya. Aku memandangi mereka dari jauh, begitu akrab,
bahagia dan melupakan waktu jalan - jalan soreku. Beberapa dari mereka satu per
satu pamit pulang dan menyapaku dengan ramah namun si asing ini, masih bertahan di rumah dan
berbincang dengan akrab. Aku tak melepaskan sedetik pun pandanganku dari mereka
yang tertawa terbahak - bahak. Anggap saja aku ini hiasan dinding atau
patung selamat datang dan semacamnya, tak usah dihiraukan, anggap saja kalian
hanya sedang berduaan.
Matahari semakin menghilang, si asing pun pamit dan tak hirau
kepadaku yang ikut mengantarnya keluar. Setelah menyaksikan laju motor si asing
yang semakin menjauh aku protes, aku meminta kejelasan dari hari ini yang
begitu ganjil. Lagi - lagi ia hanya tersenyum. Aku mengikutinya menuju taman
belakang, mungkin saja ia ingin berbaring di rumput memandangi langit malam
sebelum pergi tidur.
Aku salah, ia merapikan kuas, cat dan semua perangkat
lukisnya. "Du, besok aku mau jalan sama Dean, wish me luck", katanya
dengan mata yang berbinar. Aku tak mengerti apa yang ia maksud, ia
meninggalkanku dalam kebingungan, membiarkan aku berpikir semalaman dan terjaga
hingga pagi hari untuk menyaksikan si asing yang merebut senyuman selamat
pagiku.
Ia begitu bahagia dalam rangkulan si asing bernama Dean ini,
aku protes, ia tak mendengarkanku, aku kembali protes, ia semakin tak menghiraukanku, aku berteriak dengan
lantang, "Aku cemburu!". Ia hanya melirikku sekilas dan kembali asyik
dengan Dean sialan ini. Aku berteriak sekali lagi, "Aku cemburu! Aku tak
suka! Sudah sana pergi, Dean!". Dean memandang ke arahku dengan heran dan
bertanya,"Dia kenapa?".
"Kenapa? Kau tanya aku kenapa, aku cemburu apa itu
kurang jelas, aku tak suka kau merebut jalan - jalan soreku, aku tak suka kau
merampas senyuman selamat pagiku dan aku sangat tak suka melihatmu dekat - dekat dengannya, sudah pergi sana!...",
amarahku semakin memuncak karena belum selesai aku memprotesnya ia memalingkan
muka dan menghinaku, "Aneh!". Tanpa pikir panjang aku menggigit kakinya
dengan gigi - gigi taringku yang terbiasa mencabik - cabik bantal sofa. Dean
menjerit kesakitan, aku puas, sangat puas.
"Dudu! Kamu kenapa, lepasin!"
Aku tak peduli dengan apa yang dia
katakan, aku terus menggigit kaki Dean sekuat tenagaku, ingin rasanya menembus
tulang pria menyebalkan yang telah merebut sayangku.
"Dudu, lepasin!"
Aku tak akan pernah melepaskannya,
sungguh. Sebelum Dean ini berjanji tak akan pernah kembali.
"Dudu!"
Aku masih mengigitnya dengan seringai
licik, aku tak peduli dengan erangannya, sungguh, benar – benar tidak peduli.
"Dudu! Anjing nakal! Lepasin Dean! Dia pacar aku, kamu
nggak boleh jahat sama Dean!"
Aku berhenti menggigitnya, bukannya menggonggong aku hanya
melongo bego,
memandangnya yang untuk pertama kali marah kepadaku. Anjing nakal. Ia tak
pernah memanggilku seperti itu, aku temannya, aku sayang padanya. Dan si Dean
ini, pacarnya, mana mungkin. Aku menunduk, tak lagi sanggup memandang wajahnya.
"Pergi sana! Dasar anjing nakal!" perintahnya
mengusirku.
"Guk...guk...guk”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar