Sabtu, 19 Juli 2014

Albern

Belaian lembut tangannya membangunkanku dari sisa - sisa tidur nyenyak semalam. Badanku lelah, sangat lelah. Aku menggelengkan kepala bekali - berkali sementara ia hanya tersenyum puas melihatku terbangun untuk menyaksikan rutinitas paginya seperti biasa. Segera ia mengelus kepalaku dengan lembut dan memberikan senyuman selamat pagi yang indah. Nyaman. Aku melihatnya bergegas mandi dan berganti pakaian. Aroma sabunnya yang khas, kegemaranku setiap pagi, semacam makanan pembuka untuk penggugah selera.
Kami sarapan bersama seperti biasanya, sebelum ia meninggalkanku dengan rumah dan seisinya yang selalu menatap iri kepadaku yang tak bersalah ini. Ia kembali mengelus kepalaku dengan lembut, mendaratkan kecupan di keningku dan berkata, "Jangan nakal, ya. Aku pergi. Dah!". Suara pintu yang bergesekan dengan lantai menjadi penanda langkah - langkah kakinya yang pergi menjauh dan aku yang sendiri. Aku merentangkan tubuh yang pegal, menggetarkan tubuhku seolah mengusir rasa kantuk.
            Aku melangkah menuju taman kecil di belakang rumahnya, tempat yang aku suka di rumah ini, tentu saja setelah kamarnya. Beberapa kuas berbagai ukuran tertidur di atas meja bundar kecil di samping kanvas besar yang berisi bentangan langit malam bersama jutaan titik magnesium bintang. Dari balik dedauan yang rimbun aku dapat melihat bulan yang mengintip malu dari balik awan hitam keunguan. Kuas - kuas ini pasti lelah setelah kemarin kami menghabiskan malam bersama. Aku melangkah dengan hati - hati, tak mau membangunkan kuas - kuas yang tertidur lelap berselimutkan warna - warni cat air. Hangat.
Aku membaringkan tubuh, membiarkan rumput - rumput menjadi alas untuk tidur, langit pagi ini indah sekali. Sayang ia harus terburu - buru pergi. Biasanya kami sering menghabiskan pagi bersama, berbaring di rumput seperti yang aku lakukan saat ini, memandangi lukisan Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu indah. Aku selalu ingat janjinya yang akan membuatkanku lukisan paling indah dari semua lukisan yang pernah dia buat. Aku jug masih ingat semangatnya untuk menjadi pelukis.
Empat tahun berlalu setelah ia yakin akan cita - citanya menjadi pelukis. Dan empat tahun, waktu yang aku lewati tanpa sekali pun melewatkan senyumnya. Empat tahun cukup bagiku untuk menyakinkan diriku sendiri bahwa aku menyayanginya dan tak pernah ingin melewatkan satu detik pun tanpa bersamanya. Pagiku yang selalu disambut senyuman hangat yang diukir di bibirnya, jalan - jalan sore yang tak pernah kami lewatkan. Berbagai lukisan langit yang telah dibuatnya. Kumpulan kebahagiaan yang paling bahagia yang tak akan aku lupakan. Tak sabar rasanya menunggu ia pulang.
Suara langkah kaki yang lebih ramai dari biasanya membangunkanku, rupanya aku tertidur cukup lama, ia sudah pulang. Aku segera menghampirinya yang ternyata tidak sendiri, beberapa temannya duduk manis di ruang tamu, satu diantaranya terasa asing bagiku, aku kembali membuka lembaran ingatanku, nihil. Aku tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Mungkin teman barunya. Biarkan saja selama ia tidak macam – macam.
Ia menghampiriku, membelai kepalaku seperti biasanya dengan senyuman yang indah, tunggu. Senyuman ini terasa berbeda, aku dapat merasakannya, ia sangat bahagia, lebih bahagia dari biasanya. Aku bertanya padanya. Namun, ia hanya kembali tersenyum dan mengelus kepalaku. "Kamu makan sendiri, ya. Aku tadi udah makan sama temen - temen. Selamat makan, Du"
Belum pernah sebelumnya seperti ini, setelat apapun ia pulang, aku dengan setia menunggunya pulang di depan pintu, menanti saat - saat kebersamaan kami, makan bersama dan aku dengan setia mendengar keluh kesahnya. Namun, kali ini, apa yang salah, dia kenapa. Ia meninggalkanku di dapur, kembali menghampiri teman - temannya. Aku memandangi mereka dari jauh, begitu akrab, bahagia dan melupakan waktu jalan - jalan soreku. Beberapa dari mereka satu per satu pamit pulang dan menyapaku dengan ramah namun si asing ini, masih bertahan di rumah dan berbincang dengan akrab. Aku tak melepaskan sedetik pun pandanganku dari mereka yang tertawa terbahak - bahak. Anggap saja aku ini hiasan dinding atau patung selamat datang dan semacamnya, tak usah dihiraukan, anggap saja kalian hanya sedang berduaan.
Matahari semakin menghilang, si asing pun pamit dan tak hirau kepadaku yang ikut mengantarnya keluar. Setelah menyaksikan laju motor si asing yang semakin menjauh aku protes, aku meminta kejelasan dari hari ini yang begitu ganjil. Lagi - lagi ia hanya tersenyum. Aku mengikutinya menuju taman belakang, mungkin saja ia ingin berbaring di rumput memandangi langit malam sebelum pergi tidur.
Aku salah, ia merapikan kuas, cat dan semua perangkat lukisnya. "Du, besok aku mau jalan sama Dean, wish me luck", katanya dengan mata yang berbinar. Aku tak mengerti apa yang ia maksud, ia meninggalkanku dalam kebingungan, membiarkan aku berpikir semalaman dan terjaga hingga pagi hari untuk menyaksikan si asing yang merebut senyuman selamat pagiku.
Ia begitu bahagia dalam rangkulan si asing bernama Dean ini, aku protes, ia tak mendengarkanku, aku kembali protes, ia semakin tak menghiraukanku, aku berteriak dengan lantang, "Aku cemburu!". Ia hanya melirikku sekilas dan kembali asyik dengan Dean sialan ini. Aku berteriak sekali lagi, "Aku cemburu! Aku tak suka! Sudah sana pergi, Dean!". Dean memandang ke arahku dengan heran dan bertanya,"Dia kenapa?".
"Kenapa? Kau tanya aku kenapa, aku cemburu apa itu kurang jelas, aku tak suka kau merebut jalan - jalan soreku, aku tak suka kau merampas senyuman selamat pagiku dan aku sangat tak suka melihatmu dekat -  dekat dengannya, sudah pergi sana!...", amarahku semakin memuncak karena belum selesai aku memprotesnya ia memalingkan muka dan menghinaku, "Aneh!". Tanpa pikir panjang aku menggigit kakinya dengan gigi - gigi taringku yang terbiasa mencabik - cabik bantal sofa. Dean menjerit kesakitan, aku puas, sangat puas.
"Dudu! Kamu kenapa, lepasin!"
Aku tak peduli dengan apa yang dia katakan, aku terus menggigit kaki Dean sekuat tenagaku, ingin rasanya menembus tulang pria menyebalkan yang telah merebut sayangku.
"Dudu, lepasin!"
Aku tak akan pernah melepaskannya, sungguh. Sebelum Dean ini berjanji tak akan pernah kembali.
"Dudu!"
Aku masih mengigitnya dengan seringai licik, aku tak peduli dengan erangannya, sungguh, benar – benar tidak peduli.
"Dudu! Anjing nakal! Lepasin Dean! Dia pacar aku, kamu nggak boleh jahat sama Dean!"
Aku berhenti menggigitnya, bukannya menggonggong aku hanya melongo bego, memandangnya yang untuk pertama kali marah kepadaku. Anjing nakal. Ia tak pernah memanggilku seperti itu, aku temannya, aku sayang padanya. Dan si Dean ini, pacarnya, mana mungkin. Aku menunduk, tak lagi sanggup memandang wajahnya.
"Pergi sana! Dasar anjing nakal!" perintahnya mengusirku.

"Guk...guk...guk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar