Aku menemaninya
membunuh!
...
Malam
teramat terang, jauh dari kesan biasa yang remang – remang. Bukan karena cahaya
lampu dan bulan atau kunang - kunang. Bukan
juga karena anak – anak yang ramai bermain petasan dan memukuli tiang. Saat itu
aku sibuk lalu – lalang menemani temanku mencari ember atau apapun yang dapat
digunakan untuk menampung air. Semua orang panik, temanku pun sama, aku tidak,
apa yang harus aku khawatirkan, keluarga pun tak punya apalagi harta benda,
santai saja.
Temanku
masih sibuk mondar – mandir mencari benda untuk menampung air, sembari menunggu
tangki air yang tak juga datang. Bapak – bapak berseragam oranye dan bertopi
putih yang sedari tadi dinanti tak kunjung menampakkan diri, temanku pun
semakin mempercepat gerakannya, menampung air di ember cat, ember platik hitam
anti pecah, jolang besar yang ada tempat untuk menaruh pantat bayi, apapun ia
gunakan termasuk dengan tegangnya ia mengisi air pada termos dan panci, tak ada
salahnya, setidaknya ia berusaha.
Ia
masih mondar – mandir bersama beberapa warga diiringi isak tangis anak - anak
dan gadis remaja juga ibu – ibu. Siapa yang tak menangis melihat harta benda
yang habis dilalap si merah menyala yang panasnya mampu merubah kayu dan atap –
atap rumah menjadi arang – arang hitam. Siapa sangka karena gadis yang lupa
mematikan kompor saat memasak air dapat menyebabkan bencana sehebat ini,
menghanguskan rumahnya juga tetangga sebelah yang hanya berjarak satu tubuh
anak semut.
Gadis
itu masih menangis di pelukan ibunya yang juga menangis yang sedang dipeluk
kakak prianya yang tidak menangis. Mereka keluarga kecil yang kelihatannya sedang tidak bahagia, yang tua itu adalah
preman pasar yang menguasai hampir seluruh pasar tradisional di Jakarta Timur.
Sang Ibu sudah sepuh dan menjanda sejak melahirkan anak bungsunya, pelaku
penghamilannya entah ke mana, yang pasti si bungsu tak pernah tahu bentuk dan
rupa ayahnya, sementara si sulung sangat benci ayahnya, juga adiknya.
Mengapa
aku bisa tahu sebanyak ini, tentu saja karena temanku banyak bercerita, ia sangat
mencintai gadis itu, gadis yang ditinggal pergi ayahnya sejak lahir, gadis yang
jadi objek kekesalan kakaknya, gadis yang masih berkuliah di Akademi Kebinanan,
gadis yang sering naik angkot yang ia tarik, gadis yang memasak air hingga
rumahnya ikut termasak, gadis penyebab kehilangan, gadis ia cintai namun
mengambil satu – satunya yang berharga yang ia miliki.
“Ini
semua karenamu, Des”
“Jangan
salahkan adikmu, Arya”
“Tapi
memang dia yang salah, kamu keterlaluan, pertama ayah sekarang rumah, dua kali
ini terjadi, dua kali kamu dengar, kamu dewi kesialan”
“Cukup,
Arya!”
“Dia
yang salah! Dia harus pergi dari sini, dia harus diusir, bawa sial, pergi
kamu!”
“Arya!
Cukup!”
Temanku
tersentak mendengar percakapan internal keluarga yang kini jadi konsumsi
publik. Membawanya pada kenangan masa lalu, yang mengambil orang yang ia
sayangi karena persitiwa serupa dengan malam ini dengan tokoh yang sama pula. Ingin
rasanya temanku memeluk Desi dan membawanya pergi dari keruwetan ini, sedih
melihat orang tersayang menderita, namun lebih sedih kehilangan yang tercinta
karena ia yang dicinta.
Semenjak
peristiwa itu aku tak pernah melihatnya lagi, tak ada Desi yang selalu naik
angkot kami menuju akademi dan berkata dengan manis, “Pagi”. Tak ada lagi
sarapan nasi uduk yang ditambah senyum manis Desi, hambar.
Berhari
– hari aku tak melihatnya di sekitar rumah, naik angkot pun tidak.
Berminggu –
minggu temanku masih resah karena tak ada lagi Desi yang manis.
Berbulan –
bulan sampai akhirnya kami tahu dia di mana karena keteledoran temanku.
“Sendal
kita ketuker”
Itu
suara Arya yang berat dan serak menyapa, atau lebih tepatnya menegur.
“Maaf,
Bang”
“Kagak
masalah”
Arya
lebih tenang dari biasanya, mungkin efek sehabis salat Jumat. Temanku memberanikan
diri berbasa – basi padanya demi secercah info mengenai Desi.
“Nyantei,
Bang?”
“Iya, anak buah gue yang kerja, gue sih tinggal kipas
duit aje”
“Enak
bener punya anak buah”
“Gitu
dah”
“Ibu
sehat, Bang? Udah lama nggak naik angkot saya”
“Sehat,
cuma biasa batuknya kagak ngilang, faktor umur kali, ye”
“Periksain
ke dokter, Bang. Buat jaga – jaga aja”
“Percuma
gue punya adek dokter tapi kagak bisa ngurus keluarga”
Akhirnya!
Ini kesempatannya mencari informasi tentang Desi.
“Bukannya
Desi bidan, Bang?”
“Yang
begitu dah sama aja, di rumah sakit juga kerjanya”
“Desi
sehat, Bang?”
“Kagak
tahu gue, nggak peduli juga”
“Jarang
kelihatan, Bang”
“Dia
udeh kagak tinggal bareng gue, udah gue usir abisnya kagak guna”
Pantas
saja kami tak lagi melihatnya berkeliaran di kampung atau bahkan naik angkot ke
kampus. Desi tak lagi tinggal di sini, ke mana dia, tinggal di mana sekarang.
Kenapa juga aku peduli, toh temanku yang menyukainya bukan aku.
“Dia tinggal di
mana sekarang, Bang?”
“Ngapa
dah lu nanya – nanya mulu”
“Eh,
maaf, Bang”
“Di
deket kuburan itu tuh yang di deket Kebon Bibit, yang dulu kite makamin emak
lu”
Kenapa
Bang Arya harus menyikut soal kematian ibu temanku ini, belum hilang bekas
lukanya, masih terasa perih sampai saat ini, lebih perih dengan kenyataan yang
kini berkecimuk di pikirannya. Kawan, sabarlah.
“Sendirian,
Bang?”
“Iye,
abisnya gue nggak mau dia bikin sial lagi, ibu nyuruh die kos di sana, biar
bisa ditengokin kali, gue sih ogah, takut kenapa - kenapa”
Ada secercah
harapan yang terpancar dari mata temanku, ia seolah bahagia mendengar di mana
Desi kini tinggal dan lebih bahagia dengan sekelumit pikiran di benaknya.
“Eh,
ngomong – ngomong sendal lu bagus juga, beli di mane? Ijonya gue suka kayak tentara
gitu”
“Dikasih
alamarhumah ibu, Bang”
“Elah,
tadinya mau gue minta, kagak jadi dah”
“Ambil
aja, Bang”
“Ogah,
takut kualat, kalau lu mau mati warisin buat gue aja entar gue barter dah sama
pisau ini, bakal lancarin kematian lo”
Kami
tak ambil pusing dengan perkataannya, sungguh tak peduli. Bang Arya pun berlalu
dan entah pergi ke mana, kami benar – benar tak peduli, yang terpenting
sekarang angkot ini sedang menuju pemukiman di dekat TPU Kebon Bibit,
sesampainya di sana mudah saja bertanya, di mana Desi kos. Selain itu ada yang
ingin temanku temui di Kebon Bibit.
“Ibu,
lama tak bertemu, apa kabarmu? Maafkan aku yang berlumur dosa ini, sungguh demi
Ibu aku rela walau harus bermandikan dosa setiap hari. Ibu ini mungkin
kesempatan terakhirku, tolong jangan marah, ini demi Ibu, sungguh...”
“Bang!”
Seruan
itu menghentikan rayuan anak pada ibunya.
“Desi?”
“Ngapain,
Bang? Ini makam siapa?”
“Ibuku,
Des”
“Yang
waktu itu...”
“Nggak
usah dibahas, Des”
“Kosku dekat sini, mau mampir, Bang?”
Pucuk
dicinta ulam pun tiba, bagai umpan yang siap dilahap ikan, mungkin ini berkat
doa ibu.
“Nggak
jauh, Bang. Angkotnya simpen di sini aja”
Kami
pun berjalan menuju kos Desi dengan temanku yang di hatinya berkecamuk berbagai
pikiran. Ia harus apa, mana yang lebih baik ia ikuti.
“Ini,
Bang. Kecil sih tapi lumayan, silakan”
“Terimakasih”
Desi
masuk ke dalam dan kami menunggunya di ruang tamu kos – kosan khusus putri ini.
Sepi tak ada yang menjaga, lampu – lampu di kamar mati dengan gorden yang
terbuka. Pastilah tak ada penghuninya. Temanku melangkah perlahan agar aku tak bergesekan terlalu kencang dengan ubin,
supaya bunyinya tidak terdengar. Benar, semua kamar ini kosong dan kos – kosan
hanya tediri dari satu lain. Mungkin ini jawaban dan jalan dari ibunya.
Temanku
berteriak memanggil Desi. Yang dipanggil menyahut dengan kencang, suaranya dari
belakang. Kami melangkah ke belakang perlahan, setelah temanku menyabet sebuah
linggis di balik pintu masuk. Kami melihat punggung Desi yang masih berbalut seragam
putih. Ia memanggil nama Desi lirih.
“Des”
“Bang?
Aw!”
Dengan
satu hantaman di kepala, Desi terkapar di lantai dengan darah yang terus
mengucur dari kepala, hantaman selanjutnya ia jatuhkan tepat di kening Desi. Ia
melempar linggis itu lalu mengangkat kepala Desi yang sudah tak sadarkan diri
ke pangkuannya.
“Maafkan
aku, aku mencintaimu sungguh, hanya saja cintaku pada ibu jauh lebih besar,
kalau saja kamu tidak seceroboh itu, kalau saja kamu sempat matikan kompor
sebelum pergi sekolah, pastilah kita sekarang hidup bahagia saling mencitai
dengan restu ibu, maaf”
Ia
mengecup pipi Desi yang tirus, meletakkan kembali jasadnya di lantai dan segera
berlari meninggalkan Desi dan aku. Kurasa dia sangat gugup dan ketakutan hingga
berlari kabur tanpa alas kaki, tinggalah kini aku menyaksikan jasad Desi yang
terkapar tak berdaya dengan darah yang masih terus bercucuran.
Apa
yang sendal hijau usang macam aku dapat lakukan selain hanya menyaksikan adegan
menyedihkan ini dengan tergeletak kaku tanpa bisa berbuat apa – apa. Entah
keajaiban Tuhan yang mana lagi, tepat di saat aku melihat Desi tak bernapas
lagi, seorang pria datang. Suara serak beratnya aku ingat sekali.
Karena
tak ada yang juga menyahut suara itu semakin mendekat hingga menyaksikan aku
yang hijau usang ini terbujur kaku di samping jasad adiknya.
“Rosidi,
keparat!”
...
Pembunuh
mahasiswi Akademi Kebidanan Desi Sukiman (20) di Ciracas, Jakarta Timur, SS
alias R (21) akhirnya ditangkap. Jejak – jejak sang pembunuh akhirnya terungkap
dari sepasang sanda jepitnya yang tertinggal di kos – kosan korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar