Jumat, 18 Juli 2014

Arya

Aku menemaninya membunuh!
...
Malam teramat terang, jauh dari kesan biasa yang remang – remang. Bukan karena cahaya lampu dan bulan atau kunang -  kunang. Bukan juga karena anak – anak yang ramai bermain petasan dan memukuli tiang. Saat itu aku sibuk lalu – lalang menemani temanku mencari ember atau apapun yang dapat digunakan untuk menampung air. Semua orang panik, temanku pun sama, aku tidak, apa yang harus aku khawatirkan, keluarga pun tak punya apalagi harta benda, santai saja.
Temanku masih sibuk mondar – mandir mencari benda untuk menampung air, sembari menunggu tangki air yang tak juga datang. Bapak – bapak berseragam oranye dan bertopi putih yang sedari tadi dinanti tak kunjung menampakkan diri, temanku pun semakin mempercepat gerakannya, menampung air di ember cat, ember platik hitam anti pecah, jolang besar yang ada tempat untuk menaruh pantat bayi, apapun ia gunakan termasuk dengan tegangnya ia mengisi air pada termos dan panci, tak ada salahnya, setidaknya ia berusaha.
Ia masih mondar – mandir bersama beberapa warga diiringi isak tangis anak - anak dan gadis remaja juga ibu – ibu. Siapa yang tak menangis melihat harta benda yang habis dilalap si merah menyala yang panasnya mampu merubah kayu dan atap – atap rumah menjadi arang – arang hitam. Siapa sangka karena gadis yang lupa mematikan kompor saat memasak air dapat menyebabkan bencana sehebat ini, menghanguskan rumahnya juga tetangga sebelah yang hanya berjarak satu tubuh anak semut.
            Gadis itu masih menangis di pelukan ibunya yang juga menangis yang sedang dipeluk kakak prianya yang tidak menangis. Mereka keluarga kecil yang kelihatannya  sedang tidak bahagia, yang tua itu adalah preman pasar yang menguasai hampir seluruh pasar tradisional di Jakarta Timur. Sang Ibu sudah sepuh dan menjanda sejak melahirkan anak bungsunya, pelaku penghamilannya entah ke mana, yang pasti si bungsu tak pernah tahu bentuk dan rupa ayahnya, sementara si sulung sangat benci ayahnya, juga adiknya.
Mengapa aku bisa tahu sebanyak ini, tentu saja karena temanku banyak bercerita, ia sangat mencintai gadis itu, gadis yang ditinggal pergi ayahnya sejak lahir, gadis yang jadi objek kekesalan kakaknya, gadis yang masih berkuliah di Akademi Kebinanan, gadis yang sering naik angkot yang ia tarik, gadis yang memasak air hingga rumahnya ikut termasak, gadis penyebab kehilangan, gadis ia cintai namun mengambil satu – satunya yang berharga yang ia miliki.
“Ini semua karenamu, Des”
“Jangan salahkan adikmu, Arya”
“Tapi memang dia yang salah, kamu keterlaluan, pertama ayah sekarang rumah, dua kali ini terjadi, dua kali kamu dengar, kamu dewi kesialan”
“Cukup, Arya!”
“Dia yang salah! Dia harus pergi dari sini, dia harus diusir, bawa sial, pergi kamu!”
“Arya! Cukup!”
Temanku tersentak mendengar percakapan internal keluarga yang kini jadi konsumsi publik. Membawanya pada kenangan masa lalu, yang mengambil orang yang ia sayangi karena persitiwa serupa dengan malam ini dengan tokoh yang sama pula. Ingin rasanya temanku memeluk Desi dan membawanya pergi dari keruwetan ini, sedih melihat orang tersayang menderita, namun lebih sedih kehilangan yang tercinta karena ia yang dicinta.
Semenjak peristiwa itu aku tak pernah melihatnya lagi, tak ada Desi yang selalu naik angkot kami menuju akademi dan berkata dengan manis, “Pagi”. Tak ada lagi sarapan nasi uduk yang ditambah senyum manis Desi, hambar.
Berhari – hari aku tak melihatnya di sekitar rumah, naik angkot pun tidak.
Berminggu – minggu temanku masih resah karena tak ada lagi Desi yang manis.
Berbulan – bulan sampai akhirnya kami tahu dia di mana karena keteledoran temanku.
“Sendal kita ketuker”
Itu suara Arya yang berat dan serak menyapa, atau lebih tepatnya menegur.
“Maaf, Bang”
“Kagak masalah”
Arya lebih tenang dari biasanya, mungkin efek sehabis salat Jumat. Temanku memberanikan diri berbasa – basi padanya demi secercah info mengenai Desi.
“Nyantei, Bang?”
“Iya, anak buah gue yang kerja, gue sih tinggal kipas duit aje”
“Enak bener punya anak buah”
“Gitu dah”
“Ibu sehat, Bang? Udah lama nggak naik angkot saya”
“Sehat, cuma biasa batuknya kagak ngilang, faktor umur kali, ye”
“Periksain ke dokter, Bang. Buat jaga – jaga aja”
“Percuma gue punya adek dokter tapi kagak bisa ngurus keluarga”
Akhirnya! Ini kesempatannya mencari informasi tentang Desi.
“Bukannya Desi bidan, Bang?”
“Yang begitu dah sama aja, di rumah sakit juga kerjanya”
“Desi sehat, Bang?”
“Kagak tahu gue, nggak peduli juga”
“Jarang kelihatan, Bang”
“Dia udeh kagak tinggal bareng gue, udah gue usir abisnya kagak guna”
Pantas saja kami tak lagi melihatnya berkeliaran di kampung atau bahkan naik angkot ke kampus. Desi tak lagi tinggal di sini, ke mana dia, tinggal di mana sekarang. Kenapa juga aku peduli, toh temanku yang menyukainya bukan aku.
 “Dia tinggal di mana sekarang, Bang?”
“Ngapa dah lu nanya – nanya mulu”
“Eh, maaf, Bang”
“Di deket kuburan itu tuh yang di deket Kebon Bibit, yang dulu kite makamin emak lu”
Kenapa Bang Arya harus menyikut soal kematian ibu temanku ini, belum hilang bekas lukanya, masih terasa perih sampai saat ini, lebih perih dengan kenyataan yang kini berkecimuk di pikirannya. Kawan, sabarlah.
“Sendirian, Bang?”
“Iye, abisnya gue nggak mau dia bikin sial lagi, ibu nyuruh die kos di sana, biar bisa ditengokin kali, gue sih ogah, takut kenapa - kenapa”
Ada secercah harapan yang terpancar dari mata temanku, ia seolah bahagia mendengar di mana Desi kini tinggal dan lebih bahagia dengan sekelumit pikiran di benaknya.
“Eh, ngomong – ngomong sendal lu bagus juga, beli di mane? Ijonya gue suka kayak tentara gitu”
“Dikasih alamarhumah ibu, Bang”
“Elah, tadinya mau gue minta, kagak jadi dah”
“Ambil aja, Bang”
“Ogah, takut kualat, kalau lu mau mati warisin buat gue aja entar gue barter dah sama pisau ini, bakal lancarin kematian lo”
Kami tak ambil pusing dengan perkataannya, sungguh tak peduli. Bang Arya pun berlalu dan entah pergi ke mana, kami benar – benar tak peduli, yang terpenting sekarang angkot ini sedang menuju pemukiman di dekat TPU Kebon Bibit, sesampainya di sana mudah saja bertanya, di mana Desi kos. Selain itu ada yang ingin temanku temui di Kebon Bibit.
“Ibu, lama tak bertemu, apa kabarmu? Maafkan aku yang berlumur dosa ini, sungguh demi Ibu aku rela walau harus bermandikan dosa setiap hari. Ibu ini mungkin kesempatan terakhirku, tolong jangan marah, ini demi Ibu, sungguh...”
“Bang!”
Seruan itu menghentikan rayuan anak pada ibunya.
“Desi?”
“Ngapain, Bang? Ini makam siapa?”
“Ibuku, Des”
“Yang waktu itu...”
“Nggak usah dibahas, Des”
“Kosku dekat sini, mau mampir, Bang?”
Pucuk dicinta ulam pun tiba, bagai umpan yang siap dilahap ikan, mungkin ini berkat doa ibu.
“Nggak jauh, Bang. Angkotnya simpen di sini aja”
Kami pun berjalan menuju kos Desi dengan temanku yang di hatinya berkecamuk berbagai pikiran. Ia harus apa, mana yang lebih baik ia ikuti.
“Ini, Bang. Kecil sih tapi lumayan, silakan”
“Terimakasih”
Desi masuk ke dalam dan kami menunggunya di ruang tamu kos – kosan khusus putri ini. Sepi tak ada yang menjaga, lampu – lampu di kamar mati dengan gorden yang terbuka. Pastilah tak ada penghuninya. Temanku melangkah perlahan agar aku  tak bergesekan terlalu kencang dengan ubin, supaya bunyinya tidak terdengar. Benar, semua kamar ini kosong dan kos – kosan hanya tediri dari satu lain. Mungkin ini jawaban dan jalan dari ibunya.
Temanku berteriak memanggil Desi. Yang dipanggil menyahut dengan kencang, suaranya dari belakang. Kami melangkah ke belakang perlahan, setelah temanku menyabet sebuah linggis di balik pintu masuk. Kami melihat punggung Desi yang masih berbalut seragam putih. Ia memanggil nama Desi lirih.
“Des”
“Bang? Aw!”
Dengan satu hantaman di kepala, Desi terkapar di lantai dengan darah yang terus mengucur dari kepala, hantaman selanjutnya ia jatuhkan tepat di kening Desi. Ia melempar linggis itu lalu mengangkat kepala Desi yang sudah tak sadarkan diri ke pangkuannya.
“Maafkan aku, aku mencintaimu sungguh, hanya saja cintaku pada ibu jauh lebih besar, kalau saja kamu tidak seceroboh itu, kalau saja kamu sempat matikan kompor sebelum pergi sekolah, pastilah kita sekarang hidup bahagia saling mencitai dengan restu ibu, maaf”
Ia mengecup pipi Desi yang tirus, meletakkan kembali jasadnya di lantai dan segera berlari meninggalkan Desi dan aku. Kurasa dia sangat gugup dan ketakutan hingga berlari kabur tanpa alas kaki, tinggalah kini aku menyaksikan jasad Desi yang terkapar tak berdaya dengan darah yang masih terus bercucuran.
Apa yang sendal hijau usang macam aku dapat lakukan selain hanya menyaksikan adegan menyedihkan ini dengan tergeletak kaku tanpa bisa berbuat apa – apa. Entah keajaiban Tuhan yang mana lagi, tepat di saat aku melihat Desi tak bernapas lagi, seorang pria datang. Suara serak beratnya aku ingat sekali.
Karena tak ada yang juga menyahut suara itu semakin mendekat hingga menyaksikan aku yang hijau usang ini terbujur kaku di samping jasad adiknya.
“Rosidi, keparat!”
...
Pembunuh mahasiswi Akademi Kebidanan Desi Sukiman (20) di Ciracas, Jakarta Timur, SS alias R (21) akhirnya ditangkap. Jejak – jejak sang pembunuh akhirnya terungkap dari sepasang sanda jepitnya yang tertinggal di kos – kosan korban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar