Jumat, 18 Juli 2014

Alif dan Rasa Bersamanya

Rasa tak akan terasa jika tidak dicicipi. Tak akan pernah ada yang tahu bagaimana manis, pahit, asin, pedas, asam dan rasa yang bahkan tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Setiap rasa itu ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Untuk menyeimbangkan, begitu kata orang. Namun, bagiku setiap rasa itu menjadi saksi perjalananku dengan Alif. Perjalanan kisah kami yang tak selamanya semanis mengemut permen. Anggap saja sebagai sebuah rollercoster. Berjalan perlahan kemudian lebih cepat dan semakin cepat sampai tiba di lingkaran di mana tubuh diputar 360o dan berakhir dengan kembali ke tempat di mana perjalanan dimulai. Hubunganku dengan Alif sama halnya seperti rute rollercoster.
Aku jadi ingat sepotong cokelat yang diberikan Alif malam itu, malam di mana kami mengahabiskan waktu di pekan raya. Saat itu aku senang sekali, berkali – kali kami naik rollercoster hingga petugasnya hanya tersenyum melihat tingkah dua remaja dewasa yang sungguh kekanak – kanakan. Alif memberikanku sepapan cokelat dengan taburan alomond serta biskuit dan permen yang jika memasukannya ke mulut, permen itu meletup – letup di lidah. Aku suka sekali cokelat itu. Bukan hanya karena cokelatnya. Lebih karena malam itu aku dan Alif mengikrarkan hubungan kami secara resmi, 12 Juni 2012, di pekan raya, aku dan Alif resmi menjadi sepasang kekasih.
Saat itu Alif memberikanku, lagi, beberapa papan cokelat. Menurutnya aku harus banyak makan cokelat agar suasana hatiku menjadi tenang. Alif selalu percaya dengan memakan cokelat membuat pikiran menjadi lebih jernih dan tubuh menjadi rileks.  Jadilah hari – hariku berikutnya ditemani Alif dan cokelat darinya.
Manisnya cokelat mengingatkanku pada Alif dan senyumnya yang menawan. Ada dua sumur di pipinya, satu di kanan dan satu di kiri, yang kerap kali muncul ketika ia tersenyum. Manisnya cokelat selalu membawaku pada hari – hari indah yang kulalui bersama Alif. Hari di mana aku dan dia sampai di puncak Burangrang. Memang bukan sebuah gunung tertinggi kesekian di Bandung apalagi Jawa Barat tapi bagiku yang tak pernah hiking apalagi naik gunung itu sebuah pencapaian yang sangat besar. Di puncak, setelah mendirikan tenda, ia membuatkanku cokelat panas, nikmat sekali menyeruput secangkir cokelat panas di puncak gunung sembari dinaungi langit yang beranjak senja, apalagi di bawah rangkulan tangan Alif. Manis sekali.
“Nak, mau bakso?”
Seruan dari ibu membangunkanku dari lamunan manis tentang Alif.
“Mau, jangan pedes”
Semenjak menjalin hubungan dengan Alif, aku berhenti mencicipi masakan yang terasa pedas. Bukan karena Alif yang memaksaku justru karena aku yang merasa bersalah pada Alif.
Saat kami merayakan hari ulangtahun Alif, aku mengajaknya untuk makan di salah satu cafe kegemaran kami. Karena kami dapat dikategorikan pelanggan tersayang mereka, aku bisa dengan mudah menyusun rencana kejutan untuk Alif bersama manager dan pramusaji di sana.
Cafe ini adalah cafe yang bernuasa Italia, mereka menyediakan berbagai jenis pasta, kesukaan kami. Aku memesan baked fusili with mashroom sauce, makanan kesukaan Alif. Hanya saja Alif tidak tahu, aku meminta chef menambahkan tabasco yang banyak pada makanan untuk Alif. Alif kebingungan melihat pesanannya yang berwarna merah.
“Inovasi baru, Lif. Katanya ditambah tomat gitu, mereka minta kita sebagai pelanggan setianya buat nyoba”
Alif menyendok pastanya tanpa ada rasa  curiga sedikit pun. Aku masih berusaha menahan tawa sembari menyeruput thai tea milikku. Dalam hitungan per sekian sekon, wajah Alif berubah, keringat tiba – tiba mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Kini aku tak kuasa menahan tawa melihat wajah Alif yang menahan pedas.
Happy Birthday, Alif”
“Kita harus ke rumah sakit sekarang”
Aku tak mengerti apa yang ia maksud. Mengapa kami harus ke rumah sakit, di hari ulangtahun Alif.
“Aku nggak kuat nyetir sendiri, kamu bisa panggil taksi, kan?”
“Eh, iya, bisa. bentar”
Aku menghubungi nomer taksi langgananku dan memintanya sesegera mungkin menjemput kami di Jalan Jurang.
“Kamu ada air bening?”
“Bentar aku minta dulu”
Aku mencari pelayan terdekat dan meminta segelas air bening juga teh hangat. Alif terlihat sangat pucat, manager, chef dan pelayan yang bekerjasama denganku kebingungan dan merasa bersalah. Mungkinkah ini karena tabasco.
Alif meminum air yang kubawakan dengan perlahan. Aku duduk di sampingnya, mengelap keringat yang terus mengucur deras, sementara sekutuku mengelilingi kami dengan wajah yang panik. Untunglah siang itu tak banyak pengunjung yang datang ke cafe.
“Taksinya udah di depan”
“Saya titip mobil, ya”
“Iya, tenang saja kami pasti awasi, mari saya bantu, Mas”
Manager cafe itu membantu Alif berjalan sementara aku gigit jari di balik punggung Alif. Apa yang sudah aku lakukan. Alif, maaf.
Jadilah kami menghabiskan sore di rumah sakit dengan Alif yang terbaring di kasur dengan infusan di sampingnya. Aku sedari tadi menemaninya tanpa organ bicaraku yang memproduksi bunyi. Kenapa aku ini, Alif yang tidak bisa makan masakan pedas luput dari pengetahuanku, kekasih macam apa aku ini.
Aku menemani Alif dan terus menggenggam tangannya hingga ia bangun.
Hi
“Alif, maaf aku nggak tahu... Alif, aku... bener – bener maaf...”
“Ssst! Kamu nggak salah”
“Tapi, aku bikin kamu seharian kesiksa kayak gini... di hari ulangtahun kamu”
“Nggak apa – apa, yang penting sekarang kamu udah tahu”
“Maaf, ya”
Alif mengelus tanganku yang tadinya menggenggam tangannya. Mungkin belum terlambat untuk membuat hari ini setidaknya ditutup dengan satu hal baik yang aku lakukan untuk Alif.
“Bentar, ya”
“Kamu mau ke mana?”
Aku menepuk bahu Alif dan meninggalkannya di kamar inap sendirian. Harus ada yang aku lakukan untuk Alif.
Tak banyak yang bisa aku lakukan selain meminjam kursi roda dari suster baik hati yang merawat Alif kemudian membawanya ke ruangan rekreasi di rumah sakit tersebut. Aku telah menyulap ruangan ini, dengan bantuan beberapa petugas kebersihan, menjadi ruangan khusus untuk kami makan malam. Ada satu meja bundar bertaplak putih di tengah – tengah ruangan. Tak banyak yang bisa aku buatkan untuk Alif, mengingat dapur rumah sakit yang terbatas.
“Sup labu kuning dan cokelat fondue beserta wedang jahe ala Princess
Alif tertawa melihat tingkahku. Aku segera menyalakan tape, menekan tombal play dan seisi ruangan kini menjadi lebih romantis.
“Aku suapin, ya”
Aku menyuapi Alif perlahan sampai mangkuk sup bersih. Kami menggigit cokelat fondue berdua dan segelas wedang jahe untuk bersama. Aku senang ada tawa di wajah Alif. Semenjak itu, aku berjanji untuk tidak makan pedas. Karena setiap kali merasakan pedas, aku ingat kejadian bodoh ulahku yang menimpa Alif.
“Nak, mau pake cuka nggak?”
Aku kembali pada semangkuk bakso yang ibu tawarkan.
“Jangan! Pakai jeruk nipis aja”
Aku menghampiri ibu dan meninggalkan sejenak lamunanku tentang Alif. Aku dan ibu makan bakso di ruang tamu berdua.
“Asem”
Ibu menertawakan aku yang terlalu banyak memeras jeruk sehingga kuah baksoku terasa begitu asam. Asam, Alif.
“Alif, beli jeruk, yuk”
“Tapi, aku nggak bisa bedain yang manis sama yang asem”
“Tanya penjualnya aja gampang, aku ingin jeruk banget, nih”
“Tuh di depan ada, beli di situ aja”
Alif menepikan mobilnya. Kami membeli beberapa buah jeruk yang berkulit hijau. Aku masih ingat saat itu Alif  mengerutkan keningnya,  badannya seperti orang yang menggigil.
“Ini asem banget!”
“Hahaha, aku nggak mau makan, ah. Nih abisin”
Asam kuah bakso ini mengingatkanku pada kejadian itu, Alif yang bermuka lucu menahan asam. Alif.
“Kamu kok senyum – senyum sendiri?”
“Nggak apa – apa, Bu. Enak baksonya”
“Katanya asem. Ibu tadi bikin risoles, kamu cobain, deh. Siapa tahu kurang kerasa bumbunya”
“Oke”
Setelah menghabiskan baksoku, aku menuju dapur, mengambil risoles yang ibu buat.
“Asin banget!”
Aku mengambil segelas air minum.
“Ibu gimana, sih. Asin banget”
Aku duduk dan mengambil beberapa potongan lidi yang kukira labu, ternyata adalah pare.
“Pahit banget! Hari ini macem – macem banget, deh”
Aku mengambil minum lagi dan meneguknya dengan cepat. Asin dan pahit, dua rasa yang aku rasakan bersamaan saat bersama Alif. Saat terakhirku melihatnya, bersamanya.
“Aku nggak mau pergi tapi ini demi bunda dan ayah, aku harus pergi”
“Aku nggak akan ngelarang kamu pergi, aku seneng kamu nurut sama orangtua kamu”
“Tapi, aku berat ninggalin kamu”
“Kamu nggak ninggalin aku, kok”, tetes air mata itu mulai mengalir dari bendungan mataku. Ia mengalir membasahi wajahku yang tenggelam dalam pelukan Alif. Alif harus meneruskan kuliahnya di Jerman. Entah berapa tahun lagi ia akan kembali, tak ada yang tahu. Aku senang Alif serius meniti kariernya, aku tak boleh melarangnya. Aku senang Alif bahagia.
Air mata itu bercampur dengan rasa sakit yang terasa pahit dari lidah sampai kerongkongan. Setiap kali menelan ludah, asin dan pahit menjadi satu terasa dan pada akhirnya menyisipkan sakit. Aku tak boleh egois, walau berat melepasnya tapi aku harus.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar