Rasa
tak akan terasa jika tidak dicicipi. Tak akan pernah ada yang tahu bagaimana
manis, pahit, asin, pedas, asam dan rasa yang bahkan tak pernah dibayangkan
sebelumnya.
Setiap
rasa itu ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Untuk menyeimbangkan,
begitu kata orang. Namun, bagiku setiap rasa itu menjadi saksi perjalananku
dengan Alif. Perjalanan kisah kami yang tak selamanya semanis mengemut permen.
Anggap saja sebagai sebuah rollercoster. Berjalan perlahan kemudian lebih cepat
dan semakin cepat sampai tiba di lingkaran di mana tubuh diputar 360o dan
berakhir dengan kembali ke tempat di mana perjalanan dimulai. Hubunganku dengan
Alif sama halnya seperti rute rollercoster.
Aku
jadi ingat sepotong cokelat yang diberikan Alif malam itu, malam di mana kami
mengahabiskan waktu di pekan raya. Saat itu aku senang sekali, berkali – kali
kami naik rollercoster hingga petugasnya hanya tersenyum melihat tingkah dua
remaja dewasa yang sungguh kekanak – kanakan. Alif memberikanku sepapan cokelat
dengan taburan alomond serta biskuit dan permen yang jika memasukannya ke
mulut, permen itu meletup – letup di lidah. Aku suka sekali cokelat itu. Bukan
hanya karena cokelatnya. Lebih karena malam itu aku dan Alif mengikrarkan
hubungan kami secara resmi, 12 Juni 2012, di pekan raya, aku dan Alif resmi
menjadi sepasang kekasih.
Saat
itu Alif memberikanku, lagi, beberapa papan cokelat. Menurutnya aku harus
banyak makan cokelat agar suasana hatiku menjadi tenang. Alif selalu percaya
dengan memakan cokelat membuat pikiran menjadi lebih jernih dan tubuh menjadi
rileks. Jadilah hari – hariku berikutnya
ditemani Alif dan cokelat darinya.
Manisnya
cokelat mengingatkanku pada Alif dan senyumnya yang menawan. Ada dua sumur di
pipinya, satu di kanan dan satu di kiri, yang kerap kali muncul ketika ia
tersenyum. Manisnya cokelat selalu membawaku pada hari – hari indah yang
kulalui bersama Alif. Hari di mana aku dan dia sampai di puncak Burangrang.
Memang bukan sebuah gunung tertinggi kesekian di Bandung apalagi Jawa Barat
tapi bagiku yang tak pernah hiking apalagi naik gunung itu sebuah pencapaian
yang sangat besar. Di puncak, setelah mendirikan tenda, ia membuatkanku cokelat
panas, nikmat sekali menyeruput secangkir cokelat panas di puncak gunung
sembari dinaungi langit yang beranjak senja, apalagi di bawah rangkulan tangan
Alif. Manis sekali.
“Nak,
mau bakso?”
Seruan
dari ibu membangunkanku dari lamunan manis tentang Alif.
“Mau,
jangan pedes”
Semenjak
menjalin hubungan dengan Alif, aku berhenti mencicipi masakan yang terasa
pedas. Bukan karena Alif yang memaksaku justru karena aku yang merasa bersalah
pada Alif.
Saat
kami merayakan hari ulangtahun Alif, aku mengajaknya untuk makan di salah satu
cafe kegemaran kami. Karena kami dapat dikategorikan pelanggan tersayang
mereka, aku bisa dengan mudah menyusun rencana kejutan untuk Alif bersama
manager dan pramusaji di sana.
Cafe
ini adalah cafe yang bernuasa Italia, mereka menyediakan berbagai jenis pasta,
kesukaan kami. Aku memesan baked fusili with mashroom sauce, makanan kesukaan
Alif. Hanya saja Alif tidak tahu, aku meminta chef menambahkan tabasco yang
banyak pada makanan untuk Alif. Alif kebingungan melihat pesanannya yang
berwarna merah.
“Inovasi
baru, Lif. Katanya ditambah tomat gitu, mereka minta kita sebagai pelanggan
setianya buat nyoba”
Alif
menyendok pastanya tanpa ada rasa curiga
sedikit pun. Aku masih berusaha menahan tawa sembari menyeruput thai tea
milikku. Dalam hitungan per sekian sekon, wajah Alif berubah, keringat tiba –
tiba mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Kini aku tak kuasa menahan tawa
melihat wajah Alif yang menahan pedas.
“Happy Birthday, Alif”
“Kita
harus ke rumah sakit sekarang”
Aku
tak mengerti apa yang ia maksud. Mengapa kami harus ke rumah sakit, di hari
ulangtahun Alif.
“Aku
nggak kuat nyetir sendiri, kamu bisa panggil taksi, kan?”
“Eh,
iya, bisa. bentar”
Aku
menghubungi nomer taksi langgananku dan memintanya sesegera mungkin menjemput
kami di Jalan Jurang.
“Kamu
ada air bening?”
“Bentar
aku minta dulu”
Aku
mencari pelayan terdekat dan meminta segelas air bening juga teh hangat. Alif
terlihat sangat pucat, manager, chef dan pelayan yang bekerjasama denganku
kebingungan dan merasa bersalah. Mungkinkah ini karena tabasco.
Alif
meminum air yang kubawakan dengan perlahan. Aku duduk di sampingnya, mengelap
keringat yang terus mengucur deras, sementara sekutuku mengelilingi kami dengan
wajah yang panik. Untunglah siang itu tak banyak pengunjung yang datang ke
cafe.
“Taksinya
udah di depan”
“Saya
titip mobil, ya”
“Iya,
tenang saja kami pasti awasi, mari saya bantu, Mas”
Manager
cafe itu membantu Alif berjalan sementara aku gigit jari di balik punggung
Alif. Apa yang sudah aku lakukan. Alif, maaf.
Jadilah
kami menghabiskan sore di rumah sakit dengan Alif yang terbaring di kasur
dengan infusan di sampingnya. Aku sedari tadi menemaninya tanpa organ bicaraku
yang memproduksi bunyi. Kenapa aku ini, Alif yang tidak bisa makan masakan
pedas luput dari pengetahuanku, kekasih macam apa aku ini.
Aku
menemani Alif dan terus menggenggam tangannya hingga ia bangun.
“Hi”
“Alif,
maaf aku nggak tahu... Alif, aku... bener – bener maaf...”
“Ssst!
Kamu nggak salah”
“Tapi,
aku bikin kamu seharian kesiksa kayak gini... di hari ulangtahun kamu”
“Nggak
apa – apa, yang penting sekarang kamu udah tahu”
“Maaf,
ya”
Alif
mengelus tanganku yang tadinya menggenggam tangannya. Mungkin belum terlambat
untuk membuat hari ini setidaknya ditutup dengan satu hal baik yang aku lakukan
untuk Alif.
“Bentar,
ya”
“Kamu
mau ke mana?”
Aku
menepuk bahu Alif dan meninggalkannya di kamar inap sendirian. Harus ada yang
aku lakukan untuk Alif.
Tak
banyak yang bisa aku lakukan selain meminjam kursi roda dari suster baik hati
yang merawat Alif kemudian membawanya ke ruangan rekreasi di rumah sakit
tersebut. Aku telah menyulap ruangan ini, dengan bantuan beberapa petugas
kebersihan, menjadi ruangan khusus untuk kami makan malam. Ada satu meja bundar
bertaplak putih di tengah – tengah ruangan. Tak banyak yang bisa aku buatkan
untuk Alif, mengingat dapur rumah sakit yang terbatas.
“Sup
labu kuning dan cokelat fondue
beserta wedang jahe ala Princess”
Alif
tertawa melihat tingkahku. Aku segera menyalakan tape, menekan tombal play dan
seisi ruangan kini menjadi lebih romantis.
“Aku
suapin, ya”
Aku
menyuapi Alif perlahan sampai mangkuk sup bersih. Kami menggigit cokelat fondue
berdua dan segelas wedang jahe untuk bersama. Aku senang ada tawa di wajah
Alif. Semenjak itu, aku berjanji untuk tidak makan pedas. Karena setiap kali
merasakan pedas, aku ingat kejadian bodoh ulahku yang menimpa Alif.
“Nak,
mau pake cuka nggak?”
Aku
kembali pada semangkuk bakso yang ibu tawarkan.
“Jangan!
Pakai jeruk nipis aja”
Aku
menghampiri ibu dan meninggalkan sejenak lamunanku tentang Alif. Aku dan ibu
makan bakso di ruang tamu berdua.
“Asem”
Ibu
menertawakan aku yang terlalu banyak memeras jeruk sehingga kuah baksoku terasa
begitu asam. Asam, Alif.
“Alif,
beli jeruk, yuk”
“Tapi,
aku nggak bisa bedain yang manis sama yang asem”
“Tanya
penjualnya aja gampang, aku ingin jeruk banget, nih”
“Tuh
di depan ada, beli di situ aja”
Alif
menepikan mobilnya. Kami membeli beberapa buah jeruk yang berkulit hijau. Aku
masih ingat saat itu Alif mengerutkan
keningnya, badannya seperti orang yang
menggigil.
“Ini
asem banget!”
“Hahaha,
aku nggak mau makan, ah. Nih abisin”
Asam
kuah bakso ini mengingatkanku pada kejadian itu, Alif yang bermuka lucu menahan
asam. Alif.
“Kamu
kok senyum – senyum sendiri?”
“Nggak
apa – apa, Bu. Enak baksonya”
“Katanya
asem. Ibu tadi bikin risoles, kamu cobain, deh. Siapa tahu kurang kerasa
bumbunya”
“Oke”
Setelah menghabiskan baksoku, aku menuju dapur, mengambil
risoles yang ibu buat.
“Asin
banget!”
Aku
mengambil segelas air minum.
“Ibu
gimana, sih. Asin banget”
Aku
duduk dan mengambil beberapa potongan lidi yang kukira labu, ternyata adalah
pare.
“Pahit
banget! Hari ini macem – macem banget, deh”
Aku
mengambil minum lagi dan meneguknya dengan cepat. Asin dan pahit, dua rasa yang
aku rasakan bersamaan saat bersama Alif. Saat terakhirku melihatnya,
bersamanya.
“Aku
nggak mau pergi tapi ini demi bunda dan ayah, aku harus pergi”
“Aku
nggak akan ngelarang kamu pergi, aku seneng kamu nurut sama orangtua kamu”
“Tapi,
aku berat ninggalin kamu”
“Kamu
nggak ninggalin aku, kok”, tetes air mata itu mulai mengalir dari bendungan
mataku. Ia mengalir membasahi wajahku yang tenggelam dalam pelukan Alif. Alif
harus meneruskan kuliahnya di Jerman. Entah berapa tahun lagi ia akan kembali,
tak ada yang tahu. Aku senang Alif serius meniti kariernya, aku tak boleh
melarangnya. Aku senang Alif bahagia.
Air
mata itu bercampur dengan rasa sakit yang terasa pahit dari lidah sampai
kerongkongan. Setiap kali menelan ludah, asin dan pahit menjadi satu terasa dan
pada akhirnya menyisipkan sakit. Aku tak boleh egois, walau berat melepasnya
tapi aku harus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar