Jumat, 18 Juli 2014

Kisah Cinta dari Kisahku [ bagian 1 ]

Mungkin ia seolah buih di lautan yang akan tetap hilang meski telah disimpan. Namun, ketahuilah ia akan selalu abadi bersama hati dan pikiranku.
Ini kisahku yang sepenuhnya jatuh hati pada pria yang telah bahagia bersama gadisnya. Jangan salahkan aku yang mencintai pria orang, bukankah tak ada yang bisa memilih kepada siapa hatinya akan berlabuh. Aku yang memilihnya untuk bersanding dengan gadis itu namun Tuhan menentukan aku harus jatuh hati pada pria yang sudah aku jodohkan dengan gadis pilihanku. Mungkin ini yang disebut dengan takdir, Tuhan saja sudah berkendak mengapa aku harus protes.
Sejujurnya aku sama sekali tak pernah merasa cemburu terhadap segala perlakuan pria itu pada gadisnya. Justru aku terharu dan sangat berharap itu aku. Aku senang saat gadis itu menangis bahagia menerima sebuah cincin perak berukirkan inisial nama mereka di atasnya. Aku pun ikut bahagia melihat keduanya yang hendak menyatukan diri dalam ikatan janji suci. Betapa beruntungnya.
Perjalanan cinta bukanlah suatu jalan bebas hambatan yang mulus tanpa ada kelokan dan lubang. Terkadang ada saatnya harus berhenti di tengah jalan, kembali mengisi kepercayaan masing – masing lalu melanjutkan perjalanan cinta yang tertunda. Tak jarang pula salah satunya memilih cabang jalan yang berbeda walau akhirnya tetap bertemu. Aku senang melihat keduanya senang tak ada alasan bagiku untuk mengacungkan parang.
 Aku jatuh hati pada pria yang telah bahagia bersama gadisnya, adakah yang salah dari pernyataanku. Aku yakin tidak ada. Hanya saja aku ingin membuat kisah ini sedikit lebih menarik dengan memunculkan si gadis pirang. Aku senang melihat mereka berbagi kebahagiaan. Melihat pria yang kucinta melindungi gadisnya sepenuh hati. Aku masih ingat adegan saat pria itu memeluk gadisnya erat pasca kebakaran yang menimpa toko tempat gadis itu bekerja. Aku masih merekamnya dengan jelas saat mereka berpelukan, sang pria memeluk gadisnya hangat dan mengelus lembut rambut pirang gadis yang tenggelam di dalam pelukannya. Pria itu membawa gadisnya pulang ke apartement, menyiapkan cokelat panas dan menyelimuti gadisnya sampai ke dada. Ia menunggu gadisnya sampai tertidur dengan lelap. Ia mengecup kening gadisnya dengan lembut dan lama.
Gute Nacht! Schlaf gut!”1
Kuharap dapat mendengar suara lirih nan lembut yang keluar dari mulut pria itu. Rasanya tidurku pun pastilah akan sama nyenyaknya dengan tidur gadis itu. Pria yang kucinta tertidur di atas kursi yang bersebalahan dengan kasur di mana gadis yang dicintanya tertidur dengan pulas. Keduanya terlihat sangat lelah, jelas terpancar dari raut wajahnya. Namun, keduanya tertidur dengan senyum yang terukir manis. Seperti sedang bermimpi yang luar biasa bahagia.
Aku pun ingat saat aku jatuh hati pada pria itu, ia sedang duduk santai di taman sembari membaca buku yang berjudul Effi Briest. Aku kenal baik buku itu karena aku yang memilihkan untuknya. Ia gemar sekali dengan roman – roman karya Theodor Fontane.
Ia membaca setiap lembaran buku itu dengan seksama di tepian sungai Neckar. Neckar di sore hari teramat menawan. Remaja – remaja yang berlarian bermain bola, anak – anak yang bermain Ponyfarm, sejoli yang sedang dimabuk cinta menunjukan kebersamaannya pada hawa musim semi yang malu – malu untuk berhembus, keluarga yang sedang piknik, bahkan ada juga beberapa orang dari kelompok kano yang sedang berlatih. Ia masih terfokus pada setiap kata yang tercetak di buku itu sampai dengan fokusnya tergoyahkan saat melihat seorang gadis yang meringis kesakitan tak jauh darinya.
“Sind Sie okay?”2
“Ja”
“Was ist denn passiert?”
“Ich habe vom Rad gefallen”
“Es tut mir leid. Kann ich Ihnen helfen?”
“Nein, danke. Und bitte sag doch du!”
“Mӧchtest du zum Artzt gehen?”
“Nein, ich brauche nicht”
Aku merancang pertemuan mereka sedemikian rupa, pria itu warga Jerman keturuan Turki yang berhati ramah, tidak seperti kebanyakan orang Jerman lainnya yang lebih acuh. Karena itu, ia mendekati gadis yang meringis kesakitan di dekatnya dan mencoba menawarkan bantuan. Hal yang jarang dilakukan orang Jerman pada umumnya.
Ia membantu membersihkan luka gadis itu dengan air dalam kemasan yang ia bawa. Ia pun mengeringkan lutut gadis itu dengan sapu tangan yang selalu dibawanya. Aku merasakan dengan jelas perasaan ganjil di antara mereka, pandangan matanya seolah mengandung ribuan volt listrik yang siap menyengat. Beberapa kali mereka saling mencuri pandang dan tersenyum. Dua insan ini telah aku tetapkan untuk saling jatuh cinta.
Tak butuh waktu lama untuk mereka saling mengenal satu sama lain, walau belum secara resmi terikat sebagai sepasang kekasih, mereka tinggal bersama di apartement pria itu. Keduanya berbagi banyak hal, waktu, oksigen, tenaga, cerita, kasih sayang, kehangatan dan masih banyak lagi yang terlalu rahasia untuk aku paparkan. Keduanya terasa sungguh bahagia dan aku semakin jatuh cinta pada pria yang aku jodohkan dengan gadis pilihanku. Cintaku semakin berkembang, mengapa tidak, setiap kali aku menuliskan namanya dan memulai kisahnya rasa – rasa itu menguasi diriku seutuhnya dan membuat pria itu terasa nyata di hadapanku, menemaniku mengetik satu per satu jalan hidupnya yang aku tentukan.
Sepasang kekasih yang teramat bahagia sekalipun pasti pernah mengalami perselisihan. Karena itu, aku ingin membuat ini terasa semakin nyata, senyata cintaku pada pria yang harus kubuat bahagia dengan gadis pilihanku.
Das geht nicht!”3
Pria itu masih terdiam setelah mengucapkan sepenggal kalimat yang hanya terdiri dari tiga kata namun sanggup membungkam mulut gadis yang dicintanya. Mereka berselisih paham setelah pria yang kucinta mendapati gadis yang ia cinta sepenuh jiwa, berkencan dengan seorang pria asing yang aku tak mau buatkan nama untuknya.
Mereka akhirnya berpisah, dengan sedih aku putuskan demikian. Aku bukan malaikat yang hanya memiliki sifat baik, aku hanya manusia biasa yang dipenuhi ego dan nafsu. Jangan salahkan aku yang pada akhirnya mengedepankan kepentingan hatiku daripada ceritaku.
Silakan saja sebut aku amatiran karena memang begitu adanya. Aku sudahi kisah pria itu dengan gadis yang tadinya aku pilihkan untuknya. Aku masih teramat mencintainya, tak rela kubuatkan pengganti gadis pirang itu untuk menghiburnya, aku ingin aku yang menghapus sedih di hidupnya. Aku ingin aku yang menjadi sandaran baginya. Yang aku inginkan ini semua menjadi kisah antara aku dan ia yang tak berujung dan berakhir di mana pun. Karena, sebuah akhir berarti awal munculnya perpisahan, aku tak mau ada kata berpisah di antara aku dan dia.
Aku munculkan dengan cepat tokoh aku pada cerita ini. Aku munculkan gadis dengan deskripsi seutuhnya tentang diriku dari mulai akar rambut hingga ujung kuku jari kedua kakiku yang bertipe Greek. Kubuat kami bertemu di tepi sungai Neckar kala musim semi akan mengucap selamat tinggal. Ia yang tanpa sengaja menyenggolku dan membuatku terjatuh, buku yang sedang kupegang jatuh ke bawah, ia segera mengambilnya dan memberikannya padaku.
“Ich entschuldige mich darüber”4
“Kein Problem”
“Magst du auch Theodor Fontane?”
“Ja! Ich mag seinen Roman sehr besonders Effi Briest”
Aku ini penulis semua kisah yang terjadi antara pria yang kucinta, gadis pelayan toko berambut pirang yang selingkuh dan tokoh yang mewakilik diriku di dalam cerita. Sudah kukatakan bahwa aku ini manusia biasa yang penuh dengan keegoisan, aku tak rela pria yang kucinta, yang telah kubuat sosoknya sedemikian rupa, pada akhirnya bersanding dengan orang lain, aku sungguh tak rela.
Karena itu, aku munculkan gadis di akhir cerita yang seutuhnya adalah representasi diriku yang pada akhirnya dilamar dan menikah dengan pria yang aku cintai. Ia menikahiku tapi hanya dalam cerita yang kubuat. Aku manusia yang tetap saja serakah, aku ingin pernikahan kami yang nyata bukan lewat untaian kata.


1 Selamat Malam. Tidur nyenyak.
2 “Apakah Anda baik – baik saja?”
“Iya”
“Apa yang terjadi?”
“Saya jatuh dari sepeda”
“Adakah yang dapat saya bantu?”
“Tidak, terimakasih. Dan tolong panggil saja kamu”
“Apakah kamu ingin pergi ke dokter??”
“Tidak, aku tidak perlu
3 Itu tidak bisa!
4 “Saya minta maaf”
“Bukan masalah”
“Apakah kamu juga menyukai Theodor Fontane?”
“Iya, aku suka romannya, terutama Effi Briest”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar