Mungkin ia seolah buih
di lautan yang akan tetap hilang meski telah disimpan. Namun, ketahuilah ia
akan selalu abadi bersama hati dan pikiranku.
Ini kisahku yang
sepenuhnya jatuh hati pada pria yang telah bahagia bersama gadisnya. Jangan
salahkan aku yang mencintai pria orang, bukankah tak ada yang bisa memilih
kepada siapa hatinya akan berlabuh. Aku yang memilihnya untuk bersanding dengan
gadis itu namun Tuhan menentukan aku harus jatuh hati pada pria yang sudah aku
jodohkan dengan gadis pilihanku. Mungkin ini yang disebut dengan takdir, Tuhan
saja sudah berkendak mengapa aku harus protes.
Sejujurnya aku sama
sekali tak pernah merasa cemburu terhadap segala perlakuan pria itu pada gadisnya.
Justru aku terharu dan sangat berharap itu aku. Aku senang saat gadis itu
menangis bahagia menerima sebuah cincin perak berukirkan inisial nama mereka di
atasnya. Aku pun ikut bahagia melihat keduanya yang hendak menyatukan diri
dalam ikatan janji suci. Betapa beruntungnya.
Perjalanan cinta
bukanlah suatu jalan bebas hambatan yang mulus tanpa ada kelokan dan lubang.
Terkadang ada saatnya harus berhenti di tengah jalan, kembali mengisi
kepercayaan masing – masing lalu melanjutkan perjalanan cinta yang tertunda.
Tak jarang pula salah satunya memilih cabang jalan yang berbeda walau akhirnya
tetap bertemu. Aku senang melihat keduanya senang tak ada alasan bagiku untuk
mengacungkan parang.
Aku jatuh hati pada pria yang telah bahagia
bersama gadisnya, adakah yang salah dari pernyataanku. Aku yakin tidak ada. Hanya saja aku ingin
membuat kisah ini sedikit lebih menarik dengan memunculkan si gadis pirang. Aku
senang melihat mereka berbagi kebahagiaan. Melihat pria yang kucinta melindungi
gadisnya sepenuh hati. Aku masih ingat adegan saat pria itu memeluk gadisnya
erat pasca kebakaran yang menimpa toko tempat gadis itu bekerja. Aku masih
merekamnya dengan jelas saat mereka berpelukan, sang pria memeluk gadisnya
hangat dan mengelus lembut rambut pirang gadis yang tenggelam di dalam
pelukannya. Pria itu membawa gadisnya pulang ke apartement, menyiapkan cokelat
panas dan menyelimuti gadisnya sampai ke dada. Ia menunggu gadisnya sampai
tertidur dengan lelap. Ia mengecup kening gadisnya dengan lembut dan lama.
“Gute Nacht! Schlaf gut!”1
Kuharap dapat
mendengar suara lirih nan lembut yang keluar dari mulut pria itu. Rasanya
tidurku pun pastilah akan sama nyenyaknya dengan tidur gadis itu. Pria yang
kucinta tertidur di atas kursi yang bersebalahan dengan kasur di mana gadis
yang dicintanya tertidur dengan pulas. Keduanya terlihat sangat lelah, jelas
terpancar dari raut wajahnya. Namun, keduanya tertidur dengan senyum yang
terukir manis. Seperti sedang bermimpi yang luar biasa bahagia.
Aku pun ingat saat aku
jatuh hati pada pria itu, ia sedang duduk santai di taman sembari membaca buku
yang berjudul Effi Briest. Aku kenal baik buku itu karena aku yang memilihkan
untuknya. Ia gemar sekali dengan roman – roman karya Theodor Fontane.
Ia membaca setiap
lembaran buku itu dengan seksama di tepian sungai Neckar. Neckar di sore hari
teramat menawan. Remaja – remaja yang berlarian bermain bola, anak – anak yang
bermain Ponyfarm, sejoli yang sedang dimabuk cinta menunjukan
kebersamaannya pada hawa musim semi yang malu – malu untuk berhembus, keluarga
yang sedang piknik, bahkan ada juga beberapa orang dari kelompok kano yang
sedang berlatih. Ia masih terfokus pada setiap kata yang tercetak di buku itu
sampai dengan fokusnya tergoyahkan saat melihat seorang gadis yang meringis
kesakitan tak jauh darinya.
“Sind Sie okay?”2
“Ja”
“Was ist denn passiert?”
“Ich habe vom Rad gefallen”
“Es tut mir leid. Kann ich Ihnen helfen?”
“Nein, danke. Und bitte sag doch du!”
“Mӧchtest du zum Artzt gehen?”
“Nein, ich brauche nicht”
Aku merancang
pertemuan mereka sedemikian rupa, pria itu warga Jerman keturuan Turki yang
berhati ramah, tidak seperti kebanyakan orang Jerman lainnya yang lebih acuh.
Karena itu, ia mendekati gadis yang meringis kesakitan di dekatnya dan mencoba
menawarkan bantuan. Hal yang jarang dilakukan orang Jerman pada umumnya.
Ia membantu
membersihkan luka gadis itu dengan air dalam kemasan yang ia bawa. Ia pun
mengeringkan lutut gadis itu dengan sapu tangan yang selalu dibawanya. Aku
merasakan dengan jelas perasaan ganjil di antara mereka, pandangan matanya
seolah mengandung ribuan volt listrik yang siap menyengat. Beberapa kali mereka
saling mencuri pandang dan tersenyum. Dua insan ini telah aku tetapkan untuk
saling jatuh cinta.
Tak butuh waktu lama
untuk mereka saling mengenal satu sama lain, walau belum secara resmi terikat
sebagai sepasang kekasih, mereka tinggal bersama di apartement pria itu. Keduanya berbagi banyak hal,
waktu, oksigen, tenaga, cerita, kasih sayang, kehangatan dan masih banyak lagi
yang terlalu rahasia untuk aku paparkan. Keduanya terasa sungguh bahagia dan
aku semakin jatuh cinta pada pria yang aku jodohkan dengan gadis pilihanku.
Cintaku semakin berkembang, mengapa tidak, setiap kali aku menuliskan namanya
dan memulai kisahnya rasa – rasa itu menguasi diriku seutuhnya dan membuat pria
itu terasa nyata di hadapanku, menemaniku mengetik satu per satu jalan hidupnya
yang aku tentukan.
Sepasang kekasih yang
teramat bahagia sekalipun pasti pernah mengalami perselisihan. Karena itu, aku
ingin membuat ini terasa semakin nyata, senyata cintaku pada pria yang harus
kubuat bahagia dengan gadis pilihanku.
“Das geht nicht!”3
Pria itu masih terdiam
setelah mengucapkan sepenggal kalimat yang hanya terdiri dari tiga kata namun
sanggup membungkam mulut gadis yang dicintanya. Mereka berselisih paham setelah
pria yang kucinta mendapati gadis yang ia cinta sepenuh jiwa, berkencan dengan
seorang pria asing yang aku tak mau buatkan nama untuknya.
Mereka akhirnya
berpisah, dengan sedih aku putuskan demikian. Aku bukan malaikat yang hanya
memiliki sifat baik, aku hanya manusia biasa yang dipenuhi ego dan nafsu.
Jangan salahkan aku yang pada akhirnya mengedepankan kepentingan hatiku
daripada ceritaku.
Silakan saja sebut aku
amatiran karena memang begitu adanya. Aku sudahi kisah pria itu dengan gadis
yang tadinya aku pilihkan untuknya. Aku masih teramat mencintainya, tak rela
kubuatkan pengganti gadis pirang itu untuk menghiburnya, aku ingin aku yang
menghapus sedih di hidupnya. Aku ingin aku yang menjadi sandaran baginya. Yang
aku inginkan ini semua menjadi kisah antara aku dan ia yang tak berujung dan
berakhir di mana pun. Karena, sebuah akhir berarti awal munculnya perpisahan,
aku tak mau ada kata berpisah di antara aku dan dia.
Aku munculkan dengan
cepat tokoh aku pada cerita ini. Aku munculkan gadis dengan deskripsi seutuhnya
tentang diriku dari mulai akar rambut hingga ujung kuku jari kedua kakiku yang
bertipe Greek. Kubuat kami bertemu di tepi sungai Neckar kala musim semi akan
mengucap selamat tinggal. Ia yang tanpa sengaja menyenggolku dan membuatku
terjatuh, buku yang sedang kupegang jatuh ke bawah, ia segera mengambilnya dan
memberikannya padaku.
“Ich entschuldige mich darüber”4
“Kein Problem”
“Magst du auch Theodor Fontane?”
“Ja! Ich mag seinen Roman sehr besonders Effi Briest”
Aku ini penulis semua
kisah yang terjadi antara pria yang kucinta, gadis pelayan toko berambut pirang
yang selingkuh dan tokoh yang mewakilik diriku di dalam cerita. Sudah kukatakan
bahwa aku ini manusia biasa yang penuh dengan keegoisan, aku tak rela pria yang
kucinta, yang telah kubuat sosoknya sedemikian rupa, pada akhirnya bersanding
dengan orang lain, aku sungguh tak rela.
Karena itu, aku
munculkan gadis di akhir cerita yang seutuhnya adalah representasi diriku yang
pada akhirnya dilamar dan menikah dengan pria yang aku cintai. Ia menikahiku
tapi hanya dalam cerita yang kubuat. Aku manusia yang tetap saja serakah, aku
ingin pernikahan kami yang nyata bukan lewat untaian kata.
…
1 Selamat Malam. Tidur
nyenyak.
2 “Apakah Anda baik –
baik saja?”
“Iya”
“Apa yang terjadi?”
“Saya jatuh dari
sepeda”
“Adakah yang dapat
saya bantu?”
“Tidak, terimakasih.
Dan tolong panggil saja kamu”
“Apakah kamu ingin
pergi ke dokter??”
“Tidak, aku tidak
perlu
3 Itu tidak bisa!
4 “Saya minta maaf”
“Bukan masalah”
“Apakah kamu juga menyukai
Theodor Fontane?”
“Iya, aku suka romannya, terutama Effi Briest”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar