Perpisahan
yang sejujurnya menyedihkan namun masih ada bahagia yang kurasa bersamaan
dengan teriris – irisnya hatiku tak sanggup menerima kenyataan bahwa aku tak
dapat melihatnya lagi, wajah cerianya, kantung matanya dan bahkan tidurnya yang
terlihat nyenyak walau terguncang – guncang. Bukankah kita harus bahagia
melihat orang yang kita sayang bahagia, berhasil meraih impiannya, sekalipun
itu artinya kita tak dapat melihatnya, lagi. Tak masalah bukan?
Cerita
ini berawal dari dua tahun yang lalu, sudah selama itu aku memerhatikannya, mungkin sekarang dia
duduk di tingkat dua. Karena, aku ingat sekali saat pertama kali ia menunggu bus
di halte ini, ia mengenakan sepatu hitam dengan warna tali yang berbeda, kanan
merah sementara kiri kuning, ia menaiki tangga bus dengan susah payah karena
rok hitam panjang semata kaki yang dikenakannya
memberikan ruang gerak yang sempit sekali, ransel hitam dan tas jinjing
di tangannya semakin membuatnya kesulitan bergerak. Ia selalu mengambil posisi
duduk di sayap kiri dan jika beruntung masih tersisa kursi di dekat jendela,
dengan wajah bahagia ia segera melemparkan tubuhnya dan menempelkan bagian kiri
kepalanya pada jendela, menarik napas lega dan mulai sibuk memandang ke bawah,
mungkin ia sedang menyiapkan ongkos. Jika ia sedang kurang beruntung, atau
lebih tepatnya aku yang sangat tidak beruntung, ia kehabusan kursi di sayap
kiri dan duduk di sayap kanan, malangnya aku melewatkan rutinitasnya.
Aku
terus memerhatikannya yang sudah tidak dengan rok hitam dan tali sepatu warna – warni lagi, setiap hari kerja aku melihatnya
dengan sepatu bertali normal dan celana jeans yang membuatnya lebih bebas
bergerak, terkadang ia dengan santainya mengenakan kaos bergambar kartun atau
dengan tulisan lucu - lucu. Aku paling suka saat melihatnya dengan sederhana
mengenakan kemeja flanel merah maroon kotak - kotak, mirip kemeja milik mantan
gubernur Kota Solo, celana jeans, sepatu kets yang senada dengan kemejanya,
serta rambut panjang yang ia kuncir mirip ekor kuda, mengayun ke kanan dan ke
kiri saat ia berlari mengejar bus yang hampir saja meninggalkannya. Aku suka rambutnya, warnanya bergradasi dengan indah,
ungu, kalau tak salah baca yang seperti itu sedang musim, namanya ombre
Di semester ini aku
lebih sering melihatnya daripada semester lalu, setiap Senin dan Rabu ia
menunggu bus pukul 07.00 pagi sementara Selasa dan Kamis ia menunggu bus pukul 09.00 pagi, sayangnya di hari Jumat aku tak pernah melihatnya,
mungkin ia pergi siang, saat aku telah menutup lapakku.
Hari itu Rabu pukul 07.48 pagi namun aku belum melihatnya
duduk manis di kursi halte, biasanya setelah duduk, ia mengeluarkan handphone,
beberapa saat tersenyum geli atau bermuka sedih, tak jarang mukanya menyuratkan
kesal dengan diiringi beberapa makian dari mulutnya, "Sial! Aku udah di
halte baru dikabarin nggak ada kelas", hanya kalimat itulah yang sering
aku dengar keluar dari mulutnya. Dengan segera ia berdiri dan melambaikan
tangan ke depan, memberhentikan angkot dan pergi meninggalkan halte,
meninggalkan aku, dengan wajah kesal. Lamunanku berakhir saat sosok yang sedari
tadi aku tunggu, telah hadir, ia duduk manis, mengeluarkan handphone sebentar
lalu memasukkannya kembali ke tas. Ia menarik keluar sebuah buku, kali ini
Inferno dari Dan Brown. Kemarin aku melihatnya masih membaca Angel and Demond,
dia hebat sekali, setiap hari membaca, tidak menyia - nyiakan waktunya dan yang
membuatku semakin kagum, ia membaca dengan cepat. Pernah dalam empat hari dia
membaca buku dengan judulnya berbeda, Senin Summer in Seoul, Selasa Autumn in
Paris, Rabu Winter in Tokyo dan Kamis Spring in London. Atau saat dalam dua
minggu ia membaca semua seri Enid Blyton, mengagumkan.
Ia menutup bukunya,
berdiri bersiap naik bus. Hari itu
ia beruntung, aku pun begitu. Ia duduk di sayap kiri dekat jendela. Namun, ia
segera membenturkan keningnya pada jok di depannya. Hey, dia kenapa. Aku
melihat tangan kirinya yang mengusap mata dengan tisu, tunggu, apa ia menangis.
Ingin aku mengejarnya, menanyakan apa yang salah, mendengarkan keluhannya.
Namun, apa daya yang dapat aku lakukan hanya berdiri terhalang oleh daganganku.
Keesokan harinya aku
tidak melihat dia di halte, begitu pun lusa dan seterusnya, ia tidak ada. Apa
ia sakit. Ah! Kenapa aku ini, tentu saja tidak boleh berpikir seperti itu,
semoga dia baik - baik saja. Tuhan, jaga dia selalu, kumohon.
Dua minggu berlalu dan
aku masih tidak melihatnya di halte, apa ia sedang libur, tidak tidak, jika ia
libur seharusnya halte sepi, tidak ada mahasiswa lain, lagipula ini masih bulan
Mei. Aku memerhatikan setiap orang di halte, siapa tahu sosoknya terselip di
antara pria - pria berbadan besar itu, tidak ada. Aku memerhatikan setiap bus
yang lewat 30 menit sekali, barangkali aku beruntung melihatnya sedang tertidur
pulas menyenderkan tubuhnya pada dinding bus, beruntungnya bus itu. Aku iri sekali
padanya yang membuat gadis itu nyaman.
Dua minggu lagi berlalu
dan aku masih tak melihatnya, Mei tinggal dua hari lagi, dan bulan Juni adalah
bulan yang berat untukku, karena apa. Juni berarti ia ujian, dan setelah ujian
berarti libur panjang, libur panjang sama artinya dengan libur mencuri senyuman
dari wajahnya. Malangnya diriku. Aku bisa apa.
Bulan Juni telah habis, sesuai dengan apa yang aku kira,
genap dua bulan lamanya aku tak melihat dia duduk manis membaca buku. Aku
khawatir, rindu, bingung namun sayang tak dapat berbuat apa - apa.
Aku mengalihkan fokusku pada koran pagi
ini. Headline-nya tentang mahasiswi yang mendapat beasiswa studi di Jerman. Aku
membaca kisahnya, sangat menarik. Ia berjuang mati - matian mendapat IPK
tertinggi di kampus. Namun, malangnya di hari pengumuman beasiswa itu, ia
kehilangan ayahnya. Dua bulan yang lalu pasca kepergian ayahnya dan hari
pengumuman. Kini, ia sedang merajut mimpi - mimpinya di Jerman, demi ayah
tercinta.
Kisah yang menyentuh
hati, saat aku melihat data diri nama gadis itu, Alina Nasution, semester 4
Sastra Jerman Universitas Padjaluhur, tunggu. Aku tertegun melihat senyuman
pada foto gadis itu, senyum yang aku rindukan.
"Selamat tinggal,
Alina. Nama yang indah. Semoga kamu sukses di sana"
Kalimat itu menutup
hariku dan lapakku, aku diusir satpol pp tepat di kalimat perpisahanku pada
Alina. Aku akan merindukanmu. Semua
hari yang telah aku lalui dengan rasa bahagia dapat mengetahuinya walau tak
sempat mengenalnya. Satu tahunku yang tak sia – sia dengan pemandangan
wajahnya. Pengalaman yang tak bosan kukenang terus, mengulang semua kejadian
tentangnya yang sangat segar diingatanku tak pernah membuatku lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar