Jumat, 18 Juli 2014

Alina


Perpisahan yang sejujurnya menyedihkan namun masih ada bahagia yang kurasa bersamaan dengan teriris – irisnya hatiku tak sanggup menerima kenyataan bahwa aku tak dapat melihatnya lagi, wajah cerianya, kantung matanya dan bahkan tidurnya yang terlihat nyenyak walau terguncang – guncang. Bukankah kita harus bahagia melihat orang yang kita sayang bahagia, berhasil meraih impiannya, sekalipun itu artinya kita tak dapat melihatnya, lagi. Tak masalah bukan?
Cerita ini berawal dari dua tahun yang lalu, sudah selama itu  aku memerhatikannya, mungkin sekarang dia duduk di tingkat dua. Karena, aku ingat sekali saat pertama kali ia menunggu bus di halte ini, ia mengenakan sepatu hitam dengan warna tali yang berbeda, kanan merah sementara kiri kuning, ia menaiki tangga bus dengan susah payah karena rok hitam panjang semata kaki yang dikenakannya  memberikan ruang gerak yang sempit sekali, ransel hitam dan tas jinjing di tangannya semakin membuatnya kesulitan bergerak. Ia selalu mengambil posisi duduk di sayap kiri dan jika beruntung masih tersisa kursi di dekat jendela, dengan wajah bahagia ia segera melemparkan tubuhnya dan menempelkan bagian kiri kepalanya pada jendela, menarik napas lega dan mulai sibuk memandang ke bawah, mungkin ia sedang menyiapkan ongkos. Jika ia sedang kurang beruntung, atau lebih tepatnya aku yang sangat tidak beruntung, ia kehabusan kursi di sayap kiri dan duduk di sayap kanan, malangnya aku melewatkan rutinitasnya.
Aku terus memerhatikannya yang sudah tidak  dengan rok hitam dan tali sepatu warna – warni lagi, setiap hari kerja aku melihatnya dengan sepatu bertali normal dan celana jeans yang membuatnya lebih bebas bergerak, terkadang ia dengan santainya mengenakan kaos bergambar kartun atau dengan tulisan lucu - lucu. Aku paling suka saat melihatnya dengan sederhana mengenakan kemeja flanel merah maroon kotak - kotak, mirip kemeja milik mantan gubernur Kota Solo, celana jeans, sepatu kets yang senada dengan kemejanya, serta rambut panjang yang ia kuncir mirip ekor kuda, mengayun ke kanan dan ke kiri saat ia berlari mengejar bus yang hampir saja meninggalkannya. Aku suka rambutnya, warnanya bergradasi dengan indah, ungu, kalau tak salah baca yang seperti itu sedang musim, namanya ombre
Di semester ini aku lebih sering melihatnya daripada semester lalu, setiap Senin dan Rabu ia menunggu bus pukul 07.00 pagi  sementara Selasa dan Kamis ia menunggu bus pukul 09.00 pagi, sayangnya di hari Jumat aku tak pernah melihatnya, mungkin ia pergi siang, saat aku telah menutup lapakku.
Hari itu Rabu pukul 07.48 pagi namun aku belum melihatnya duduk manis di kursi halte, biasanya setelah duduk, ia mengeluarkan handphone, beberapa saat tersenyum geli atau bermuka sedih, tak jarang mukanya menyuratkan kesal dengan diiringi beberapa makian dari mulutnya, "Sial! Aku udah di halte baru dikabarin nggak ada kelas", hanya kalimat itulah yang sering aku dengar keluar dari mulutnya. Dengan segera ia berdiri dan melambaikan tangan ke depan, memberhentikan angkot dan pergi meninggalkan halte, meninggalkan aku, dengan wajah kesal. Lamunanku berakhir saat sosok yang sedari tadi aku tunggu, telah hadir, ia duduk manis, mengeluarkan handphone sebentar lalu memasukkannya kembali ke tas. Ia menarik keluar sebuah buku, kali ini Inferno dari Dan Brown. Kemarin aku melihatnya masih membaca Angel and Demond, dia hebat sekali, setiap hari membaca, tidak menyia - nyiakan waktunya dan yang membuatku semakin kagum, ia membaca dengan cepat. Pernah dalam empat hari dia membaca buku dengan judulnya berbeda, Senin Summer in Seoul, Selasa Autumn in Paris, Rabu Winter in Tokyo dan Kamis Spring in London. Atau saat dalam dua minggu ia membaca semua seri Enid Blyton, mengagumkan.
Ia menutup bukunya, berdiri bersiap naik bus. Hari itu ia beruntung, aku pun begitu. Ia duduk di sayap kiri dekat jendela. Namun, ia segera membenturkan keningnya pada jok di depannya. Hey, dia kenapa. Aku melihat tangan kirinya yang mengusap mata dengan tisu, tunggu, apa ia menangis. Ingin aku mengejarnya, menanyakan apa yang salah, mendengarkan keluhannya. Namun, apa daya yang dapat aku lakukan hanya berdiri terhalang oleh daganganku.
Keesokan harinya aku tidak melihat dia di halte, begitu pun lusa dan seterusnya, ia tidak ada. Apa ia sakit. Ah! Kenapa aku ini, tentu saja tidak boleh berpikir seperti itu, semoga dia baik - baik saja.  Tuhan, jaga dia selalu, kumohon.
Dua minggu berlalu dan aku masih tidak melihatnya di halte, apa ia sedang libur, tidak tidak, jika ia libur seharusnya halte sepi, tidak ada mahasiswa lain, lagipula ini masih bulan Mei. Aku memerhatikan setiap orang di halte, siapa tahu sosoknya terselip di antara pria - pria berbadan besar itu, tidak ada. Aku memerhatikan setiap bus yang lewat 30 menit sekali, barangkali aku beruntung melihatnya sedang tertidur pulas menyenderkan tubuhnya pada dinding bus, beruntungnya bus itu.  Aku iri sekali padanya yang membuat gadis itu nyaman.
Dua minggu lagi berlalu dan aku masih tak melihatnya, Mei tinggal dua hari lagi, dan bulan Juni adalah bulan yang berat untukku, karena apa. Juni berarti ia ujian, dan setelah ujian berarti libur panjang, libur panjang sama artinya dengan libur mencuri senyuman dari wajahnya. Malangnya diriku.  Aku bisa apa.
Bulan Juni telah habis, sesuai dengan apa yang aku kira, genap dua bulan lamanya aku tak melihat dia duduk manis membaca buku. Aku khawatir, rindu, bingung namun sayang tak dapat berbuat apa - apa.
Aku mengalihkan fokusku pada koran pagi ini. Headline-nya tentang mahasiswi yang mendapat beasiswa studi di Jerman. Aku membaca kisahnya, sangat menarik. Ia berjuang mati - matian mendapat IPK tertinggi di kampus. Namun, malangnya di hari pengumuman beasiswa itu, ia kehilangan ayahnya. Dua bulan yang lalu pasca kepergian ayahnya dan hari pengumuman. Kini, ia sedang merajut mimpi - mimpinya di Jerman, demi ayah tercinta.
Kisah yang menyentuh hati, saat aku melihat data diri nama gadis itu, Alina Nasution, semester 4 Sastra Jerman Universitas Padjaluhur, tunggu. Aku tertegun melihat senyuman pada foto gadis itu, senyum yang aku rindukan.
"Selamat tinggal, Alina. Nama yang indah. Semoga kamu sukses di sana"
Kalimat itu menutup hariku dan lapakku, aku diusir satpol pp tepat di kalimat perpisahanku pada Alina. Aku akan merindukanmu. Semua hari yang telah aku lalui dengan rasa bahagia dapat mengetahuinya walau tak sempat mengenalnya. Satu tahunku yang tak sia – sia dengan pemandangan wajahnya. Pengalaman yang tak bosan kukenang terus, mengulang semua kejadian tentangnya yang sangat segar diingatanku tak pernah membuatku lelah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar