Namaku Af, panggil saja apa adanya, tak perlu ditambah
apalagi dikurang, biarkan begitu adanya, hanya terdiri dari dua huruf. Hari ini
aku akan menikah dengan Dandi yang dulunya berstatus kekasih sejatiku tapi tak
untuk selamanya, karena pada hari ini kami akan menikah dan punya anak lima
bernama Ada, Adi, Adu, Ade dan Ado. Semoga mereka nantinya kembar lima yang
lucu, unik, menawan seperti bunbun dan ayaynya. Aku bahagia, tentu saja
bahagia, lebih dari sekedar bahagia dan rasanya ingin salto jungkir balik, roll
depan, roll belakang, sikap lilin, senam lantai, zumba, pokoknya aku senang.
Siapa pun pasti merasa senang jika menikah dengan
landasan saling mencintai dan sudah mapan, jangan mau menikah dengan hanya
berlandaskan pada cinta semata, perut tak akan pernah mau disuap dengan hanya
cinta. Mereka butuh makan!
Aku dan Dandi empat tahun lamanya menjalin hubungan
asmara sebagai sepasang merpati yang selalu dimabuk cinta dan dihantui rindu. Namun,
tepat saat ia memutuskan hubungan kami, aku memeluknya dengan erat, mencubit
pipinya dan menusuk – nusuk sumur di pipinya.
“Kamu mau nikah sama aku, aku nggak bisa janji apa – apa
tapi aku punya tabungan dan kerja mapan, aku juga mau selamanya melindungi kamu
dan selalu ada buat kamu sampai kedipan mata terakhirku, aku tahu aku nggak
mungkin bisa selamanya buat kamu bahagia tapi sungguh aku bakalan berusaha
meminimalisir sedihmu. Aku sayang kamu, Af”
Beritahu aku wanita mana yang akan menolak lamaran Dandi,
biar kujabat tangannya dan bilang makasih, karena sesungguhnya Dandi milikku
dan hanya untukku serta anak – anak kami.
Aku dan Dandi bukan sepasang kekasih yang candu rayuan,
kami hanya dua insan yang sedapat mungkin saling memercayai dan mengasihi,
secepat mungkin selalu ada untuk satu sama lain. Tak ada panggilan sayang
khusus di antara kami, tak ada beb, hubby, chubby, honey, apapun itu tak ada.
Panggilah cukup Af dan Dandi, itu saja cukup,apalagi jika dilafalkan dengan
mesra. Satu prinsip dari Dandi, ia selalu berkata, “Aku nggak suka denger orang
pacaran panggil nama aneh gitu, mendingan nanti aja pas nikah, biar lebih
nyess”, aku tentu saja setuju dengan prinsipnya. Jujur aku sendiri merasa risi
jika dipanggil dengan istilan – istilah itu, lagipula aku sangat tidak nyaman
jika kami sedang hangout lalu tiba – tiba mendengar seorang pria memanggil
kekasihnya beb atau sayang lalau beerapa langkah selanjutnya aku melihat
pasangan lainnya dengan beb dan sayang, pasaran.
Aku senang saat Dandi memutuskan hubungan asmara kami dan
melamarku saat itu juga untuk menjadi bunbun dari anak- anaknya.
“Kamu bukan wanita biasa, aku mau kamu jadi lebih
istimewa, kamu mau jadi bunbun dari anak – anakku?”
Ah, Dandi! Ia selalu berkata bahwa kelak ketika menikah
nanti ia ingin memanggilku dengan panggilan bunbun, sebenarnya diambil dari
kata bunda setelah dimodifikasi mengalami perubahan di sana – sini dan tanpa
melakukan pergeseran makna, jadilah aku yang mengiyakan menjadi bunbun dari
anak – anaknya.
“Relakah kamu aku jadi ayay dari anak – anakmu?”
Ayay yang berasal dari kata ayah. Dandi ini sungguh luar
biasa dengan segala keunikan dan anti-kekiniannya. Dari sepenggal lamaran itu
jadilah kami yang saling menyetujui menjadi ayay dan bunbun dari Ada, Adi, Adu,
Ade dan Ado.
Aku belum pernah setegang ini, rasanya sulit diungkapkan,
aku akan menikah, hari ini, dengan Dandi, aku bahagia dan tegang juga takut dan
kebelet pipis.
“Mbak, aku kebelet nih, pipis dulu, ya”
“Af! Di mana – mana selalu kebelet, hari ini pernikahanmu, Nona”
Yang terakhir itu kalimat yang diucapkan dengan iringan
napas panjang dan gelengan kepala dari sahabatku Tania.
“Ini bener, kebelet banget”
“Tahan dikit, sayang gaunnya nanti basah”
“Kamu nggak sayang sama aku yang nahan pipis”
“Enggak”
“Kalau ngompol di celana”
“Sayang gaunnya, gih cepetan!”
Lega, rasanya seperti jerawat kempes atau bisul pecah.
Tania membantu mbak wardrobe memperbaiki gaun dan riasanku.
“Tan, aku cantik banget”
“Harusnya aku yang ngomong itu, Af. Kamu kok pd banget
sih”
“Tapi, aku beneran cantik”
“Lumayan, Af”
“Tan, aku kebelet”
“Kan tadi udah pipis, masa mau pipis lagi, beser”
“Kebelet nikah, Tan”
Jadilah keningku sasaran empuk toyoran tangan Tania.
“Apa kata Ada kalau bunbunya cantik kayak gini”
“Doi kan belum lahir, Af”
“Kalau kata Adi, Adu, Ade dan Ado gimana, ya”
“Bikin aja dulu baru pikirin”
“Bikinnya gimana, Tan”
“Yang kawin kamu bukan aku! Tutorial dulu gih”
“Tan, pinjem Ipad”
“Buat apa?”
“Streaming Youtube
tutorial bikin anak”
Lagi keningku ditoyor Tania yang tertawa jengkel.
Aku ditemani Tania menuju altar. Di sana Dandi berdiri
dengan tampan dan tegang. Ia menoleh sedikit ke arahku, mengedipkan mata
kirinya genit, lalu mengepal kedua tangannya yang diangkat sepipi, mulutnya
bergerak dan berkata ,”Semangat”.
Aku balik mengedipkan mata dan menjulurkan lidah padanya.
Ayah sudah menunggu di garis start karpet merah, ia
meraih tanganku dan membuat Tania berdiri di belakang menjaga gaunku yang ia
sayangi agar tidak bergulung.
Tibalah saatnya aku bersanding dengan Dandi di hadapan
wakil Tuhan untuk mempersatukan diri kami, diikat janji suci seumur hidup
sampai mati. Dandi sangat gugup aku pun begitu, ia melirikku sedikit dan
menampakkan raut muka seolah meminta pertolongan, aku yang juga gugup hanya
menjawabnya dengan mengangkat bahu. Aku bisa berbuat apa, selain berdoa semoga
janji suci kami lancar jaya.
“Apakah kamu bersedia....”
“Bapak, tahan sebentar”
Dandi memotong janji kami, ia menggenggam tanganku, semua
hadirin keheran termasuk aku.
Ia menatapku dalam, matanya berbinar, aku melihat
ketakutan dan gugup di matanya.
“Kamu kenapa?”
Dandi masih saja diam dan menggenggam tanganku, bibirnya
bergetar.
“Jangan dulu, Dan. Belum bilang aku bersedia, tahan”
Dandi masih saja diam dan semakin erat menggenggam
tanganku, aku bingung, apa maunya.
“Af, kamu yakin mau jadi bunbun dari anak – anakku?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya, apa – apaan dia
bertanya seperti itu disaat seharusnya berkata aku bersedia lalu berciuman
berfoto melempar bunga. Ah, Dandi.
“Af, kamu benar kamu jadi bunbun?”
“Kamu kenapa, Dan? Aku mau kok, sungguh”
“Masalahnya...”
“Kenapa?”
Dandi terlihat kebingungan, ia menundukkan kepalanya
beberapa saat, kemudian kembali memandangku.
“Anak kecil di sebelah rumahku tadi pagi manggil ayahnya
ayay...”
Ia tidak melanjutkan perkataannya, terdiam beberapa saat
kemudian membuka mulutnya lagi.
“Dia juga manggil ibunya bunbun, sekarang kita bukan yang
pertama lagi”
“Kok bisa gitu, Dan?”
“Aku..”
Hadirin kebingungan melihat kami yang berdiam diri dan
berbisik. Tania bahkan menggelengkan kepala berkali – kali melihat tingkah kami
yang sudah mau menikah tapi masih saja bertingkah tak wajar.
“Kemarin malam aku minta anak itu panggil aku ayay,
latihan, Af. Eh, dia keenakan, keterusan manggil ayahnya begitu malah jadi
ketularan ke ibunya, maaf”
“Dandi! Nggak apa – apa, sungguh kamu kok bikin aku dag
dig dug ser jos aw gini sih”
“Aku nggak enak, ngerasa bersalah, Af”
“Buruan sana bilang aku bersedia”
“Latihan dulu, Af”
“Aku bersedia”
“Bukan itu, Af”
“Apa?”
“Panggil ayay, Af”
“Dandi!”
“Aku bersedia, Bapak. Sekarang juga nikahkan aku dengan
Af, Bapak. Sekarang!”
Mereka resmi menikah dengan ikatan janji suci selamanya
sampai maut memisahkan dan bersiap untuk ciuman pernikahan mereka.
“Dan, bentar”
“Apaan, Af? Kenapa?”
Aku berlari meninggalkan Dandi dan menunda wedding kiss
kami. Tania yang masih menggeleng kepala berdiri seolah sudah tahu apa yang
akan aku lakukan. Aku berlari dan terus berlari mengangkat gaunku selutut agar
lebih mudah berlari.
“Tan!”
“Heu”
“Tutorial wedding
kiss ala royal wedding, dong”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar