Jumat, 18 Juli 2014

Af

Namaku Af, panggil saja apa adanya, tak perlu ditambah apalagi dikurang, biarkan begitu adanya, hanya terdiri dari dua huruf. Hari ini aku akan menikah dengan Dandi yang dulunya berstatus kekasih sejatiku tapi tak untuk selamanya, karena pada hari ini kami akan menikah dan punya anak lima bernama Ada, Adi, Adu, Ade dan Ado. Semoga mereka nantinya kembar lima yang lucu, unik, menawan seperti bunbun dan ayaynya. Aku bahagia, tentu saja bahagia, lebih dari sekedar bahagia dan rasanya ingin salto jungkir balik, roll depan, roll belakang, sikap lilin, senam lantai, zumba, pokoknya aku senang.
Siapa pun pasti merasa senang jika menikah dengan landasan saling mencintai dan sudah mapan, jangan mau menikah dengan hanya berlandaskan pada cinta semata, perut tak akan pernah mau disuap dengan hanya cinta. Mereka butuh makan!
Aku dan Dandi empat tahun lamanya menjalin hubungan asmara sebagai sepasang merpati yang selalu dimabuk cinta dan dihantui rindu. Namun, tepat saat ia memutuskan hubungan kami, aku memeluknya dengan erat, mencubit pipinya dan menusuk – nusuk sumur di pipinya.
“Kamu mau nikah sama aku, aku nggak bisa janji apa – apa tapi aku punya tabungan dan kerja mapan, aku juga mau selamanya melindungi kamu dan selalu ada buat kamu sampai kedipan mata terakhirku, aku tahu aku nggak mungkin bisa selamanya buat kamu bahagia tapi sungguh aku bakalan berusaha meminimalisir sedihmu. Aku sayang kamu, Af”
Beritahu aku wanita mana yang akan menolak lamaran Dandi, biar kujabat tangannya dan bilang makasih, karena sesungguhnya Dandi milikku dan hanya untukku serta anak – anak kami.
Aku dan Dandi bukan sepasang kekasih yang candu rayuan, kami hanya dua insan yang sedapat mungkin saling memercayai dan mengasihi, secepat mungkin selalu ada untuk satu sama lain. Tak ada panggilan sayang khusus di antara kami, tak ada beb, hubby, chubby, honey, apapun itu tak ada. Panggilah cukup Af dan Dandi, itu saja cukup,apalagi jika dilafalkan dengan mesra. Satu prinsip dari Dandi, ia selalu berkata, “Aku nggak suka denger orang pacaran panggil nama aneh gitu, mendingan nanti aja pas nikah, biar lebih nyess”, aku tentu saja setuju dengan prinsipnya. Jujur aku sendiri merasa risi jika dipanggil dengan istilan – istilah itu, lagipula aku sangat tidak nyaman jika kami sedang hangout lalu tiba – tiba mendengar seorang pria memanggil kekasihnya beb atau sayang lalau beerapa langkah selanjutnya aku melihat pasangan lainnya dengan beb dan sayang, pasaran.
Aku senang saat Dandi memutuskan hubungan asmara kami dan melamarku saat itu juga untuk menjadi bunbun dari anak- anaknya.
“Kamu bukan wanita biasa, aku mau kamu jadi lebih istimewa, kamu mau jadi bunbun dari anak – anakku?”
Ah, Dandi! Ia selalu berkata bahwa kelak ketika menikah nanti ia ingin memanggilku dengan panggilan bunbun, sebenarnya diambil dari kata bunda setelah dimodifikasi mengalami perubahan di sana – sini dan tanpa melakukan pergeseran makna, jadilah aku yang mengiyakan menjadi bunbun dari anak – anaknya.
“Relakah kamu aku jadi ayay dari anak – anakmu?”
Ayay yang berasal dari kata ayah. Dandi ini sungguh luar biasa dengan segala keunikan dan anti-kekiniannya. Dari sepenggal lamaran itu jadilah kami yang saling menyetujui menjadi ayay dan bunbun dari Ada, Adi, Adu, Ade dan Ado.
Aku belum pernah setegang ini, rasanya sulit diungkapkan, aku akan menikah, hari ini, dengan Dandi, aku bahagia dan tegang juga takut dan kebelet pipis.
“Mbak, aku kebelet nih, pipis dulu, ya”
“Af! Di mana – mana selalu kebelet,  hari ini pernikahanmu, Nona”
Yang terakhir itu kalimat yang diucapkan dengan iringan napas panjang dan gelengan kepala dari sahabatku Tania.
“Ini bener, kebelet banget”
“Tahan dikit, sayang gaunnya nanti basah”
“Kamu nggak sayang sama aku yang nahan pipis”
“Enggak”
“Kalau ngompol di celana”
“Sayang gaunnya, gih cepetan!”
Lega, rasanya seperti jerawat kempes atau bisul pecah. Tania membantu mbak wardrobe memperbaiki gaun dan riasanku.
“Tan, aku cantik banget”       
“Harusnya aku yang ngomong itu, Af. Kamu kok pd banget sih”
“Tapi, aku beneran cantik”
“Lumayan, Af”
“Tan, aku kebelet”
“Kan tadi udah pipis, masa mau pipis lagi, beser”
“Kebelet nikah, Tan”
Jadilah keningku sasaran empuk toyoran tangan Tania.
“Apa kata Ada kalau bunbunya cantik kayak gini”
“Doi kan belum lahir, Af”
“Kalau kata Adi, Adu, Ade dan Ado gimana, ya”
“Bikin aja dulu baru pikirin”
“Bikinnya gimana, Tan”
“Yang kawin kamu bukan aku! Tutorial dulu gih”
“Tan, pinjem Ipad”
“Buat apa?”
Streaming Youtube tutorial bikin anak”
Lagi keningku ditoyor Tania yang tertawa jengkel.
Aku ditemani Tania menuju altar. Di sana Dandi berdiri dengan tampan dan tegang. Ia menoleh sedikit ke arahku, mengedipkan mata kirinya genit, lalu mengepal kedua tangannya yang diangkat sepipi, mulutnya bergerak dan berkata  ,”Semangat”.
Aku balik mengedipkan mata dan menjulurkan lidah padanya.
Ayah sudah menunggu di garis start karpet merah, ia meraih tanganku dan membuat Tania berdiri di belakang menjaga gaunku yang ia sayangi agar tidak bergulung.
Tibalah saatnya aku bersanding dengan Dandi di hadapan wakil Tuhan untuk mempersatukan diri kami, diikat janji suci seumur hidup sampai mati. Dandi sangat gugup aku pun begitu, ia melirikku sedikit dan menampakkan raut muka seolah meminta pertolongan, aku yang juga gugup hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. Aku bisa berbuat apa, selain berdoa semoga janji suci kami lancar jaya.
“Apakah kamu bersedia....”
“Bapak, tahan sebentar”
Dandi memotong janji kami, ia menggenggam tanganku, semua hadirin keheran termasuk aku.
Ia menatapku dalam, matanya berbinar, aku melihat ketakutan dan gugup di matanya.
“Kamu kenapa?”
Dandi masih saja diam dan menggenggam tanganku, bibirnya bergetar.
“Jangan dulu, Dan. Belum bilang aku bersedia, tahan”
Dandi masih saja diam dan semakin erat menggenggam tanganku, aku bingung, apa maunya.
“Af, kamu yakin mau jadi bunbun dari anak – anakku?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya, apa – apaan dia bertanya seperti itu disaat seharusnya berkata aku bersedia lalu berciuman berfoto melempar bunga. Ah, Dandi.
“Af, kamu benar kamu jadi bunbun?”
“Kamu kenapa, Dan? Aku mau kok, sungguh”
“Masalahnya...”
“Kenapa?”
Dandi terlihat kebingungan, ia menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian kembali memandangku.
“Anak kecil di sebelah rumahku tadi pagi manggil ayahnya ayay...”
Ia tidak melanjutkan perkataannya, terdiam beberapa saat kemudian membuka mulutnya lagi.
“Dia juga manggil ibunya bunbun, sekarang kita bukan yang pertama lagi”
“Kok bisa gitu, Dan?”
“Aku..”
Hadirin kebingungan melihat kami yang berdiam diri dan berbisik. Tania bahkan menggelengkan kepala berkali – kali melihat tingkah kami yang sudah mau menikah tapi masih saja bertingkah tak wajar.
“Kemarin malam aku minta anak itu panggil aku ayay, latihan, Af. Eh, dia keenakan, keterusan manggil ayahnya begitu malah jadi ketularan ke ibunya, maaf”
“Dandi! Nggak apa – apa, sungguh kamu kok bikin aku dag dig dug ser jos aw gini sih”
“Aku nggak enak, ngerasa bersalah, Af”
“Buruan sana bilang aku bersedia”
“Latihan dulu, Af”
“Aku bersedia”
“Bukan itu, Af”
“Apa?”
“Panggil ayay, Af”
“Dandi!”
“Aku bersedia, Bapak. Sekarang juga nikahkan aku dengan Af, Bapak. Sekarang!”
Mereka resmi menikah dengan ikatan janji suci selamanya sampai maut memisahkan dan bersiap untuk ciuman pernikahan mereka.
“Dan, bentar”
“Apaan, Af? Kenapa?”
Aku berlari meninggalkan Dandi dan menunda wedding kiss kami. Tania yang masih menggeleng kepala berdiri seolah sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Aku berlari dan terus berlari mengangkat gaunku selutut agar lebih mudah berlari.
“Tan!”
“Heu”

“Tutorial wedding kiss ala royal wedding, dong”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar