Dua,
ditambah kakinya dan milikku jadi enam, ditambah lengannya dan punyaku jadi
sepuluh, tambahan dua bola mata indahnya jadi dua belas, angka yang cantik. Tak
ada yang berbeda dari kami, hampir seluruh metabolisme tubuhnya bergantung pada
cairan, begitu pun aku. Tak ada yang kontras di antara kami selain dia yang
seorang wanita dan pacar ke-12 sahabatku di tahun ini, hanya di tahun ini saja.
Aku suka pada pacar ke-12 sahabatku, mungkin sebaiknya abaikan saja kisah ini.
Tak ada tukang tikung yang berakhir dengan nasib baik.
Senandungku
terhenti ketika Gert mematikan mesin motor dengan kasar dan tiba – tiba. Kenapa
lagi anak ini, aku melihat wajahnya merah padam dan tatapan matanya yang tajam.
Wanita. Apalagi yang sanggup membuatnya semurka ini selain perihal wanita. Gert
yang malang, buta akan nikmat Tuhan lainnya yang terang. Aku terus
memerhatikannya yang duduk di bangku teras, sibuk mencari sesuatu di di dalam
tas. Sebungkus Mojito tergeletak di atas meja setelah salah satu personilnya
diculik paksa untuk menghitamkan bibir dan paru – paru Gert.
“Scheiβe”
Asap
berhamburan. Kata pertama yang keluar dari mulut Gert adalah sebuah umpatan
yang biasa ia katakan setiap kali kesal pada apapun.
“Laura! Dumme Scheiβe! Hure!”
Asap
kembali keluar dengan riang dari mulutnya. Kalimat umpatan lengkap dengan
menyebut nama pacarnya dengan istilah sekasar itu, pastilah mereka bertengkar,
aku yakin sekali. Pasti mereka sudah putus. Jadi gadis kesebelas itu adalah
Laura. Tschüβ!
Gert
bukan pria yang akan begitu lama larut dalam sebuah hal, terutama masalah
wanita. Ia akan dengan mudah melupakan semua hal yang mengganggunya dan dengan
mudah pula mengantikan semua itu dengan hal baru yang jauh lebih menyenangkan
baginya, termasuk wanita. Walaupun begitu sesungguhnya ketahuilah, ia adalah
seorang yang berhati lembut di balik jaket kulit berduri. Aku kenal betul siapa
Gert, lima tahun cukup bagiku untuk mengetahui setiap jengkal yang terjadi di
hidupnya. Dengan bangga dan sedikit bahagia tapi tidak mengurangi rasa hormat
aku berani bersumpah, aku adalah sahabatnya yang paling setia, ke mana pun ia
pergi akan ada aku di sana, walaupun aku tak selalu nampak di dekatnya. Aku
yang selalu bersamanya kecuali jika pakaian dalam masuk hitungan.
Sudah
lama aku menemani Gert berjelajah mencari pelabuhan, pelabuhan hati. Tak butuh
waktu lama bagi Gert dengan wajah tampan dan saldo mapan untuk mencuri
perhatian wanita. Tak perlu lama – lama bersama seorang wanita dan tak perlu
lama – lama pula untuk mencari gantinya. Pilih saja sesuka hati maka dengan
cepat wanita itu jadi miliknya. Jangan salahkah Gert dan apalagi aku, tanyakan
saja mengapa wanita begitu mudah jatuh pada rayuan picisan pria, mengapa wanita
dengan mudah percaya pada obral janji pria, setidaknya gunakan banyak akal
daripada perasaan maka wanita akan tahu mana pria yang benar – benar peduli
padanya dan mana yang seperti Gert.
Musim
panas kemarin Gert merayakan Sommerfest di sepanjang Hauptstaβe selama
tiga hari dengan tiga wanita berbeda.
Rekor tercepatnya berkencan. Dan wanita kesebelas itu adalah Laura. Aku kira
Laura akan menjadi wanita kesebelasan penutup penjelajahan Gert. Karena sikap
Gert padanya sangat berbeda. Setiap hari ia selalu membawaku membeli hadiah
untuk Laura, Blumenstrauβ, Schokolade,
Teddy Bear, aku rasa kali ini Gert benar – benar jatuh cinta, bukan hanya
sekedar berlabuh, lalu pergi.
“Du kannst ja nicht verstehen”
Gert
benar aku memang tidak akan pernah mengerti dengan perubahan sikapnya, tapi aku
tetap menjadi sahabatnya, setidaknya selama ini ia tidak pernah melupakanku dan
selalu membawaku ke mana – mana, tunggu saja sampai ia benar – benar
meninggalkanku, aku lindas lidahnya. Laura ini benar – benar merubah Gert, aku sudah mengira bahwa Laura tempat terakhir
perjalanan kami dan aku sangat berharap bahwa aku benar, ayolah aku tidak
semuda dulu yang masih kuat menemani Gert setiap detik, aku sudah tua dan akan
dilebur pemerintah sebentar lagi. Biarkan aku istirahat menikmati sore hari
dari balik pagar rumah, sementara Gert melakukan apapun yang ia mau bersama
Laura. Mereka senang aku bahagia apalagi yang kurang. Adil sekali.
Namun,
rasanya aku masih harus menunggu untuk menikmati langit sore di rumah, entah
apa yang terjadi di antara mereka tapi nampaknya Gert sangat murka dan aku tak
berani berkomentar. Setidaknya sebentar
lagi Oktober, Gert pasti senang. Oktober berarti Oktoberfest, Bier, Bier, Bier,
apalagi. Sudah pasti akan ada banyak wanita dan Gert dengan mudah menunjuk satu
dari mereka. Tunggu, itu dulu, sekarang Gert berbeda, tadi saja asap sebungkus
Mojito mengepul di teras, ia tak pernah sedespresi ini. Laura! Kau cari mati
denganku.
Benar
saja! Gert berubah, ia tak segarang kucing liar lagi, ia lebih banyak diam dan
tak banyak bertingkah. Ini bukan Gert, apa yang terjadi dengan kawanku. Laura!
Dia harus bertanggung jawab. Yang bisa aku lakukan adalah bersabar hingga
Oktoberfest dimulai, sebentar lagi aku yakin, sembari menunggu anggap saja aku
menonton pertunjukan cinta dengan Gert sebagai tokoh utama yang sedang patah
hati.
Aku
kini lebih banyak berdiam diri di depan teras, Gert membiarkanku di luar dan
tidak membantuku berteduh di dalam, angin musim gugur mulai menggelitik
tubuhku. Ah, kawan! Ayolah!
Aku
rasa ini jawaban dari kesabaranku menunggu Gert di luar, mungkin anugerah dari
mana saja entahlah aku tidak peduli dari mana datangnya ini benar- benar
menakjubkan. Aku sering melihat wanita – wanita cantik berkeliaran di sekitar
rumah, namun yang ini, aku baru pertama kali melihatnya, pertama kali merasakan
panas tubuhku meningkat berkali lipat. Ia lebih cantik dari kesebelas wanita
Gert yang dulu, aku harap Gert tidak melihat wanita ini.
Senyumannya
bagai bunga yang mekar di tengah musim gugur, aku tak pernah melihat yang
seperti ini, apa ini yang sering Gert rasakan. Kawan, aku tahu sekarang
bagaimana rasanya. Wanita itu masih dapat aku lihat dengan jelas, sepatu kets
merah muda, blue jeans, tshirt putih dan rambut hitam yang dibiarkan terurai,
wajahnya manis, dari rambut hitam dan warna kulitnya aku tahu, dia pasti
keturunan Turki, menarik. Ia berjalan dengan cepat seperti kebanyakan orang
Jerman lainnya. Rasanya ingin aku memperlambat langkahnya, biarkan aku nikmati anugerah
ini. Gert jangan keluar rumah, aku mohon.
Sial!
Kenapa ia keluar.
Gert
menghampiriku, menyapaku ramah, mengecek tubuhku yang sudah lama kaku. Jangan
lihat ke kanan aku mohon, lihat saja tubuhku yang kurang cairan ini. Gert
menghidupkan mesin motornya, aku bersenandung namun sedikit sumbang, wajar saja
sudah lama aku tak mengeluarkan bunyi. Alis Gert sedikit berkerut mendengar
suaraku yang begitu tak enak masuk gendang telinga.
Kami
pergi ke sebuah toko roti langganan Gert, tidak terlalu jauh dari rumahnya
hanya saja Gert orang Jerman yang tidak kejerman-jermanan, ia malas berjalan
kaki dan lebih suka memintaku menemaninya, tidak, ia tak pernah memintaku ia
melakukan apapun sesuai keinginannya.
“Weissbrot, bitte. Und einen Kaffee”
Seperti
biasa ia gemar memakan roti gandum putih yang agak keras dengan secangkir kopi.
Dengan santai ia menikmati makanannya, lama sekali rasanya tidak menikmati
jalan – jalan bersamanya. Ah, tidak aku sedang tidak menikmati perjalanan ini,
aku takut Gert melihat wanita itu, tidak.
Ketika
kami hendak kembali pulang aku macet, ah apalagi ini, aku ingin segera pulang
sebelum Gert melihatnya. Ia mengecek mesin, tak ada yang salah katanya, ia
terus mencoba menghidupkan mesin motornya, berkali – kali dan terus gagal. Ayo
pulang aku tidak mau Gert melihat wanita itu. Gert terus mencoba sampai
akhirnya ia tetap saja gagal. Seorang pria dari kedai menghampiri kami.
“Was ist los?”
Tolong
kami, tolong bawa Gert secepatnya pulang sebelum melihat wanita itu.
“Mein Motorrad funktioniert nicht”
“Achso, darf ich mal?”
Pria
itu menghampiriku, mengecek seluruh tubuhku dan berhenti pada panah merah yang
sangat dekat dengan huruf e. Gert! Bensinnya habis, tanpa cairan itu mana
mungkin mesinnya hidup, aku memang buatan Jerman tapi bukan berarti tak butuh bensin. Gert
merasa malu pada pria dari kedai itu, mereka sedang asyik mengobrol ketika
seorang wanita yang tadi aku lihat keluar dari kedai menghampiri pria yang
sedang berbincang dengan Gert.
“Anna, hier ist Gert. Meine beste Gäste”
Namanya
Anna dan Gert kini bertemu dengan Anna, menjabat tangan Anna, tersenyum pada
Anna, berbincang dengan Anna, menatap Anna lagi lebih dalam, seperti mencari
sesuatu di mata Anna, ia masih terus menatap Anna sampai akhirnya tersadar
bunyi benda jatuh yang mengagetkan semua orang.
“Bruk!”
Aku jatuh,
tubuhku dan perasaanku. Aku tahu sebuah motor tak mungkin memiliki hati, tapi
aku dapat merasakan, merasakan Gert yang kembali cerah, merasakan Anna yang
sepertinya tertarik pada Gert, merasakan tubuhku yang lemas dan terjatuh. Tanpa
cairan bensin itu apalah aku, hanya akan berakhir dengan tumpukan debu di
garasi rumah. Tanpa kesempatan memandang langit sore apalagi memandang Anna,
tinggal tunggu waktu sampai dilebur. Motor tua dengan senandung knalpot khas
tahun 90an.
"Prost!"
Semua
yang hadir sibuk dengan Mass mereka
yang terisi penuh Bier, begitupun dengan
pasangan yang nampak bahagia bercanda tawa di dekat tumpukan jerami kering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar