Sabtu, 19 Juli 2014

Auseinander

Kesalahan terbesarku saat memutuskan memberi perhatian padanya, menggantungkan harapanku padanya yang bahkan kurang dari tiga bulan sejak aku melihatnya lagi di sudut meja kantin dengan sepiring kecil pie buah dan cappucino hangat yang buihnya tersisa di sekitar bibirnya. Kopi itu, kalau bukan karena mereka mungkin aku tak akan begini jadinya, berharap padanya yang sampai detik ini hanya menjadi si dia yang aku tak tahu namanya. Aku tak pernah lelah sungguh, hanya saja mungkin selama ini aku salah jalur, atau bahkan sejak awal sudah salah memulai.
Aku mengemasi barang – barangku dengan tingkat kemalasan luar biasa tinggi. Satu – satutshirt yang berwarna – warni itu terlipat rapi menumpuk di koperku, seperti pelangi. Yang terakhir adalah kerudung berwarna biru yang beberapa bulan belakangan ini selalu aku pakai. Kerudung ini telah begitu baik dan banyak membantuku walau akhirnya tetap saja nihil, tanpa hasil. Aku mengenakan kerudung itu, melihat model kerudung yang belakangan ini tak pernah aku rubah, demi sedikit saja mendapat perhatian darinya. Sudahlah setidaknya ada Pak Kasim yang menyadari kerudungku yang begini terus, hari ini aku harus pamit padanya, banyak sekali aku merepotkan pria itu.
Menemui Pak Kasim sama artinya dengan kembali ke tempat kursusku, menapaki kembali jalanan yang mengingatkanku pada pria itu, kuharap ia sedang tak ada di sana, aku bohong, aku berharap dia ada di sana, kami bertemu mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ini jadwal terakhir kursus, tak ada waktu lagi.
Pak Kasim sedang asyik duduk di taman ketika aku menemuinya, aku mengambil kursi yang bersebrangan dengannya. Kursi ini, pie buah di hadapanku, secangkir cappucino, membawaku pada alasan mengapa berat rasanya melangkah ke tempat ini.
Hari itu Jumat pertamaku melihatnya di tempat kursus, dengan penuh ragu aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mata ini mulai bertambah minus beberapa dioptri. Ah! Benar itu dia, kenapa bisa ada di sini, kebetulan yang terlalu kebetulan membuatku bahagia bisa melihatnya lagi. Aku berusaha mencuri perhatiannya dengan mencari meja yang tepat bersebrangan dengan dia yang sedang asyik menikmati secangkir cappucino dan pie buah yang begitu lembut ia kunyah disela – sela konsentrasinya membaca sebuah buku yang sampai saat ini masih aku ingat judulnya “Die Lieblingsgedichte Der Deutschen” karena aku baru saja mengembalikan buku itu pada Pak Kasim, pustakawan di tempat kursusku.
Aku menjatuhkan beberapa benda dengan menyenggol kotak pensilku yang sengaja dibiarkan terbuka agar isinya berjatuhan ke lantai menimbulkan suara gaduh dan mungkin saja dapat menarik perhatiannya dan bahkan dapat membuatnya sedikit saja melirikku dan sadar akan kehadiran wajah yang tak asing baginya. Namun, aku gagal. Hanya peralatan tulisku yang berhasil sesuai rencana menimbulkan suara gaduh dan berserakan di atas lantai.
“Kamu kapan berangkat?”
Pertanyaan Pak Kasim membuatku tersadar, daritadi aku hanya duduk dan lupa menyapanya.
“Nanti malam, Pak”
“Kenapa baru bilang sekarang, hati – hati, saya nggak akan lihat kerudung birumu ini lagi dong”
Pak Kasim, ia hapal betul aku tak pernah ganti kerudung semenjak Jumat pertamaku bertemu dengan pria cappucino itu. Aku kembali teringat kegagalanku di Jumat kedua. Saat itu dengan tekad bulat aku yakin setidaknya dia akan tahu bahwa kami satu tempat kursus. Aku sengaja mengenakan pakaian dengan cagaya casual, sama persis dengan minggu lalu. Aku memesan beberapa pie buah dan secangkir cappucino, membolak – balikan halaman buku dengan resah. Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi dan ia tidak keluar kelas. Sudahlah.

“Kamu mau pie buah?”
“Mau, Pak. Aku pesan sendiri, deh. Bapak mau tambah?”
“Enggak, terimakasih. Sudah kenyang”
“Sebentar, Pak”
Aku meninggalkan Pak Kasim dan melangkah menuju kantin. Taman ini cukup luas hanya aksesnya saja yang hanya satu jalur sehingga ke mana pun tujuannya, pasti melewati semua kelas, toilet dan kantin. Toilet itu, mengingatkanku pada kegagalan – kegagalan setelah Jumat waktu itu.
Jumat ketiga ini aku belum menyerah, sebelum pulang aku sengaja duduk – duduk manis di taman depan, taman yang pasti dilalui semua peserta yang masuk dan keluar tempat kursus. Kali ini posisiku strategis, mustahil gagal kecuali hari ini ia tidak masuk. Dan benar. Ia tidak masuk. Aku melangkah malas ke toilet, mencuci mukaku yang sudah lusuh. Sial sekali aku ini.
Kegagalan selanjutnya adalah Jumat terakhir di bulan pertama kuartal ini dan aku masih berusaha mencuri perhatiannya. Jumat ini sepertinya akhir bulanku yang malang, kenapa tidak. Saat dengan siap sedia aku menunggunya lewat entah mengapa tiba – tiba ada panggilan alam yang tak tertahankan sehingga saat aku kembali alhasil aku hanya menikmati punggungnya yang berjalan semakin menjauhiku, malang.
“Ini, Pak. Aku bawain pie sama secangkir teh, biar makin santai ngobrolnya”
“Merepotkan sekali, terimakasih”
“Kebalik, aku yang selalu ngerepotin”
“Saya masih ingat saat ramah tamah kemarin kamu malah duduk sendiri di pojokan, saya kira kamu sakit”
Pak Kasim ini perhatian sekali, mungkin karena umurnya yang memang sudah menginjak kepala 5 sehingga ia terasa begitu perhatian, seperti ayahku sendiri. Ah, dan ramah tamah itu, kegagalanku yang teramat menyakitkan.
Setelah satu bulan aku tidak bertemu dengannya, aku berharap lebih pada acara ini, aku berdandan semirip mungkin seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Aku menunggunya dengan gelisah dan tegang, aku sudah mempersiapkan berbagai strategi modus perkenalan. Sudah menjadi rahasia umum peserta kursus bahwa pasca ramah tamah ada pasangan baru yang bermunculan. Dan aku berharap ini giliranku. Sepanjang acara aku mencarinya namun nihil, mungkin dia sibuk sehingga tak sempat hadir. Aku hanya kecewa dan menghabiskan sisa acara ini dengan muka cemberut.
“Itu lagi nggak enak badan, Pak”
“Pantesan, sebentar saya tinggal dulu, ya. Saya ingin kasih kenang – kenangan untuk kamu biar inget terus tempat ini. Eh, apa kamu sudah pamit sama Alan? Kamu kan langganan kedai kopinya”
Tanpa perlu ia memberiku benda kenangan sudah banyak kenangan dari tempat ini, taman, kue pie, cappucino, buku yang aku dan pria itu pernah baca. Aku yang setengah mati keheran melihatnya duduk santai di kantin setelah rentetan kejadian menyebalkan sepanjang hari itu. Hari itu, hari pertamaku melihatnya. Semuanya berawal dari kedai kopi langgananku di sebelah tempat kursus, aku sering ke sana jika aku sedang penat.
Hari itu teramat kesal, temanku membatalkan janji dengan mendadak, promotorku sulit dihubungi, motor mogok dan jalanan yang macet. Aku mampir ke kedai kopi Alan untuk menenangkan diri. Aku yang diselimuti kesal dan marah kehilangan fokus sehingga tergelincir dan jatuh dengan cekatan seorang pria yang sedang duduk di mini bar menyimpan cangkir kopinya, membantuku dan berkata, “Lain kali hati – hati, Mbak”, aku yang dibantunya hanya bisa mengangguk malu karena pria yang sedari tadi aku perhatikan kini tepat berdiri di hadapanku, berjarak sepanjang ukuran kertas HVS A4. Pria ini adalah pria yang sama dengan pria yang tadi pagi membantuku menyebrang jalan, ternyata istilah dunia sempit itu memang benar adanya. Dan setelah kejadian itu aku bertemu dengannya lagi di kedai kopi, namun yang paling membuatku tekejut adalah saat melihatnya duduk di kantin dengan santai, rasanya dunia memang benar benar sempit seolah hanya untuk kami berdua.
“Sekalian pulang deh, Pak. Aku mampir ke sana”
“Oh gitu, sebentar saya ambil hadiah untukmu dulu, ya”
Giliran Pak Kasim yang meninggalkanku, aku menyeruput teh hijauku, hangat namun belum cukup menenangkan. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area taman, mungkin saja kali ini aku melihatnya. Aku melihat seorang gadis berambut panjang berjalan ke arahku, atau mungkin ia hendak menuju kantin. Gadis manis yang berwajah oriental. Gadis itu berjalan terburu – buru dengan barang bawaannya yang di dekap di dada. Sepertinya ia kesulitan dengan barang bawaanya itu, ia menabrak Pak Kasim yang berjalan berlawanan arah. Sepenggal kejadian tabrakan itu mengingatkanku pada gadis oriental yang menabrakku di kedai kopi Alan.
“Aw!”
“Maaf”
Gadis oriental itu segera meninggalkanku setelah maaf terucap dari mulutnya. Hanya maaf, untung wanita.
“Ini”
Pak Kasim memberiku gelang karet berwarna biru. Di atasnya ada tulisan nama tempat kursusku dengan cat putih. Sederhana namun Pak Kasim benar, ini akan mengingatkanku pada tempat kursus ini.
Vielen herzlichen Dank
Kami kembali berbincang layaknya seorang anak yang sedang menyimak pengalaman – pengalaman ayahnya.
“Di Jerman nanti harus mandiri, usah ngandelin orang lain. Mereka di sana …”
Aku memerhatikan nasihat dan sarannya dengan seksama sampai dengan konsentrasiku buyar saat melihat si wanita oriental yang tak asing mukanya berjalan bergandengan dengan pria yang aku nantikan. Semua perkataan Pak Kasim seolah menguap begitu saja bersamaan dengan hatiku yang entah mengapa sakit rasanya. Ah! Tangan mereka bergandengan, dengan gelang berliontin salib melingkar di lengan wanita itu. Namanya saja tidak tahu tapi aku sudah patah hati dibuatnya.
Saat mendengar ucapan Pak Kasim aku terkejut, Jerman? Apa mungkin ia akan terbang secepat ini. Aku mempererat genggamanku pada Mey dan mempecepat langkahku yang dengan sangat sulit Mey berusaha menyamainya.
“Sakit, Kak”
“Dia ke Jerman, Mey. Mungkinkah secepat ini?”
“Siapa?”
“Wanita yang tadi di taman, dengan Pak Kasim”
“Yang pake kerudung?”
“Iya”
“Dia Muslim, Kak”
Pernyataan Mey sejak pertama membantunya menyebrang sudah mengganggu pikiranku. Gadis berkerudung, muslim. Ditambah dengan kejadian di kedai kopi dan ternyata kami satu tempat kursus. Aku tahu saat kotak pensilnya jatuh dan isinya berserakan, rasanya ingin aku membantu, menjabat tangannya, dan berkata setidaknya, “Hi, ketemu lagi”. Bukan maksudku menghindarinya hanya saja aku tak tahu, apa yang harus aku lakukan. Sejak pertama melihatnya aku jatuh hati padanya. Aku bingung, tak tahu harus apa, aku menghindarinya bukan aku tak mau melihatnya hanya saja aku tak mau ia terluka, aku bisa apa nantinya. Ia berkerudung dan aku dengan adikku yang bergelang liontin salib. Biar Tuhannya dan Tuhanku yang memutuskan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar