Sabtu, 19 Juli 2014

Kisah Wanita dan Aroma di Hidupnya

Bagaimana agar aku menerima segala yang ada padanya. Aku sudah muak karenanya. Terlalu banyak kebusukannya yang kuendus, harus berapa banyak lagi, sudah cukup, aku tak sanggup meneruskannya.
Bagaimana bisa membedakan bebauan yang begitu beragam adanya. Aku bisa, setelah berlatih dengan mengendus kebusukannya bertahun – tahun lamanya.
Semua orang tahu apa fungsi cokelat. Makanan manis yang satu ini mengandung banyak manfaat walau terkadang orang salah paham dengan mengatakan bahwa ia penyebab kegemukan dan jerawat. Itu hanya saat ia dimakan berlebihan, bukankah segala yang berlebihan itu memang terbaik. Mencitai juga tak boleh berlebihan, atau nantinya sakit yang terasa semakin besar dan dalam.
Cokelat. Saat mencium wangi tubuhnya yang mengadopsi cokelat. Aku tahu ada satu busuk yang ia sembunyikan, yang telah ia lakukan. Sesuai fungsi cokelat untuk menenangkan. Ia menggunakan parfume aroma cokelat untuk membuatku tenang, membuatku mengendapkan amarah yang seharusnya dilluapkan kepadanya. Bagaimana mungkin aku tak marah jika aku memergokinya saling memanggil sayang dengan seseorang yang ia beri nama Frau L di kontak ponselnya. Bagaimana aku tak marah jika mereka berbagi emoticon titik dua bintang dan kurung kurawal.
Wanita mana yang tak cemburu mendapati prianya mengumbar emoticon dan kata – kata sayang kepada oranglain. Wanita mana yang tak akan marah, beri tahu aku agar aku tekankan padanya, bagaimana caranya marah. Tentu saja jika tanpa bantuan aroma cokelat di tubuh kekasihku pastilah aku sudah menghujamnya dengan belati amarahku.
Lain cokelat lain lavender. Mungkin ia kira aku ini nyamuk yang suka terbang di sekiatarnya. Mengusik dan mengganggu ketenangannya. Jika ia sedang ingin sendirian, entah apa yang ia lakukan, ia memakai parfum wangi lavender seperti pewangi ruangan. Aku tidak suka baunya. Mau tak mau aku akan menghindarinya dan menjaga jarak sejauh mungkin agar tidak mencium tubuhnya yang wangi lavender. Memerhatikannya dari jauh, dia  yang sibuk dengan ponselnya dan senyum – senyum menggemaskan sendirian. Dia sedang apa.
Aku selalu mengeluh mengenai kamarnya. Segala macam bebauan bercampur menjadi satu. Banyak sekali sumber bau yang ia simpan di kamarnya. Kaos kaki yang berserakan, pakaian basah, pakaian yang digantung entah sudah berapa lama, asbak, asbak lagi, dan masih ada asbak ketiga yang berantakan di kamarnya, belum lagi bau lembab dan debu yang di mana – mana. Tanpa kompromi sudah pasti aku tak mau lagi masuk ke dalamnya. Baru selangkah dari pintu saja hidungku sudah gatal dan mampet seketika. Jangan tanyakan berapa kali aku bersin – bersin karenanya. Setiap detik!
Ada banyak cara yang ia lakukan untuk menghindar dariku. Banyak aroma yang ia miliki agar membuatku menjauh dan memberinya ruang gerak yang sangat luas. Seharusnya kami berjuang bersama. Bukan aku yang terus merapat tetapi dia menjauh. Seharusnya kami berusaha bersama, bukan aku yang terkesan seperti mengejar – ngejar dia. Soal perjodohan ini seharusnya kami tangani bersama. Aku tak mau mengecewakan orang tuaku karena itu aku berusaha menerimanya dan segala aroma tubunnya.

Namun, yang ia lakukan berbanding terbalik dengan apa yang selama ini aku usahakan. Sejak awal kami mengetahui perjodohan ini dan sampai dengan tahun kedua kami berpura – pura mengiyakan segala keputusan orangtua kami, tetap saja tak ada usaha darinya yang memperlancar hubungan ini. Aku sama seperti dia yang tidak setuju dengan perjodohan, memangnya ini zaman dewa – dewi.  Aku memilih menjalani masalah ini dengan landasan patuh pada orangtua. Aku ini perawan yang nyaris tua, karierku bagus dengan jabatan yang sekarang aku tempati. Hanya saja itu tak cukup bagi kedua orangtuaku. Mereka ingin aku menikah, lebih tepatnya ingin memiliki cucu dari anak tunggal mereka.
Aku sadar ada hal yang tak bisa dibeli dengan uang yang melimpah. Karena itu, aku mengiyakan perjodohan ini dan berusaha menerima pria yang sama sekali tak pernah aku bayangkan jenisnya nyata di muka bumi ini. Aroma tubuhnya yang terkadang membuatku nyaman dan betah berlama – lama di dekatnya juga terkadang membuatku menjaga jarak sejauh mungkin dengannya. Ia sungguh pria yang sangat kekanak – kanakan untuk usianya yang sudah dapat dikategorikan dewasa.
Satu hal darinya yang aku sedikit suka adalah wangi parfum kegemarannya. Parfum itu mengingatkanku pada Alan. Alan yang dijemput hujan lima tahun lalu. Saat kami sama – sama menyelesaikan magister kami. Alan yang janji akan meminangku, namun tak pernah terwujud hingga detik ini. Aku tak menyalahkan Tuhan apalagi Alan. Bukankah takdir yang sudah ditulis memang harus terlaksana, suka ataupun tidak, memang begitu adanya.
Kisah Alan denganku berakhir saat rintik terakhir hujan di bulan September turun dan menambah volume genangan air. Saat itu aku dan Alan sedang berteduh di sebuah kios pinggir jalan yang menjual aneka jenis jus buah – buahan. Saat itu aku dan Alan memilih tempat berteduh yang salah. Bukannya menghangatkan tubuh kami malah membeli minuman dingin. Sembari menunggu hujan reda Alan memberiku beberapa teori yang kurasa itu dibuatnya sendiri setelah riset seumur hidupnya.
“Kamu tahu apa aroma buah mangga?”
“Aroma mangga, emang ada namanya?”
“Enggak ada namanya, sih. Tapi, coba deh kamu cium”, kata Alan sembari meminta sebuah mangga pada penjual jus dan mengupas kulitnya. Aku mencium aromanya, mangga. Aku tak mengerti apa yang dimaksud Alan.
“Sekarang kamu cium yang mangga yang muda”
Aku menurut saja apa katanya. Lebih baik ikut permainannya daripada melamun memerhatikan rintik hujan yang terjun dengan cepat dari langit.
“Ada bedanya?”
“Yang satu muda yang satu mateng, aromanya, hmmm... ya gitu, yang muda emang gitu ciri khasnya, kan , yang mateng juga sama...”
“Iya, kamu bener, muda atau mateng ada aromanya masing – masing. Ini yang mau aku bilang sama kamu, kenapa mereka bisa  punya beda aroma padahal sesama mangga”

Alan menjelaskan teorinya soal aroma buah mangga muda dan matang. Menurutnya kenapa aroma mangga muda seperti itu karena ia ingin menunjukkan dirinya yang masih segar dan muda, sehingga ketika orang mencium aromanya, seolah teringat akan kehidupan masa muda yang menyegarkan, namun jangan lupakan asam yang tercium di balik aroma segarnya itu. Karena di masa muda, orang memiliki semangat yang menggebu sehingga banyak asam – asam kehidupan yang akan mereka hadapi.
Sebaliknya dengan mangga matang, aromanya seolah mengingatkan bahwa jika semasa muda kita berhasil menjalani kehidupan dengan sebagaimana mestinya maka di hari tua kelak, seperti aroma mangga matang yang siap lahap, mereka tingga menuai hasil yang memuaskan.
Aku merasa teori Alan ini sedikit memaksa, namun aku tak mau mengecewakannya yang sudah dengan susah payah merancang teori aroma mangga ini. Aku mengangguk tanda paham akan pemaparannya. Alan terlihat bahagia melihat senyumku, ia meraih tanganku kiriku, menggenggamnya hangat. Alis mataku merunduk, Alan tersenyum melihatnya, kemudian ia merangkul bahuku dan membuat kepalaku bersandar dengan nyaman di bahunya.
Aku suka wangi parfum Alan, walaupun ia mengaku parfumnya hanya sekadar parfum pinggir jalan. Wanginya menenangkan dan memberikan kesan bahwa ia begitu dewasa dan macho. Wangi parfumnya dikombinasikan dengan wangi tubuhnya sehabis mandi, membuatku betah berlama – lama di pelukannya.
“CK Bee 22”
Tanpa mendengar pertanyaanku secara otomatis Alan selalu mempromosikan merk parfumnya.
Kami bertahan dengan lamunan masing – masing pada posisi aku yang masih bersandar di bahunya. Hujan pun reda, dengan semangat Alan bangkit dan menggerakan badannya ke kanan dan ke kiri. Dengan semangat pula ia segera menuju motornya yang sudah basah kuyup, mengelap joknya yang basah dan kemudian terpental entah seberapa meter jauhnya.
Saat Alan sedang mengelap jok motornya, tiba – tiba saja sebuah bus biru besar menendangnya, ban bu tersebut salip dan menabrak Alan yang sedang bediri di pinggir jalan. Alan kehilangan banyak darah dan meninggal di perjalanan menuju rumah sakit.
Aku kaget, sedih, kecewa dan tentu saja marah. Baru tadi pagi Alan menjemputku ke rumah dan memberiku cincin tanda ia serius melanjutkan hubungan kami. Semenjak itu aku benci pada tetes hujan. Aku benci saat mencium wanginya yang membasahi tanah kering. Aku selalu ingat Alan dan pernikahan kami yang tak pernah terjadi.

...

“Kamu kenapa, Nak? Ingat Alan?”
“Iya, Bu”
“Alan pasti bahagia melihatmu sekarang, ia juga pasti senang kalau kamu melanjutkan hidupmu walau kalian nggak sama – sama lagi”
“Aku rindu Alan, Bu. Aku ingin dia, ingin bersama dia”
“Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa membantu banyak, ibu hanya bisa mencarikanmu pasangan hidup yang lain”
Aku memeluk ibu dengan erat. Air mataku berlinangan. Tercium aroma melati yang sangat kuat. Terang saja, seisi kamarku kini penuh dengan hiasan bunga melati. Bahkan aku pun saat ini mengenakan mahkota bertahtakan melati. Aku berjalan bersama ibu keluar kamar, melirik kasurku yang kini ditaburi bunga melati. Ada buah mangga yang tersimpan di atas meja dekat kasurku. Aku yang meminta ibu tukang rias untuk menyimpan mangga itu di sana.
Alan, semoga kamu tenang di sisi-Nya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar