Bagaimana agar
aku menerima segala yang ada padanya. Aku sudah muak karenanya. Terlalu banyak
kebusukannya yang kuendus, harus berapa banyak lagi, sudah cukup, aku tak
sanggup meneruskannya.
Bagaimana bisa
membedakan bebauan yang begitu beragam adanya. Aku bisa, setelah berlatih dengan
mengendus kebusukannya bertahun – tahun lamanya.
Semua orang
tahu apa fungsi cokelat. Makanan manis yang satu ini mengandung banyak manfaat
walau terkadang orang salah paham dengan mengatakan bahwa ia penyebab kegemukan
dan jerawat. Itu hanya saat ia dimakan berlebihan, bukankah segala yang
berlebihan itu memang terbaik. Mencitai juga tak boleh berlebihan, atau
nantinya sakit yang terasa semakin besar dan dalam.
Cokelat. Saat
mencium wangi tubuhnya yang mengadopsi cokelat. Aku tahu ada satu busuk yang ia
sembunyikan, yang telah ia lakukan. Sesuai fungsi cokelat untuk menenangkan. Ia
menggunakan parfume aroma cokelat untuk membuatku tenang, membuatku mengendapkan
amarah yang seharusnya dilluapkan kepadanya. Bagaimana mungkin aku tak marah
jika aku memergokinya saling memanggil sayang dengan seseorang yang ia beri
nama Frau L di kontak ponselnya. Bagaimana aku tak marah jika mereka berbagi
emoticon titik dua bintang dan kurung kurawal.
Wanita mana yang
tak cemburu mendapati prianya mengumbar emoticon dan kata – kata sayang kepada
oranglain. Wanita mana yang tak akan marah, beri tahu aku agar aku tekankan
padanya, bagaimana caranya marah. Tentu saja jika tanpa bantuan aroma cokelat
di tubuh kekasihku pastilah aku sudah menghujamnya dengan belati amarahku.
Lain cokelat
lain lavender. Mungkin ia kira aku ini nyamuk yang suka terbang di sekiatarnya.
Mengusik dan mengganggu ketenangannya. Jika ia sedang ingin sendirian, entah
apa yang ia lakukan, ia memakai parfum wangi lavender seperti pewangi ruangan.
Aku tidak suka baunya. Mau tak mau aku akan menghindarinya dan menjaga jarak
sejauh mungkin agar tidak mencium tubuhnya yang wangi lavender. Memerhatikannya
dari jauh, dia yang sibuk dengan
ponselnya dan senyum – senyum menggemaskan sendirian. Dia sedang apa.
Aku selalu mengeluh
mengenai kamarnya. Segala macam bebauan bercampur menjadi satu. Banyak sekali
sumber bau yang ia simpan di kamarnya. Kaos kaki yang berserakan, pakaian
basah, pakaian yang digantung entah sudah berapa lama, asbak, asbak lagi, dan
masih ada asbak ketiga yang berantakan di kamarnya, belum lagi bau lembab dan
debu yang di mana – mana. Tanpa kompromi sudah pasti aku tak mau lagi masuk ke
dalamnya. Baru selangkah dari pintu saja hidungku sudah gatal dan mampet
seketika. Jangan tanyakan berapa kali aku bersin – bersin karenanya. Setiap
detik!
Ada banyak
cara yang ia lakukan untuk menghindar dariku. Banyak aroma yang ia miliki agar
membuatku menjauh dan memberinya ruang gerak yang sangat luas. Seharusnya kami
berjuang bersama. Bukan aku yang terus merapat tetapi dia menjauh. Seharusnya
kami berusaha bersama, bukan aku yang terkesan seperti mengejar – ngejar dia.
Soal perjodohan ini seharusnya kami tangani bersama. Aku tak mau mengecewakan
orang tuaku karena itu aku berusaha menerimanya dan segala aroma tubunnya.
Namun, yang ia
lakukan berbanding terbalik dengan apa yang selama ini aku usahakan. Sejak awal
kami mengetahui perjodohan ini dan sampai dengan tahun kedua kami berpura –
pura mengiyakan segala keputusan orangtua kami, tetap saja tak ada usaha
darinya yang memperlancar hubungan ini. Aku sama seperti dia yang tidak setuju
dengan perjodohan, memangnya ini zaman dewa – dewi. Aku memilih menjalani masalah ini dengan
landasan patuh pada orangtua. Aku ini perawan yang nyaris tua, karierku bagus
dengan jabatan yang sekarang aku tempati. Hanya saja itu tak cukup bagi kedua
orangtuaku. Mereka ingin aku menikah, lebih tepatnya ingin memiliki cucu dari anak
tunggal mereka.
Aku sadar ada
hal yang tak bisa dibeli dengan uang yang melimpah. Karena itu, aku mengiyakan
perjodohan ini dan berusaha menerima pria yang sama sekali tak pernah aku
bayangkan jenisnya nyata di muka bumi ini. Aroma tubuhnya yang terkadang
membuatku nyaman dan betah berlama – lama di dekatnya juga terkadang membuatku
menjaga jarak sejauh mungkin dengannya. Ia sungguh pria yang sangat kekanak –
kanakan untuk usianya yang sudah dapat dikategorikan dewasa.
Satu hal
darinya yang aku sedikit suka adalah wangi parfum kegemarannya. Parfum itu
mengingatkanku pada Alan. Alan yang dijemput hujan lima tahun lalu. Saat kami
sama – sama menyelesaikan magister kami. Alan yang janji akan meminangku, namun
tak pernah terwujud hingga detik ini. Aku tak menyalahkan Tuhan apalagi Alan.
Bukankah takdir yang sudah ditulis memang harus terlaksana, suka ataupun tidak,
memang begitu adanya.
Kisah Alan
denganku berakhir saat rintik terakhir hujan di bulan September turun dan
menambah volume genangan air. Saat itu aku dan Alan sedang berteduh di sebuah kios
pinggir jalan yang menjual aneka jenis jus buah – buahan. Saat itu aku dan Alan
memilih tempat berteduh yang salah. Bukannya menghangatkan tubuh kami malah
membeli minuman dingin. Sembari menunggu hujan reda Alan memberiku beberapa
teori yang kurasa itu dibuatnya sendiri setelah riset seumur hidupnya.
“Kamu tahu apa
aroma buah mangga?”
“Aroma mangga,
emang ada namanya?”
“Enggak ada
namanya, sih. Tapi, coba deh kamu cium”, kata Alan sembari meminta sebuah
mangga pada penjual jus dan mengupas kulitnya. Aku mencium aromanya, mangga.
Aku tak mengerti apa yang dimaksud Alan.
“Sekarang kamu
cium yang mangga yang muda”
Aku menurut
saja apa katanya. Lebih baik ikut permainannya daripada melamun memerhatikan
rintik hujan yang terjun dengan cepat dari langit.
“Ada bedanya?”
“Yang satu
muda yang satu mateng, aromanya, hmmm... ya gitu, yang muda emang gitu ciri
khasnya, kan , yang mateng juga sama...”
“Iya, kamu
bener, muda atau mateng ada aromanya masing – masing. Ini yang mau aku bilang
sama kamu, kenapa mereka bisa punya beda
aroma padahal sesama mangga”
Alan
menjelaskan teorinya soal aroma buah mangga muda dan matang. Menurutnya kenapa
aroma mangga muda seperti itu karena ia ingin menunjukkan dirinya yang masih
segar dan muda, sehingga ketika orang mencium aromanya, seolah teringat akan
kehidupan masa muda yang menyegarkan, namun jangan lupakan asam yang tercium di
balik aroma segarnya itu. Karena di masa muda, orang memiliki semangat yang
menggebu sehingga banyak asam – asam kehidupan yang akan mereka hadapi.
Sebaliknya
dengan mangga matang, aromanya seolah mengingatkan bahwa jika semasa muda kita
berhasil menjalani kehidupan dengan sebagaimana mestinya maka di hari tua
kelak, seperti aroma mangga matang yang siap lahap, mereka tingga menuai hasil
yang memuaskan.
Aku merasa
teori Alan ini sedikit memaksa, namun aku tak mau mengecewakannya yang sudah
dengan susah payah merancang teori aroma mangga ini. Aku mengangguk tanda paham
akan pemaparannya. Alan terlihat bahagia melihat senyumku, ia meraih tanganku
kiriku, menggenggamnya hangat. Alis mataku merunduk, Alan tersenyum melihatnya,
kemudian ia merangkul bahuku dan membuat kepalaku bersandar dengan nyaman di
bahunya.
Aku suka wangi
parfum Alan, walaupun ia mengaku parfumnya hanya sekadar parfum pinggir jalan.
Wanginya menenangkan dan memberikan kesan bahwa ia begitu dewasa dan macho.
Wangi parfumnya dikombinasikan dengan wangi tubuhnya sehabis mandi, membuatku
betah berlama – lama di pelukannya.
“CK Bee 22”
Tanpa
mendengar pertanyaanku secara otomatis Alan selalu mempromosikan merk
parfumnya.
Kami bertahan
dengan lamunan masing – masing pada posisi aku yang masih bersandar di bahunya.
Hujan pun reda, dengan semangat Alan bangkit dan menggerakan badannya ke kanan
dan ke kiri. Dengan semangat pula ia segera menuju motornya yang sudah basah
kuyup, mengelap joknya yang basah dan kemudian terpental entah seberapa meter
jauhnya.
Saat Alan
sedang mengelap jok motornya, tiba – tiba saja sebuah bus biru besar
menendangnya, ban bu tersebut salip dan menabrak Alan yang sedang bediri di
pinggir jalan. Alan kehilangan banyak darah dan meninggal di perjalanan menuju
rumah sakit.
Aku kaget,
sedih, kecewa dan tentu saja marah. Baru tadi pagi Alan menjemputku ke rumah
dan memberiku cincin tanda ia serius melanjutkan hubungan kami. Semenjak itu
aku benci pada tetes hujan. Aku benci saat mencium wanginya yang membasahi
tanah kering. Aku selalu ingat Alan dan pernikahan kami yang tak pernah
terjadi.
...
“Kamu kenapa,
Nak? Ingat Alan?”
“Iya, Bu”
“Alan pasti
bahagia melihatmu sekarang, ia juga pasti senang kalau kamu melanjutkan hidupmu
walau kalian nggak sama – sama lagi”
“Aku rindu
Alan, Bu. Aku ingin dia, ingin bersama dia”
“Maafkan ibu,
Nak. Ibu tak bisa membantu banyak, ibu hanya bisa mencarikanmu pasangan hidup
yang lain”
Aku memeluk
ibu dengan erat. Air mataku berlinangan. Tercium aroma melati yang sangat kuat.
Terang saja, seisi kamarku kini penuh dengan hiasan bunga melati. Bahkan aku
pun saat ini mengenakan mahkota bertahtakan melati. Aku berjalan bersama ibu
keluar kamar, melirik kasurku yang kini ditaburi bunga melati. Ada buah mangga
yang tersimpan di atas meja dekat kasurku. Aku yang meminta ibu tukang rias
untuk menyimpan mangga itu di sana.
Alan, semoga
kamu tenang di sisi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar