Jumat, 18 Juli 2014

Albertina

Albertina, tak usah menunggu, aku mencintaimu, sungguh.         
Hari ini pun tiba, yang ia nantikan, tentu saja. Aku bisa lihat wajahnya yang begitu bahagia dan sumringah, bagai mawar yang sedang merekah. Albertina, aku bahagia melihat senyummu, sungguh. Hanya hatiku saja yang sedikit kelu, sisanya tak perlu khawatir seutuhnya aku padamu.
Melihat Albertina sebahagia ini aku mulai membenarkan apa yang orang – orang katakan, aku bahagia melihat orang yang aku sayang bahagia, sungguh sangat bahagia, tak usah hiraukan rasa sakit di hatiku, hanya mengganggu saja.  Aku tak mau mengganggu pesta pernikahan yang indah ini.
Pagi sekali ia bangun dengan mata birunya yang terlihat segar, ia tersenyum padaku, manis. Suara pintu kamarnya yang diketuk berkali – kali mendorongnya untuk segera mandi. Tak perlu waktu yang begitu lama sampai aku dapat melihat riasan di wajahnya yang begitu sederhana, lembut namun tidak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Albertina, ia selalu cantik setiap saat.
Belum habis rasa takjubku, Albertina yang kini berdiri di hadapan cermin lengkap dengan gaun pengantin putihnya terlihat begitu menawan, sungguh ia bagai seorang cinderella di akhir cerita yang siap menikah dengan pangeran tampan berkuda putih. Walaupun pada kenyataannya ia hanya akan menikahi seorang Paul ber-porsche, bukan kuda putih namun tetap tampan, aku jamin.
Dalam kisah ini sebut saja aku tokoh antagonis yang tak berbalas budi, Paul yang memperkenalkan aku pada Albertina lima tahun silam dan kini aku jatuh hati pada calon istri dari sahabatku, mafkan aku, Paul. Tapi tak usah khawatir, sudah kubilang hanya hatiku saja  yang kelu sisanya kujamin takakan dan yang akan menghambat pesta pernikahan ini, termasuk aku yang sungguh sangat rela dan takakan macam – macam.
“Trachten, wie findest du?”
Aku rasa tatapan mataku yang berbinar ini saja sudah sanggup menjawab pertanyaannya. Andai aku temukan satu kata yang merangkum cantik, menawan, memesona, luar biasa. Ah, sempurna. Ia selalu terlihat sempurna setiap saat.
“Weisst du, ich bin sehr froh total froh, Trachten”
Aku tahu Albertina, aku pun sama bahagianya, melihat pengantin wanita sesempurna ini menjadi pendamping hidup sahabatku. Setidaknya aku menjadi bagian dari pendampingnya walau hanya sampai ke altar. Kehormatan bagiku, sungguh.
Aku jadi teringat saat pertama kali Paul mengajakku bertemu kawannya, awalnya aku mengira kami akan berkumpul bersama  sekelompok pria yang gemar bermain bola sepertiku, kenyataannya ia malah membawaku ke sebuah taman, membawaku menemui seorang wanita  berambut pirang sebahu  yang sedang duduk manis di bangku taman, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, ia sedang asyik membaca sebuah buku ketika kami datang dan mengejutkannya. 
“Überrasch”
Wanita itu terkejut, meninggalkan bukunya dan balik menatap kami, ia tidak marah justru tersenyum melihat ke arah kami, ia segera bangkit dari duduknya memeluk Paul erat, gaun putih selututnya tertiup angin penanda musim gugur. Mereka berpelukan selayaknya dua merpati yang lama terpisahkan, sementara aku masih tertegun melihat wanita itu, cantik. Aku jatuh hati pada pacar sahabatku. Mereka terlihat bahagia dan nyaman dalam pelukan rindu lama tak bertemu sementara aku tertimpa daun pertama yang gugur di bulan September.
Ini tidak benar. Paul menjadi lebih sering mengajakku pergi bersama Albertina, wanita bergaun putih di taman itu adalah Albertina, pacar sahabatku dan aku jatuh hati padanya. Sudah kubilang aku tokoh antagonis di sini, tapi tenang saja aku tak pernah macam – macam. Albertina semakin hari semakin menarik, ia sangat perhatian, ia senang mengajakku piknik di taman, terkadang kami bertiga namun Paul lebih sering absen dan alhasil kami berdua – aku dan Albertina menikmati musim gugur bersama, dingin namun tenang saja aku dapatkan menghangatkan Albertina. Tidak, jangan berpikir macam – macam, sungguh aku tidak berbuat yang aneh. Aku dan Paul bersahabat sejak kecil, aku tak mungkin mengkhianatinya.
Tibalah hari itu di mana aku benar – benar khawatir pada Albertina dan sungguh aku rela menukarkan apapun dalam diriku untuk Albertina. Malam itu Paul meninggalkanku di rumah Albertini karena ia harus mengurusi berbagai hal untuk sebuah pameran buku terbesar di Frankfurt. Tinggalah aku bersama Albertina berdua. Awalnya Albertina seperti biasa terlihat bugar dan cantik, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepeninggal Paul, tiba – tiba ia jatuh pingsan di balik pintu, aku mendekati tubuhnya yang terkapar lemas di dekat tangga, panas sekali. Tubuhnya begitu panas, mengapa ia tak katakan ini pada Paul, pantas saja ia menolak pelukan selamat tinggal dari Paul.
Aku memanggil namanya terus – menerus, namun ia tetap tak sadarkan diri. Di rumah ini hanya ada aku dan dia, tak ada orang lain, aku harus bagaimana. Aku berlari keluar mencari lampu rumah tetangga yang masih menyala, untunglah keluarga di seberang sana masih terjaga , aku segera berlari menuju mereka. Awalnya mereka sama sekali tak mengerti apa maksudku, aku berusaha menjelaskan sejelas yang aku bisa, nihil. Sampai akhirnya anak perempuan keluarga itu datang menghampiriku. Ia memandang ke arahku seolah mengerti apa yang aku katakan. Ia memandang kalung yang aku kenakan.
“Papa, Tante Albertina!”
Pria yang dipanggil papa itu segera bergegas menuju rumah Albertina, aku dan anak perempuan itu mengikutinya di belakang. Pria itu segera membawa Albertina ke rumah sakit, aku tak tahu apa yang terjadi padanya, aku sangat sedih melihatnya sungguh tak berdaya seperti itu, aku rela kami bertukar posisi, lebih baik aku yang menderita, jangan dia.
Semenjak kejadian dramatis itu aku tinggal di rumah Albertina, mendapat mandat dari Paul untuk menjaga pacarnya itu. Aku senang, tentu saja. Tenang aku tetap takakan macam – macam.
Jadilah kini aku tinggal bersama Albertina sampai di hari pernikahannya, hari – hari yang kami lalui bersama sungguh membahagiakan, Albertina memperlakukanku dengan baik, walau ia tak menganggapku di atas Paul. Bisa bersamanya setiap saat saja aku sudah senang, tak perlu muluk – muluk menggantikan Paul. Aku cukup begini saja. Mencintainya dalam diam, tak perlu ada yang tahu biar aku nikmati saja sendirian, selagi bisa.
“Trachten, komm!”
Seruannya melebur lamunanku. Aku segera mengikutinya menuju taman belakang rumah, altar yang indah terlihat jelas dari sini, bersama Paul yang sedang berdiri dengan gagahnya di dalam balutan jas hitam. Mereka sangat serasi, sungguh. Pasangan mana yang tak terlihat bahagia di hari pernikahan mereka, Albertina dan Paul terlihat sangat menawan dan lebih dari bahagia, aku iri namun aku bahagia, namun tetap saja iri dan takakan berbuat hal macam – macam.
Aku mengikuti langkah Albertina dari belakang, seorang pianis di depan sana mulai memainkan instrument khas pernikahan, indah sekali. Para tamu berdiri menyambut kedatangan kami dan terkagum – kagum melihat Albertina yang begitu cantik berjalan dengan anggun menujur altar. Tak hanya sampai di situ, mereka masih takjub melihat anak –anak husky yang begitu menggemaskan mengiringi langkah Albertina dengan aku sebagai pemimpin mereka. Hanya aku husky abu – abu putih peliharaan Albertina dan Paul, sisanya husky – husky dari penampungan hewan tempat Albertina berkerja.
Tibalah saat yang dinanti – nanti, kedua insan yang berbahagia ini resmi sudah terikat pada janji suci selamanya untuk selalu saling mencintai, melindungi, mengasihi sampai ajal memisahkan mereka. Albertina menangis haru, sementara aku menangis pilu, hatiku. Albertina sedang siap – siap melemparkan Blumenstrauβ ketika anak perempuan dari keluarga di seberang rumah kami berteriak.
“Trachten!”
Albertina membalikan badan, tak lagi memunggungi para undangan. Ia melihatku yang terbaring lemas jauh darinya. Ia melepaskan pegangan tangan Paul, berlari ke arahku yang masih menguasai seperemat dari kesadaran tubuhku. Aku melihat wanita cantik itu berlari dengan wajah cemas ke arahku, gaun putihnya terangkat hampir selutut, membuatnya lebih mudah bergerak. Albertina.
“Trachten, was ist denn passiert? Bist du okay?”
Aku tak apa – apa sungguh, hanya hatiku saja yang pilu. Sudah lama mengalami kegagalan fungsi hati. Ini lah kesempatan terakhirku, senang melihat orang yang aku cinta berbahagia di hari terakhirku membuka mata. Albertina, ich liebe dich.
“Guk...Guk...Guk”

Tak tahu apa yang kemudian terjadi, yang aku lihat hanya Albertina yang menangis di pelukan Paul dengan Blumenstrauβ yang seharusnya ia lemparkan saat pernikahan. Mereka berdua berdiri di samping kuburanku, anak perempuan itu pun ada. Terimakasih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar