Albertina, tak usah menunggu, aku mencintaimu, sungguh.
Hari ini pun tiba, yang ia nantikan, tentu saja. Aku bisa
lihat wajahnya yang begitu bahagia dan sumringah, bagai mawar yang sedang
merekah. Albertina, aku bahagia melihat senyummu, sungguh. Hanya hatiku saja
yang sedikit kelu, sisanya tak perlu khawatir seutuhnya aku padamu.
Melihat Albertina sebahagia ini aku mulai membenarkan apa
yang orang – orang katakan, aku bahagia melihat orang yang aku sayang bahagia,
sungguh sangat bahagia, tak usah hiraukan rasa sakit di hatiku, hanya mengganggu
saja. Aku tak mau mengganggu pesta
pernikahan yang indah ini.
Pagi sekali ia bangun dengan mata birunya yang terlihat
segar, ia tersenyum padaku, manis. Suara pintu kamarnya yang diketuk berkali –
kali mendorongnya untuk segera mandi. Tak perlu waktu yang begitu lama sampai
aku dapat melihat riasan di wajahnya yang begitu sederhana, lembut namun tidak
sedikit pun mengurangi kecantikannya. Albertina, ia selalu cantik setiap saat.
Belum habis rasa takjubku, Albertina yang kini berdiri di
hadapan cermin lengkap dengan gaun pengantin putihnya terlihat begitu menawan,
sungguh ia bagai seorang cinderella di akhir cerita yang siap menikah dengan
pangeran tampan berkuda putih. Walaupun pada kenyataannya ia hanya akan
menikahi seorang Paul ber-porsche, bukan kuda putih namun tetap tampan, aku
jamin.
Dalam kisah ini sebut saja aku tokoh antagonis yang tak
berbalas budi, Paul yang memperkenalkan aku pada Albertina lima tahun silam dan
kini aku jatuh hati pada calon istri dari sahabatku, mafkan aku, Paul. Tapi tak
usah khawatir, sudah kubilang hanya hatiku saja
yang kelu sisanya kujamin takakan dan yang akan menghambat pesta
pernikahan ini, termasuk aku yang sungguh sangat rela dan takakan macam –
macam.
“Trachten,
wie findest du?”
Aku rasa tatapan mataku yang berbinar ini saja sudah
sanggup menjawab pertanyaannya. Andai aku temukan satu kata yang merangkum
cantik, menawan, memesona, luar biasa. Ah, sempurna. Ia selalu terlihat
sempurna setiap saat.
“Weisst
du, ich bin sehr froh total froh, Trachten”
Aku tahu Albertina, aku pun sama bahagianya, melihat
pengantin wanita sesempurna ini menjadi pendamping hidup sahabatku. Setidaknya
aku menjadi bagian dari pendampingnya walau hanya sampai ke altar. Kehormatan
bagiku, sungguh.
Aku jadi teringat saat pertama kali Paul mengajakku
bertemu kawannya, awalnya aku mengira kami akan berkumpul bersama sekelompok pria yang gemar bermain bola
sepertiku, kenyataannya ia malah membawaku ke sebuah taman, membawaku menemui
seorang wanita berambut pirang
sebahu yang sedang duduk manis di bangku
taman, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, ia sedang asyik membaca
sebuah buku ketika kami datang dan mengejutkannya.
“Überrasch”
Wanita itu terkejut, meninggalkan bukunya dan balik
menatap kami, ia tidak marah justru tersenyum melihat ke arah kami, ia segera
bangkit dari duduknya memeluk Paul erat, gaun putih selututnya tertiup angin
penanda musim gugur. Mereka berpelukan selayaknya dua merpati yang lama
terpisahkan, sementara aku masih tertegun melihat wanita itu, cantik. Aku jatuh
hati pada pacar sahabatku. Mereka terlihat bahagia dan nyaman dalam pelukan
rindu lama tak bertemu sementara aku tertimpa daun pertama yang gugur di bulan September.
Ini tidak benar. Paul menjadi lebih sering mengajakku
pergi bersama Albertina, wanita bergaun putih di taman itu adalah Albertina,
pacar sahabatku dan aku jatuh hati padanya. Sudah kubilang aku tokoh antagonis
di sini, tapi tenang saja aku tak pernah macam – macam. Albertina semakin hari
semakin menarik, ia sangat perhatian, ia senang mengajakku piknik di taman,
terkadang kami bertiga namun Paul lebih sering absen dan alhasil kami berdua –
aku dan Albertina menikmati musim gugur bersama, dingin namun tenang saja aku
dapatkan menghangatkan Albertina. Tidak, jangan berpikir macam – macam, sungguh
aku tidak berbuat yang aneh. Aku dan Paul bersahabat sejak kecil, aku tak
mungkin mengkhianatinya.
Tibalah hari itu di mana aku benar – benar khawatir pada
Albertina dan sungguh aku rela menukarkan apapun dalam diriku untuk Albertina.
Malam itu Paul meninggalkanku di rumah Albertini karena ia harus mengurusi
berbagai hal untuk sebuah pameran buku terbesar di Frankfurt. Tinggalah aku
bersama Albertina berdua. Awalnya Albertina seperti biasa terlihat bugar dan
cantik, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepeninggal Paul, tiba – tiba ia
jatuh pingsan di balik pintu, aku mendekati tubuhnya yang terkapar lemas di
dekat tangga, panas sekali. Tubuhnya begitu panas, mengapa ia tak katakan ini
pada Paul, pantas saja ia menolak pelukan selamat tinggal dari Paul.
Aku memanggil namanya terus – menerus, namun ia tetap tak
sadarkan diri. Di rumah ini hanya ada aku dan dia, tak ada orang lain, aku
harus bagaimana. Aku berlari keluar mencari lampu rumah tetangga yang masih
menyala, untunglah keluarga di seberang sana masih terjaga , aku segera berlari
menuju mereka. Awalnya mereka sama sekali tak mengerti apa maksudku, aku
berusaha menjelaskan sejelas yang aku bisa, nihil. Sampai akhirnya anak
perempuan keluarga itu datang menghampiriku. Ia memandang ke arahku seolah
mengerti apa yang aku katakan. Ia memandang kalung yang aku kenakan.
“Papa, Tante Albertina!”
Pria yang dipanggil papa itu segera bergegas menuju rumah
Albertina, aku dan anak perempuan itu mengikutinya di belakang. Pria itu segera
membawa Albertina ke rumah sakit, aku tak tahu apa yang terjadi padanya, aku
sangat sedih melihatnya sungguh tak berdaya seperti itu, aku rela kami bertukar
posisi, lebih baik aku yang menderita, jangan dia.
Semenjak kejadian dramatis itu aku tinggal di rumah
Albertina, mendapat mandat dari Paul untuk menjaga pacarnya itu. Aku senang,
tentu saja. Tenang aku tetap takakan macam – macam.
Jadilah kini aku tinggal bersama Albertina sampai di hari
pernikahannya, hari – hari yang kami lalui bersama sungguh membahagiakan,
Albertina memperlakukanku dengan baik, walau ia tak menganggapku di atas Paul.
Bisa bersamanya setiap saat saja aku sudah senang, tak perlu muluk – muluk
menggantikan Paul. Aku cukup begini saja. Mencintainya dalam diam, tak perlu
ada yang tahu biar aku nikmati saja sendirian, selagi bisa.
“Trachten,
komm!”
Seruannya melebur lamunanku. Aku segera mengikutinya
menuju taman belakang rumah, altar yang indah terlihat jelas dari sini, bersama
Paul yang sedang berdiri dengan gagahnya di dalam balutan jas hitam. Mereka
sangat serasi, sungguh. Pasangan mana yang tak terlihat bahagia di hari
pernikahan mereka, Albertina dan Paul terlihat sangat menawan dan lebih dari
bahagia, aku iri namun aku bahagia, namun tetap saja iri dan takakan berbuat
hal macam – macam.
Aku mengikuti langkah Albertina dari belakang, seorang
pianis di depan sana mulai memainkan instrument khas pernikahan, indah sekali.
Para tamu berdiri menyambut kedatangan kami dan terkagum – kagum melihat
Albertina yang begitu cantik berjalan dengan anggun menujur altar. Tak hanya
sampai di situ, mereka masih takjub melihat anak –anak husky yang begitu
menggemaskan mengiringi langkah Albertina dengan aku sebagai pemimpin mereka.
Hanya aku husky abu – abu putih peliharaan Albertina dan Paul, sisanya husky –
husky dari penampungan hewan tempat Albertina berkerja.
Tibalah saat yang dinanti – nanti, kedua insan yang
berbahagia ini resmi sudah terikat pada janji suci selamanya untuk selalu
saling mencintai, melindungi, mengasihi sampai ajal memisahkan mereka.
Albertina menangis haru, sementara aku menangis pilu, hatiku. Albertina sedang
siap – siap melemparkan Blumenstrauβ ketika anak perempuan dari keluarga di
seberang rumah kami berteriak.
“Trachten!”
Albertina membalikan badan, tak lagi memunggungi para
undangan. Ia melihatku yang terbaring lemas jauh darinya. Ia melepaskan
pegangan tangan Paul, berlari ke arahku yang masih menguasai seperemat dari
kesadaran tubuhku. Aku melihat wanita cantik itu berlari dengan wajah cemas ke
arahku, gaun putihnya terangkat hampir selutut, membuatnya lebih mudah bergerak.
Albertina.
“Trachten, was ist
denn passiert? Bist du okay?”
Aku tak apa – apa sungguh, hanya hatiku saja yang pilu.
Sudah lama mengalami kegagalan fungsi hati. Ini lah kesempatan terakhirku,
senang melihat orang yang aku cinta berbahagia di hari terakhirku membuka mata.
Albertina, ich liebe dich.
“Guk...Guk...Guk”
Tak tahu apa yang kemudian terjadi, yang aku lihat hanya
Albertina yang menangis di pelukan Paul dengan Blumenstrauβ yang seharusnya ia
lemparkan saat pernikahan. Mereka berdua berdiri di samping kuburanku, anak
perempuan itu pun ada. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar