Aku ini biru di lautan sampai ke dasar. Aku ini biru di angkasa sampai ke luar. Berhenti memanggilku terang atau gelap. Karena aku biru yang lengkap. Pengotakan itu sungguh mengganggu. Mengapa
tak dibiarkan saja apa adanya.Tanpa lebel ataupun
nama. Cukup aku si biru saja.
Jariku dengan mudah dapat menghitung
berapa lama waktu yang aku lewati pasca peristiwa itu. Ibu jari, telunjuk, jari
tengah, dan kini hampir memasuki jari manis. Empat tahun. Waktu yang aku lalui
semenjak dengan mudahnya ia pergi meninggalkanku, mencampakkan aku, menyia -
nyiakan aku, me- yang lainnya yang begitu sakit, perih. Aku tak pernah
dendam, sungguh. Aku hanya enggan dan sangat tak sudi melihat wajahnya lagi
walau sejujurnya rasaku padanya masih sama seperti yang dulu.
Dua belas
Juni empat tahun yang tepatnya, saat ia
meminta izin padaku untuk menjadi kawan di hidupku, menemani setiap kedipan
mata dan hembusan napas, menjadikan dadanya alas bersandar yang paling nyaman.
Aku setuju, tentu saja, ia pria yang tampan dengan isi dompet menawan.Saat itu
aku merasa bahwa aku manusia paling beruntung dapat berdampingan dengannya.
Mengiringi setiap langkahnya. Aku senang saat bayangan tubuh kami berjalan
beriringan, senada dan seirama.
Kebahagiaan
itu hanya seumur biji kedelai yang telah menjadi tunas tauge. Pada akhirnya
memang tak ada yang benar – benar bertahan pada suatu keadaan. Tak selamanya
hariku penuh dengan tawa bersamanya karena saat ini tawa itu berubah menjadi
tangis yang kuharap tak selamanya mengisi hariku. Sudah kubilang bukan, tak ada
yang benar – benar bertahan pada satu keadaan.
Sejujurnya aku merasa beruntung di balik
kesedihanku yang bertahun - tahun, setidaknya aku tahu, bahwa ternyata semua
janjinya tak lebih dari sekedar rayuan sales mengejar target, bahwa pada
akhirnya dia tetap meninggalkanku yang sepenuh hati percaya padanya, sepenuh
jiwa menggantung padanya, sepenuh nyawa ingin bersamanya dan setahun penuh
ditipunya.
Hanya butuh satu tahun baginya untuk mendapat paket
lengkap berisi aku. Dan hanya butuh sebulan lamanya untuk kembali merajut kasih
dengan yang kini menjadi kekasihnya setelah resmi aku dicampakkannya. Aku bisa
apa, mungkin sejak awal memang bukan aku yang dipilihnya. Sejak awal seharusnya aku menyadari
bahwa ia tak lebih baik dari teman yang suka menikung dari belakang. Seharusnya
aku lebih peka pada kejanggalan dalam dirinya, bukan fokus seutuhnya pada paras
rupawannya dan terpesona pada rambut – rambut halus yang melingkari atas mulut
sampai ke dagu, geli rasanya merasakan rambut – rambut itu menyapu wajahku.
Anggap saja aku ini hanya track lari yang diam tanpa pernah mengeluh walaupun ia berlari di atasku dengan sepatu butut yang menyiksa kaki.
Anggap saja aku ini track
lari yang tak pernah protes meski ia injak – injak atau bahkan
hanya sekedar membuang ludah.
Anggap saja aku ini track
lari yang setelah dipakai lalu ditinggal pergi begitu saja dengan jejak - jejak
sepatu yang bertebaran di seluruh tubuhku tanpa pernah ada terimakasih aku
telah membantu. Silakan saja pergi dengan semua bualannya
itu, menyisakan aku sendiri di sini dengan perih dan hujaman kebodohan diriku
sendiri.
Hampir empat tahun aku berusaha melupakan semua sakit yang ada. Berhasil.
Mungkin. Namun,
masih wajah innocent-nya yang hadir di setiap kali aku tertidur. Aku masih
teringat akan deretan giginya yang dipagari agar rapi, membuatnya sedikit
kesulitan saat berbicara dan aku suka, itu terdengar lucu bagiku. Ah, aku juga
masih ingat dua sumur di pipinya yang begitu dalam dan manis, muncul hanya di
saat ia menarik kedua pipinya dan menyimpulkan senyum di bibir. Indah sekali,
aku suka, sungguh. Sumur itu.
Sumur di pipinya kontras
sekali dengan sumur milikku. Satu tahun
ternyata terlalu cepat bagiku untuk sepenuhnya percaya padanya yang kini menggoreskan luka sedalam empat tahun. Bayangkan saja seberapa dalam galian sumur yang terus dikorek selama
empat tahun, sedalam itu sakit yang aku rasa bahkan hanya saat mendengar namanya melintas di telingaku. Cupingnya panas, lubang hidungku mengantup, napasku berat, jantungku berhenti berdetak,
wajahku menengadah menahan tetesan air mata yang siap meluncur. Sesakit ini.
Sesakit ini kenangan yang
ditinggalkan olehnya yang begitu dermawan mengumbar janji tanpa pernah
menepati. Kesempurnaan fisiknya jungkir balik dengan cerminan sikapnya yang
seolah tak berhati karena mencampakkan aku yang sudah teramat terikat padanya.
Tatapan mata cokelatnya yang indah berlawanan dengan cara pandangnya yang
licik. Hidungnya yang membentuk sudut siku – siku itu pun hanya berfungsi
mengendus kesempatan di balik kesempitan. Bagaimana lagi aku harus
menggambarkan dirinya yang berwujud manusia namun bersikap bagai tak berakal
budi.
Kurasa Tuhan cukup adil
menciptakan sosok penawar dari pria menyebalkan yang aku tak tahu lagi harus
bagaimana menjelaskan kebusukannya. Namanya
Ken, sebut saja dia malaikat yang baik hati tanpa sayap dan tongkat atau serbuk
peri. Ia tak bisa terbang namun dengan cepat selalu ada saat aku mencapai titik
paling lemah pada diriku. Selalu ada disaat tubuhku bersiap menghujam tanah,
selalu ada disaat aku butuh pundak untuk bersandar.
Dan ia pun ada saat aku jatuh merutuki diriku sendiri
karena pria yang walau hanya setahun singgah namun sanggup menggoreskan luka
sedalam empat tahun.
Ken tak pernah protes,
ia hanya diam dan mendengarkan semua keluhanku, walaupun aku tak yakin benar
dia menyimak setiap perkataanku. Aku tak peduli, setidaknya aku tak sendiri. Ada Ken yang dengan segala
kesederhanaanya namun begitu mewah terasa. Tatapan matanya sungguh teduh, nyaman.
Kurasa adil membandingkan
Ken dengan pria yang aku tak mau lagi sibuk – sibuk menyebut namanya, terlalu
sakit. Haya agar dunia tahu betapa kejamnya aku yang masih tak sanggup membuka
hati pada makhluk Tuhan dengan segala kesempurnaan lahir batin seperti Ken. Ken
sangat sederhana, wajahnya tak begitu tampan, wajahnya mencerminkan betul sikapnya yang bijaksana, tenang dan aku
berani bersumpah, tak ada wanita normal di muka bumi ini yang tak akan meleleh dengan pandangan
matanya yang tajam namun menenangkan. Ralat, kecuali aku. Mungkin karena aku
yang tidak normal.
Bagaimana aku bisa begitu
normal layaknya wanita biasa yang ditinggal pergi mantan kekasihnya karena pria
itu menemukan dambaan hatinya yang lain, jika mantan kekasihku itu lebih
memilih pria berbadan kekar dan dada kotak – kotak daripada aku yang wanita
normal biasa dengan dada seadanya.Bagaimana mungkin aku masih bisa bersikap
biasa jika mantan kekasihku adalah seorang biseksual yang pada akhirnya lebih
memilih menjadi seorang homoseksual tulen.
Jangan salahkan aku yang
pura – pura menutup mata pada perhatian yang Ken berikan. Aku tahu, ada sesuatu
di balik perhatiannya, mungkin saja cinta, aku tak peduli. Sudah habis rasanya
cintaku untuk si pria homo itu. Aku tak lagi percaya pada apa yang mereka sebut
walau berbeda – beda tetap satu jua, aku tidak peduli! Kenapa tidak Tuhan
ciptakan manusia sama rata agara tak ada normal, homo atau bahkan yang seperti
aku, bukan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar