Sabtu, 19 Juli 2014

Adil Itu Dusta

Aku ini biru di lautan sampai ke dasar. Aku ini biru di angkasa sampai ke luar. Berhenti memanggilku terang atau gelap. Karena aku biru yang lengkap. Pengotakan itu sungguh mengganggu. Mengapa tak dibiarkan saja apa adanya.Tanpa lebel ataupun nama. Cukup  aku si biru saja.
Jariku dengan mudah dapat menghitung berapa lama waktu yang aku lewati pasca peristiwa itu. Ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan kini hampir memasuki jari manis. Empat tahun. Waktu yang aku lalui semenjak dengan mudahnya ia pergi meninggalkanku, mencampakkan aku, menyia - nyiakan aku, me- yang lainnya yang begitu sakit, perih. Aku tak pernah dendam, sungguh. Aku hanya enggan dan sangat tak sudi melihat wajahnya lagi walau sejujurnya rasaku padanya masih sama seperti yang dulu.
Dua belas Juni  empat tahun yang tepatnya, saat ia meminta izin padaku untuk menjadi kawan di hidupku, menemani setiap kedipan mata dan hembusan napas, menjadikan dadanya alas bersandar yang paling nyaman. Aku setuju, tentu saja, ia pria yang tampan dengan isi dompet menawan.Saat itu aku merasa bahwa aku manusia paling beruntung dapat berdampingan dengannya. Mengiringi setiap langkahnya. Aku senang saat bayangan tubuh kami berjalan beriringan, senada dan seirama.
Kebahagiaan itu hanya seumur biji kedelai yang telah menjadi tunas tauge. Pada akhirnya memang tak ada yang benar – benar bertahan pada suatu keadaan. Tak selamanya hariku penuh dengan tawa bersamanya karena saat ini tawa itu berubah menjadi tangis yang kuharap tak selamanya mengisi hariku. Sudah kubilang bukan, tak ada yang benar – benar bertahan pada satu keadaan.
Sejujurnya aku merasa beruntung di balik kesedihanku yang bertahun - tahun, setidaknya aku tahu, bahwa ternyata semua janjinya tak lebih dari sekedar rayuan sales mengejar target, bahwa pada akhirnya dia tetap meninggalkanku yang sepenuh hati percaya padanya, sepenuh jiwa menggantung padanya, sepenuh nyawa ingin bersamanya dan setahun penuh ditipunya.
Hanya butuh satu tahun baginya untuk mendapat paket lengkap berisi aku. Dan hanya butuh sebulan lamanya untuk kembali merajut kasih dengan yang kini menjadi kekasihnya setelah resmi aku dicampakkannya. Aku bisa apa, mungkin sejak awal memang bukan aku yang dipilihnya. Sejak awal seharusnya aku menyadari bahwa ia tak lebih baik dari teman yang suka menikung dari belakang. Seharusnya aku lebih peka pada kejanggalan dalam dirinya, bukan fokus seutuhnya pada paras rupawannya dan terpesona pada rambut – rambut halus yang melingkari atas mulut sampai ke dagu, geli rasanya merasakan rambut – rambut itu menyapu wajahku.
Anggap saja aku ini hanya track lari yang diam tanpa pernah mengeluh walaupun ia berlari di atasku dengan sepatu butut yang menyiksa kaki.
Anggap saja aku ini track lari yang tak pernah protes meski ia injak – injak atau bahkan hanya sekedar membuang ludah.
Anggap saja aku ini track lari yang setelah dipakai lalu ditinggal pergi begitu saja dengan jejak - jejak sepatu yang bertebaran di seluruh tubuhku tanpa pernah ada terimakasih aku telah membantu. Silakan saja pergi dengan semua bualannya itu, menyisakan aku sendiri di sini dengan perih dan hujaman kebodohan diriku sendiri.
Hampir empat tahun aku berusaha melupakan semua sakit yang ada. Berhasil. Mungkin. Namun, masih wajah innocent-nya yang hadir di setiap kali aku tertidur. Aku masih teringat akan deretan giginya yang dipagari agar rapi, membuatnya sedikit kesulitan saat berbicara dan aku suka, itu terdengar lucu bagiku. Ah, aku juga masih ingat dua sumur di pipinya yang begitu dalam dan manis, muncul hanya di saat ia menarik kedua pipinya dan menyimpulkan senyum di bibir. Indah sekali, aku suka, sungguh. Sumur itu.
Sumur di pipinya kontras sekali dengan sumur milikku. Satu tahun ternyata terlalu cepat bagiku untuk sepenuhnya percaya padanya yang kini menggoreskan luka sedalam empat tahun. Bayangkan saja seberapa dalam galian sumur yang terus dikorek selama empat tahun, sedalam itu sakit yang aku rasa bahkan hanya saat mendengar namanya melintas di telingaku. Cupingnya panas, lubang hidungku mengantup, napasku berat, jantungku berhenti berdetak, wajahku menengadah menahan tetesan air mata yang siap meluncur. Sesakit ini.
Sesakit ini kenangan yang ditinggalkan olehnya yang begitu dermawan mengumbar janji tanpa pernah menepati. Kesempurnaan fisiknya jungkir balik dengan cerminan sikapnya yang seolah tak berhati karena mencampakkan aku yang sudah teramat terikat padanya. Tatapan mata cokelatnya yang indah berlawanan dengan cara pandangnya yang licik. Hidungnya yang membentuk sudut siku – siku itu pun hanya berfungsi mengendus kesempatan di balik kesempitan. Bagaimana lagi aku harus menggambarkan dirinya yang berwujud manusia namun bersikap bagai tak berakal budi.
Kurasa Tuhan cukup adil menciptakan sosok penawar dari pria menyebalkan yang aku tak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan kebusukannya. Namanya Ken, sebut saja dia malaikat yang baik hati tanpa sayap dan tongkat atau serbuk peri. Ia tak bisa terbang namun dengan cepat selalu ada saat aku mencapai titik paling lemah pada diriku. Selalu ada disaat tubuhku bersiap menghujam tanah, selalu ada disaat aku butuh pundak untuk bersandar.
Dan ia pun ada saat aku jatuh merutuki diriku sendiri karena pria yang walau hanya setahun singgah namun sanggup menggoreskan luka sedalam empat tahun.
Ken tak pernah protes, ia hanya diam dan mendengarkan semua keluhanku, walaupun aku tak yakin benar dia menyimak setiap perkataanku. Aku tak peduli, setidaknya aku tak sendiri. Ada Ken yang dengan segala kesederhanaanya namun begitu mewah terasa. Tatapan matanya sungguh teduh, nyaman.
Kurasa adil membandingkan Ken dengan pria yang aku tak mau lagi sibuk – sibuk menyebut namanya, terlalu sakit. Haya agar dunia tahu betapa kejamnya aku yang masih tak sanggup membuka hati pada makhluk Tuhan dengan segala kesempurnaan lahir batin seperti Ken. Ken sangat sederhana, wajahnya tak begitu tampan, wajahnya mencerminkan betul  sikapnya yang bijaksana, tenang dan aku berani bersumpah, tak ada wanita normal di muka bumi ini  yang tak akan meleleh dengan pandangan matanya yang tajam namun menenangkan. Ralat, kecuali aku. Mungkin karena aku yang tidak normal.
Bagaimana aku bisa begitu normal layaknya wanita biasa yang ditinggal pergi mantan kekasihnya karena pria itu menemukan dambaan hatinya yang lain, jika mantan kekasihku itu lebih memilih pria berbadan kekar dan dada kotak – kotak daripada aku yang wanita normal biasa dengan dada seadanya.Bagaimana mungkin aku masih bisa bersikap biasa jika mantan kekasihku adalah seorang biseksual yang pada akhirnya lebih memilih menjadi seorang homoseksual tulen.

Jangan salahkan aku yang pura – pura menutup mata pada perhatian yang Ken berikan. Aku tahu, ada sesuatu di balik perhatiannya, mungkin saja cinta, aku tak peduli. Sudah habis rasanya cintaku untuk si pria homo itu. Aku tak lagi percaya pada apa yang mereka sebut walau berbeda – beda tetap satu jua, aku tidak peduli! Kenapa tidak Tuhan ciptakan manusia sama rata agara tak ada normal, homo atau bahkan yang seperti aku, bukan apapun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar