Jumat, 18 Juli 2014

Apel

Ia melihat kami bersalaman, bertukar senyuman, melontarkan sapaan. Walau hanya sejenak kurasakan itu nikmat, maafkan.
...
Tetes pertama itu mengalir dari labu melewati selang masuk ke dalam tubuhku, ada jarum yang menjembatani vena dan selang ini. Tipis di bawah permukaan kulit. Tangan kiriku tak dapat bergerak bebas, aku ketakutan menggerakannya, mengingat jarum yang ditinggalkan di sana.
Kawan di samping ranjangku sudah lebih dulu menempati ruangan ini, dulunya ia sendiri kini kami berdua, berbagai teve, pintu masuk, jendela, sari kurma, pil cacing dan guyonan. Ia sangat ramah, dua tahun lebih tua dariku, wajahnya manis, hidungnya mancung, matanya secokelat mata kucing, pipinya tembem dan rambutnya ikal sebahu. Ah, kukunya berwarna hijau, ia sempat bercerita mengenai kegemarannya mewarnai kuku.
“Kamu tumbang gara – gara ospek?”
“Iya, abisnya kejam banget”
“Emang masih ada ospek yang main fisik? Bukannya udah dilarang?”
“Peraturannya sih gitu, namanya juga peraturan, formalitas”
“Mau gimana lagi, junior emang gitu nasibnya, aku dulu juga tumbang kayak kamu, hahaha”
Kami tertawa bersama, seperti sepasang kakak – beradik yang sedang bercanda, bergunjing dan bermain bersama. Larut dalam obrolan sesama wanita. Siang itu kami sama – sama sendiri, tak ada yang menemaninya. Jadilah dua wanita sesama menderita tipus asyik memamerkan deretan gigi putih kami. Rasanya seperti memiliki seorang kakak, aku senang sekali.
Kami berhenti tertawa ketika seorang suster yang sudah kami kenal dengan baik masuk ke kamar. Aku memanggilnya suster apel. Karena dua hari lalu ia mengambil apel yang ada di mejaku.
“Apel, Sus?”
“Ngeledek kamu?”
“Punyaku juga boleh, Sus”
Yang terakhir itu suara Kak Ajeng, tergoda untuk ikut meledek suster. Suster ini sangat baik sungguh. Sementara dia mengecek, kami meneruskan gunjingan yang sempat tertunda. Tentang dokter muda yang kemarin memeriksa Kak Ajeng yang ternyata sudah beristri, tentang Suster Apel yang menaruh hati pada pasiennya di kamar sebelah, juga tentang cleaning service yang ternyata sudah bertahun – tahun mengejar cinta Suster Apel. Kami bertiga seolah saudara yang lama tak bertemu.
“Kamu besok pulang, ya?”
“Kak Ajeng besok pulang?”
“Dokter Ganteng sih bilangnya gitu”
“Aku sendiri dong, apelku bisa habis diporotin terus”
“Ledek aja terus”
Kami kembali tertawa bersama, tak hirau dengan tetes – tetes cairan yang memberi kami nustrisi.
“Padahal aku belum tahu nama cowok national geography itu”
“Yang mana, Kak?”
Aku terdiam sebentar, mencoba mengingat – ingat siapa yang dia maksud.
“Yang senyum sama kamu”
“Aku? Kapan, Kak?”
Suster Apel bingung dan penasaran, kalau ia tidak harus pergi ke kamar selanjutnya pastilah ia kini sedang duduk santai di antara ranjang kami dan menikmati apel milikku atau milik Kak Ajeng.
Well, aku mau ke kamar prince charming dulu, ya”
“Aku penasaran deh yang mana orangnya”
“Iya, aku juga, Kak”
“Pokoknya ganteng banget, ada kumisnya tipis, terus aku suka kasih dia apel karena dia suka banget apel”
“Apel dari keranjang aku dan Kak Ajeng maksudnya?”
“Hehehe”
Suster Apel pergi meninggalkan ruangan kami sebelum berhasil kena timpuk bantal.
Malamnya ibu menemaniku yang setiap malam bersuhu lebih dari 41o Celcius. Karena suhu tubuhku yang tinggi ini aku kenal Suster Apel, ia yang pertama kali datang setelah ibu menekan bel, ia yang membawakan seember air dan mengompresku, menyelipkan termometer di ketiakku. Suster Apel sangat telaten dan ramah walaupun ia sangat cerewet. Terkadang ibu Kak Ajeng ikut terbangun mendengar suster yang mengurusiku setiap malam, ia menenangkan ibuku yang menangis terisak – isak.
“Kak Ajeng jangan lupain aku, ya”
“Iya, kita kan udah tukeran pin”
“Ah, aku jadi sendirian”
“Kan ada Suster Apel, hahaha...”
“Malesin, huh”
“Btw, kamu inget nggak aku pernah bilang si cowok national georaphy itu?”
“Inget, tapi lupa mukanya”
“Mumpung aku udah balik, sekarang kesempatan kamu”
Aku sama sekali tak mengerti apa yang ia maksud.
“Apaan, sih?”
Kak Ajeng menjelaskan semuanya padaku, dari awal semenjak aku menginap di samping ranjangnya. Awalnya ia tak begitu hirau, namun semakin hari, ia semakin yakin. Menurut Kak Ajeng cowok national geography itu selalu memandang ke arahku sebelum masuk ke ruangan di sebelah ruang inapku. Tentu saja aku tak melihatnya, karena ranjangku yang di samping pintu dan aku yang selalu menghadap ke arah Kak Ajeng, jadilah aku membelakangi pintu.
Walaupun sejujurnya pernah beberapa kali namun tak sering aku melihatnya tersenyum ke arahku. Tentu saja aku tak mau jumawa, Kak Ajeng lebih cantik dan menarik, tak mungkin ia tersenyum padaku.
Semenjak kepulangan Kak Ajeng aku hanya ditemani Suster Apel di kala siang, walaupun lebih tepatnya aku yang menemaninya, mendengarkan ceritanya tentang si cowok apel.
“Dia manis banget, kemarin bajunya putih, dia makin ganteng, aku gemes banget”
“Yang mana sih, aku penasaran, aku boleh ke ruangannya nggak?”
“Hush! Mana boleh, aku yang nanti kena omel”
“Fotonya, deh”
“Mana berani aku foto dia”
“Terus orangnya yang mana, keburu aku pulang nih”
“Ngomong – ngomong kalau panasmu stabil lusa udah boleh pulang, kok”
“Serius?”
“Apel dulu sekilo”
Aku senang mendengar kabar ini, aku ingin segera pulang, bukannya tak betah hanya makanan di sini sama sekali tak ada rasanya. Kalau bukan karena Kak Ajeng dan Suster Apel pastilah aku ini sudah mati kebosanan.
Sore ini ibu belum tiba, Suster Apel sedang sibuk, jadilah aku sendiri. Aku meminta suster menaikan sandaran ranjang, agar aku bisa bersandar dan menikmati pemandangan  langit di sebelah kananku dan pemandangan lalu lintas manusia yang hilir mudik di sebelah kiri. Sejujurnya aku menunggu pria yang Kak Ajeng sebut – sebut berkumis tipis dan selalu dengan tshirt bertuliskan national geography.
Penantianku tak sia – sia, berbuahkan hasil walau bukan apel, pria itu datang dengan infusan yang ia pegang di tangan kanan, diangkat setinggi kepalanya. Benar saja! Sebelum masuk ia sempat melirik ke dalam ruangan, mata kami bertemu, ia tersenyum padaku, manis, keren, ah. Pantas Kak Ajeng penasaran setengah mati.
Keluar dari sana ia sempat berbalik badan, melihat ke arahku yang memang sedang menunggunya keluar, ia kembali tersenyum padaku, tentu saja aku membalas senyumnya semanis mungkin. Semenjak sore penuh senyuman itu, aku menjadi lebih sering menunggunya untuk kembali dan bertukar senyuman.
Hari ini seharusnya aku pulang tapi karena trombositku yang rendah dokter khawatir gejala demam berdarah ini akan menjadi demam berdarah betulan jika tak segera diatasi. Hari itu aku menginap lagi,  mungkin aku durhaka tapi aku senang masih menginap di sini, artinya masih ada tukar senyum di hari ini esok dan mungkin lusa.
Apa yang aku rencanakan sama sekali tidak melenceng, kami masih saling menukar senyum. Setiap kali semakin manis, aku semakin penasaran siapa namanya, andai aku boleh menggunakan ruangan di sebelah itu pastilah akan kususul setiap kali dia masuk, sayangnya Suster Apel bilang aku harus benar – benar bedrest,  tak boleh menyentuh lantai sedikit pun.
Malam ini aku melihatnya mendorong tiang yang di atasnya tergantung infusan, ia berjalan sembari mengunyah apel, ia kelihatan sangat menikmati setiap gigitannya. Seperti Suster Apel saja.
Eh, tunggu, mungkinkah ini pria yang sama dengan Suster Apel maksud. Celaka 12!
Hari ini selang infusan di tanganku sudah boleh dilepas, lega rasanya ketika tangan kiriku dapat kembali bergerak bebas. Ibu masih merapikan pakaianku ketika pria national geography itu kembali masuk ke ruangan di samping ruang inapku. Ini kesempatan terakhirku!
“Bu, aku kebelet”
“Jangan lama – lama, dokternya keburu dateng”      
Aku segera turun dari ranjang, memakai sendal merahku dengan sigap, melangkah dengan cepat sebelum dia keluar lagi.
Dewi fortuna sedang berpihak padaku, ketika aku masuk, aku melihat ia berdiri di depan salah satu bilik sembari menggigit apelnya, gigitan pertama kurasa karena apelnya baru penyok sedikit.
Aku menarik napas dan berjalan mendekatinya. Di sebelah kananku ada tiga pintu dengan masing masing berlambang kloset jongkong, di sebelah kiriku ada dua pintu dengan gambar kloset duduk, di depan salah satu pintu bergambar kloset duduk itu, pria yang aku cari sedang berdiri menunggu giliran. Aku melangkah melewatinya, berdiri di samping pria itu.
Ia terlihat terkejut melihat kedatanganku. Ditatapnya aku ini dari atas sampai bawah dan hanya berkata,”Mau pulang, ya?”. Aku menjawabnya dengan satu anggukan, bibirku kelu, mungkin saja karena terlalu tegang. Beberapa saat kami berdiri saling mematung, tak ada suara air yang kudengar dari balik lima pintu itu, mungkin sebenarnya bilik itu kosong, hanya pintunya saja yang dibiarkan tertutup. Namun aku tak peduli, aku ingin berbincang dengan pria yang kini di sampingku.
“Sakit apa?”
Kalimat itu memecah keheningan di antara kami, aku pun segera menjawab pertanyaannya.
“Tifus,...”
“Berapa lama?”
“Seminggu,...”
Pria ini aneh, setiap kali aku hendak meneruskan kalimatku ia memotongnya dengan cepat seolah tak memberiku kesempatan untuk balik bertanya.
“Senangnya boleh pulang, tinggal aku masih terjebak di sini”
Kali ini ia kembali mengigit apelnya.
“Cepet sembuh, makan yang banyak biar cepet pulang”
Kurasa komentarku konyol sekali, sungguh.
“Suster yang cerewet  itu suka bawain aku apel”
Jleb! Suster Apel? Yang dia maksud Suster Apel?
“Ruanganmu di mana?”
“Di sebelah, kita tetangga yang terhalang toilet”
Benar! Jadi selama ini pantas saja kami akrab, orang yang kami maksud sama. Aku masih melamun menyelami apa yang baru saja aku ketahui ketika ia menjulurkan tangannya yang sudah tidak memegang apel. Cepat sekali habisnya.
“Kita belum kenalan, namaku...”
“Kalian ngapain di sini! Doktermu sudah datang, Nona. Cepat!”
Entah sejak kapan Suster Apel berdiri di ambang pintu, aku tak tahu apa dia mendengar obrolan singkat kami atau tidak. Aku pun tak tahu apa yang terjadi dengan pria itu, aku terlalu terkejut dan segera keluar dari toilet tanpa menengok sedikit pun ke belakang.

Terkadang ada beberapa hal yang lebih baik tetap menjadi rahasia dan tak perlu diketahui, sama seperti nama pria itu, mungkin lebih baik begini agar tak ada yang sakit nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar