Ia
melihat kami bersalaman, bertukar senyuman, melontarkan sapaan. Walau hanya
sejenak kurasakan itu nikmat, maafkan.
...
Tetes
pertama itu mengalir dari labu melewati selang masuk ke dalam tubuhku, ada
jarum yang menjembatani vena dan selang ini. Tipis di bawah permukaan kulit.
Tangan kiriku tak dapat bergerak bebas, aku ketakutan menggerakannya, mengingat
jarum yang ditinggalkan di sana.
Kawan
di samping ranjangku sudah lebih dulu menempati ruangan ini, dulunya ia sendiri
kini kami berdua, berbagai teve, pintu masuk, jendela, sari kurma, pil cacing
dan guyonan. Ia sangat ramah, dua tahun lebih tua dariku, wajahnya manis,
hidungnya mancung, matanya secokelat mata kucing, pipinya tembem dan rambutnya
ikal sebahu. Ah, kukunya berwarna hijau, ia sempat bercerita mengenai
kegemarannya mewarnai kuku.
“Kamu
tumbang gara – gara ospek?”
“Iya,
abisnya kejam banget”
“Emang
masih ada ospek yang main fisik? Bukannya udah dilarang?”
“Peraturannya
sih gitu, namanya juga peraturan, formalitas”
“Mau
gimana lagi, junior emang gitu nasibnya, aku dulu juga tumbang kayak kamu,
hahaha”
Kami
tertawa bersama, seperti sepasang kakak – beradik yang sedang bercanda,
bergunjing dan bermain bersama. Larut dalam obrolan sesama wanita. Siang itu
kami sama – sama sendiri, tak ada yang menemaninya. Jadilah dua wanita sesama
menderita tipus asyik memamerkan deretan gigi putih kami. Rasanya seperti
memiliki seorang kakak, aku senang sekali.
Kami
berhenti tertawa ketika seorang suster yang sudah kami kenal dengan baik masuk
ke kamar. Aku memanggilnya suster apel. Karena dua hari lalu ia mengambil apel
yang ada di mejaku.
“Apel,
Sus?”
“Ngeledek
kamu?”
“Punyaku
juga boleh, Sus”
Yang
terakhir itu suara Kak Ajeng, tergoda untuk ikut meledek suster. Suster ini
sangat baik sungguh. Sementara dia mengecek, kami meneruskan gunjingan yang
sempat tertunda. Tentang dokter muda yang kemarin memeriksa Kak Ajeng yang
ternyata sudah beristri, tentang Suster Apel yang menaruh hati pada pasiennya
di kamar sebelah, juga tentang cleaning service yang ternyata sudah bertahun –
tahun mengejar cinta Suster Apel. Kami bertiga seolah saudara yang lama tak
bertemu.
“Kamu
besok pulang, ya?”
“Kak
Ajeng besok pulang?”
“Dokter
Ganteng sih bilangnya gitu”
“Aku
sendiri dong, apelku bisa habis diporotin terus”
“Ledek
aja terus”
Kami
kembali tertawa bersama, tak hirau dengan tetes – tetes cairan yang memberi
kami nustrisi.
“Padahal
aku belum tahu nama cowok national geography itu”
“Yang
mana, Kak?”
Aku
terdiam sebentar, mencoba mengingat – ingat siapa yang dia maksud.
“Yang
senyum sama kamu”
“Aku?
Kapan, Kak?”
Suster
Apel bingung dan penasaran, kalau ia tidak harus pergi ke kamar selanjutnya
pastilah ia kini sedang duduk santai di antara ranjang kami dan menikmati apel
milikku atau milik Kak Ajeng.
“Well, aku mau ke kamar prince charming dulu, ya”
“Aku
penasaran deh yang mana orangnya”
“Iya,
aku juga, Kak”
“Pokoknya
ganteng banget, ada kumisnya tipis, terus aku suka kasih dia apel karena dia
suka banget apel”
“Apel
dari keranjang aku dan Kak Ajeng maksudnya?”
“Hehehe”
Suster
Apel pergi meninggalkan ruangan kami sebelum berhasil kena timpuk bantal.
Malamnya ibu menemaniku
yang setiap malam bersuhu lebih dari 41o Celcius. Karena suhu
tubuhku yang tinggi ini aku kenal Suster Apel, ia yang pertama kali datang
setelah ibu menekan bel, ia yang membawakan seember air dan mengompresku,
menyelipkan termometer di ketiakku. Suster Apel sangat telaten dan ramah
walaupun ia sangat cerewet. Terkadang ibu Kak Ajeng ikut terbangun mendengar
suster yang mengurusiku setiap malam, ia menenangkan ibuku yang menangis
terisak – isak.
“Kak
Ajeng jangan lupain aku, ya”
“Iya,
kita kan udah tukeran pin”
“Ah,
aku jadi sendirian”
“Kan
ada Suster Apel, hahaha...”
“Malesin,
huh”
“Btw,
kamu inget nggak aku pernah bilang si cowok national
georaphy itu?”
“Inget,
tapi lupa mukanya”
“Mumpung
aku udah balik, sekarang kesempatan kamu”
Aku
sama sekali tak mengerti apa yang ia maksud.
“Apaan,
sih?”
Kak
Ajeng menjelaskan semuanya padaku, dari awal semenjak aku menginap di samping
ranjangnya. Awalnya ia tak begitu hirau, namun semakin hari, ia semakin yakin.
Menurut Kak Ajeng cowok national geography itu selalu memandang ke arahku
sebelum masuk ke ruangan di sebelah ruang inapku. Tentu saja aku tak
melihatnya, karena ranjangku yang di samping pintu dan aku yang selalu
menghadap ke arah Kak Ajeng, jadilah aku membelakangi pintu.
Walaupun
sejujurnya pernah beberapa kali namun tak sering aku melihatnya tersenyum ke
arahku. Tentu saja aku tak mau jumawa, Kak Ajeng lebih cantik dan menarik, tak
mungkin ia tersenyum padaku.
Semenjak
kepulangan Kak Ajeng aku hanya ditemani Suster Apel di kala siang, walaupun
lebih tepatnya aku yang menemaninya, mendengarkan ceritanya tentang si cowok
apel.
“Dia
manis banget, kemarin bajunya putih, dia makin ganteng, aku gemes banget”
“Yang
mana sih, aku penasaran, aku boleh ke ruangannya nggak?”
“Hush!
Mana boleh, aku yang nanti kena omel”
“Fotonya,
deh”
“Mana
berani aku foto dia”
“Terus
orangnya yang mana, keburu aku pulang nih”
“Ngomong
– ngomong kalau panasmu stabil lusa udah boleh pulang, kok”
“Serius?”
“Apel
dulu sekilo”
Aku
senang mendengar kabar ini, aku ingin segera pulang, bukannya tak betah hanya
makanan di sini sama sekali tak ada rasanya. Kalau bukan karena Kak Ajeng dan
Suster Apel pastilah aku ini sudah mati kebosanan.
Sore
ini ibu belum tiba, Suster Apel sedang sibuk, jadilah aku sendiri. Aku meminta
suster menaikan sandaran ranjang, agar aku bisa bersandar dan menikmati
pemandangan langit di sebelah kananku
dan pemandangan lalu lintas manusia yang hilir mudik di sebelah kiri.
Sejujurnya aku menunggu pria yang Kak Ajeng sebut – sebut berkumis tipis dan
selalu dengan tshirt bertuliskan national
geography.
Penantianku
tak sia – sia, berbuahkan hasil walau bukan apel, pria itu datang dengan
infusan yang ia pegang di tangan kanan, diangkat setinggi kepalanya. Benar
saja! Sebelum masuk ia sempat melirik ke dalam ruangan, mata kami bertemu, ia
tersenyum padaku, manis, keren, ah. Pantas Kak Ajeng penasaran setengah mati.
Keluar
dari sana ia sempat berbalik badan, melihat ke arahku yang memang sedang
menunggunya keluar, ia kembali tersenyum padaku, tentu saja aku membalas
senyumnya semanis mungkin. Semenjak sore penuh senyuman itu, aku menjadi lebih
sering menunggunya untuk kembali dan bertukar senyuman.
Hari
ini seharusnya aku pulang tapi karena trombositku yang rendah dokter khawatir
gejala demam berdarah ini akan menjadi demam berdarah betulan jika tak segera
diatasi. Hari itu aku menginap lagi,
mungkin aku durhaka tapi aku senang masih menginap di sini, artinya
masih ada tukar senyum di hari ini esok dan mungkin lusa.
Apa
yang aku rencanakan sama sekali tidak melenceng, kami masih saling menukar
senyum. Setiap kali semakin manis, aku semakin penasaran siapa namanya, andai
aku boleh menggunakan ruangan di sebelah itu pastilah akan kususul setiap kali
dia masuk, sayangnya Suster Apel bilang aku harus benar – benar bedrest, tak boleh menyentuh lantai sedikit pun.
Malam ini aku
melihatnya mendorong tiang yang di atasnya tergantung infusan, ia berjalan
sembari mengunyah apel, ia kelihatan sangat menikmati setiap gigitannya.
Seperti Suster Apel saja.
Eh,
tunggu, mungkinkah ini pria yang sama dengan Suster Apel maksud. Celaka 12!
Hari ini
selang infusan di tanganku sudah boleh dilepas, lega rasanya ketika tangan
kiriku dapat kembali bergerak bebas. Ibu masih merapikan pakaianku ketika pria
national geography itu kembali masuk ke ruangan di samping ruang inapku. Ini
kesempatan terakhirku!
“Bu,
aku kebelet”
“Jangan
lama – lama, dokternya keburu dateng”
Aku
segera turun dari ranjang, memakai sendal merahku dengan sigap, melangkah
dengan cepat sebelum dia keluar lagi.
Dewi
fortuna sedang berpihak padaku, ketika aku masuk, aku melihat ia berdiri di
depan salah satu bilik sembari menggigit apelnya, gigitan pertama kurasa karena
apelnya baru penyok sedikit.
Aku
menarik napas dan berjalan mendekatinya. Di sebelah kananku ada tiga pintu
dengan masing masing berlambang kloset jongkong, di sebelah kiriku ada dua
pintu dengan gambar kloset duduk, di depan salah satu pintu bergambar kloset
duduk itu, pria yang aku cari sedang berdiri menunggu giliran. Aku melangkah
melewatinya, berdiri di samping pria itu.
Ia terlihat
terkejut melihat kedatanganku. Ditatapnya aku ini dari atas sampai bawah dan
hanya berkata,”Mau pulang, ya?”. Aku menjawabnya dengan satu anggukan, bibirku
kelu, mungkin saja karena terlalu tegang. Beberapa saat kami berdiri saling
mematung, tak ada suara air yang kudengar dari balik lima pintu itu, mungkin
sebenarnya bilik itu kosong, hanya pintunya saja yang dibiarkan tertutup. Namun
aku tak peduli, aku ingin berbincang dengan pria yang kini di sampingku.
“Sakit
apa?”
Kalimat
itu memecah keheningan di antara kami, aku pun segera menjawab pertanyaannya.
“Tifus,...”
“Berapa
lama?”
“Seminggu,...”
Pria
ini aneh, setiap kali aku hendak meneruskan kalimatku ia memotongnya dengan
cepat seolah tak memberiku kesempatan untuk balik bertanya.
“Senangnya
boleh pulang, tinggal aku masih terjebak di sini”
Kali
ini ia kembali mengigit apelnya.
“Cepet
sembuh, makan yang banyak biar cepet pulang”
Kurasa
komentarku konyol sekali, sungguh.
“Suster
yang cerewet itu suka bawain aku apel”
Jleb!
Suster Apel? Yang dia maksud Suster Apel?
“Ruanganmu
di mana?”
“Di
sebelah, kita tetangga yang terhalang toilet”
Benar!
Jadi selama ini pantas saja kami akrab, orang yang kami maksud sama. Aku masih
melamun menyelami apa yang baru saja aku ketahui ketika ia menjulurkan
tangannya yang sudah tidak memegang apel. Cepat sekali habisnya.
“Kita
belum kenalan, namaku...”
“Kalian
ngapain di sini! Doktermu sudah datang, Nona. Cepat!”
Entah
sejak kapan Suster Apel berdiri di ambang pintu, aku tak tahu apa dia mendengar
obrolan singkat kami atau tidak. Aku pun tak tahu apa yang terjadi dengan pria
itu, aku terlalu terkejut dan segera keluar dari toilet tanpa menengok sedikit
pun ke belakang.
Terkadang
ada beberapa hal yang lebih baik tetap menjadi rahasia dan tak perlu diketahui,
sama seperti nama pria itu, mungkin lebih baik begini agar tak ada yang sakit
nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar