Ich kann nicht gut sehen aber glaub mir! Ich hab’ dich
lieb! [1]
Aku
buta. Hanya mata ini yang menjadikan aku berbeda. Aku memiliki mata namun
hatiku buta.
Aku
baru menyadari bahwa mata memiliki peranan dalam setiap emosi yang kurasa.
Tanpanya aku tak pernah tahu apa itu kebenaran, kesalahan, penyebab tangis dan
tawa. Aku buta akan semuanya jikalau mata ini tak dapat berfungsi dengan baik.
Sama
seperti saat ini ketika aku membaca e-mail dari Laura. Jika bukan karena
bantuan mata, aku tak tahu akan permintaan maafnya. Dan mungkin selamanya aku
akan benci pada gadis manis itu.
Liebe Anna, [2]
Endlich habe ich deine E-mailadresse erhalt. Ich mӧchte
dir schneller schreiben, aber Geert lasst mich nicht. Glaub mir, Anna! Ich habe
eine kompliezierte Beziehung mit Geert. Wir müssen uns treffen, sodass ich
wieder erklären kann. Wenn du Freizeit hast dann ruf mich an! Wie du willst, wo
und wann. [3]
P.S. Hier ist meine Nummer 445789022 [4]
Grüβ [5]
Aku
membaca kiriman e-mail dari Laura berulang – ulang. Tak ada kata yang berubah,
setiap titik, koma dan jedanya masih berada di posisi semula. Setiap katanya
membawaku kembali ke adegan di mana aku melihatnya bersama Geert. Masih sesak
dadaku mengingat kejadian itu, masih ada sakit yang berbekas walau itu sudah
berbulan – bulan lamanya berlalu. Geert teganya.
Aku
memandangi nomer ponsel yang Laura tinggalkan di penutup surat elektroniknya.
Kupandangi iphone pink milikku yang tergeletak di samping mac putih yang masih
menunjukan isi surat elektronik dari Laura. Bergantian aku menatap keduanya,
cukup lama, sampai akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya. Bagaimanapun aku
butuh penjelasan.
...
Angin
musim panas membawa sedikit kebahagianku bagiku yang gemar berjalan – jalan di
taman. Beberapa hari lagi salju – salju yang menutupi pohon akan segera
mencair. Dan aku bisa menghabiskan akhir pekanku lagi sembari membaca buku di
bawah pohon rindang di pinggiran Neckar.
Neckar
yang indah. Sudah ratusan jam lamanya aku habiskan hariku untuk memandanginya.
Lensa terbaik untuk menikmati pemandangan indah itu tak lain adalah lensa mata
sendiri. Sungai yang membentang luas dan bersih, terkadang ada beberapa
kelompok kano yang sedang berlatih di sana. Alte Brücke yang membelahnya pun
tak kalah indah. Jembatan yang telah banyak kali menjadi saksi dua insan
mengikrar janji, untuk setia sehidup semati. Dari tempatku biasa duduk, aku
dapat melihat Heidelberger Schloss yang indah menjulang tinggi dan perkasa.
Bagai penjaga keindahan dan ketenangan
kota romantis di Jerman. Heidelberg,
die romantische Stadt [6]
Pohon
ini telah lama sekali menopang tubuhku yang gemar bersandar padanya sembari
membaca beberapa novel kegemaranku. Bahkan terkadang aku mengeraskan suaraku
saat membaca agar pohon itu dapat mendengar dan menikmati cerita yang sedang
aku baca. Pohon itu teramat bersejarah bagiku. Tak hanya bagiku karena beberapa
bulan ini ada Geert yang menemaniku membaca dan menghabiskan waktu di pohon
yang kusebut Baumchen padahal ukurannya cukup
besar.
Awal
musim panas nanti Geert mengajakku piknik kecil di dekat pohon itu, tentu saja
aku senang bukan kepalang. Seorang Geert yang begitu dingin dan berwibawa
dengan lembutnya mengajakku piknik di tengah musim panas. Mungkin ada sesuatu
yang ingin ia katakan. Aku tak sabar
menunggu hari itu. Aku telusur internet mencari resep masakan kegemaran Geert, Apfelkuchen dan
Donner.
...
“Bist du okay?” [7]
Geert
memecahkan lamunanku yang sedang memerhatikan sekelompok burung merpati yang
bertebangan kala anak – anak kecil itu berlarian ke arah mereka.
“Ja, warum?” [8]
“Du bist so ruhig, Schatz” [9]
Aku
membalasnya dengan senyuman dan menyuapkan sepotong Apfelkuchen ke dalam
mulutnya. Geert menikmatinya dengan kunyahan yang renyah, di sekitar mulutnya
tersisa remah – remah. Aku tertawa melihat tingkahnya yang tidak biasa, ia
begitu santai dan tidak formal seperti kesehariannya. Ia sibuk dengan tangan
yang mencoba membersihkan remah di ujung bibir kirinya. Geert, andai ia tahu,
ia yang begitu diam akhir – akhir ini, ia berubah, menjadi sangat pendiam.
“Ich mӧchte ins Kino gehen. Hmm... Morgen Abend. Kommst
du mit?” [10]
Geert
tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia terlihat kaget dengan ajakanku yang mendadak.
Lama sekali aku dan ia tidak pergi nonton ke bioskop. Bahkan menonton film di
tempatnya pun sudah lama sekali rasanya sejak Now You See Me rilis. Ia selalu
beralasan unitnya berantakan, atau jika aku mengajaknya menonton film saat ia
berkunjung ke unitku. Ia menolaknya degan halus dan lebih menyukai duduk berdua
menikmati langit yang jauh di sana.
“Geert? Schatz? Bist du da? Hӧrst du mich?” [11]
“Wie bitte? Was hast du gesagt?” [12]
“Ach, Quatsch!” [13]
Aku
tak meneruskan perkataanku. Rasanya Geert selalu menghindar ketika aku
mengajaknya pergi ke bioskop atau sekadar maraton dvd. Sudahlah, mungkin dia
sudah tidak suka dengan kegiatan macam abg ini.
“Ich gehe mit Clara und Marthe ins Kino. Morgen Abend”
[14]
Aku
memberikan kalimat pernyataan dan tak berharap Geert akan menjawabnya. Cukup
sudah ia merusak mood di siang hari yang cerah ini.
“Anna, du hast gut gekocht. Es schmekt mir sehr
gut” [15]
“Danke” [16]
Sisa
hari itu kami habiskan dengan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku
melahap habis novel yang kubawa sementara Geert menuntaskan makan siangnya
sampai keranjang makananku bersih, tanpa remah sedikit pun.
“Danke für diesen tollen Tag. Tschüβ!” [17]
Geert
mengucapkan salam perpisahan ketika kami sampai di pintu depan gedung apartementku.
Seharusnya hari ini berakhir dengan baik sebagaimana kami mengawalinya. Ini
semua karena Geert yang tak memerhatikanku dan menolak secara tidak langsung
ajakanku. Geert berubah, tidak seutuhnya, hanya ia menjadi aneh dengan sering
menolak ajakanku ke bioskop. Ini memang hal sederhana tapi menjadi luar biasa
mengingat Geert yang dulunya gemar sekali pergi ke sana. Dan Geert yang seorang
kolektor film.
...
Anna, wo bist du? Der Film fängt schon an. [18]
Komme gleich. [19]
Aku
tak menyangka pertengkaranku dengan Geert memanjang dan membuatku terlambat
menemui teman – temanku. Kalau bukan karena pesan elektronik dari Marthe aku
pasti sudah mengahabiskan sisa malamku berdebat dengan Geert via telepon
genggam. Ada apa dengannya, mengapa menjadi berubah seperti ini, Geert tidak
semenyenangkan dulu. Ada yang salah dengannya, aku harus tahu apa penyebab
Geert yang mendadak marah padahal aku telah memberitahunya bahwa malam ini aku
akan pergi nonton dengan Marthe dan Clara. Geert tunggu jadwal istimewa
introgasi denganku, setelah aku selesai menonton Maleficent.
“Das Film war super! Wunderbar!” [20]
Aku
setuju dengan pendapat Clara, film yang dibintangi Angelina Jollie itu sungguh
luar biasa, aku terkesan pada tata riasanya yang luar biasa menakjubkan,
pemerannya terlihat begitu berbeda dengan sosok aslinya.
“Ich muss Mal” [21]
“Ach, Marthe bitte” [22]
“5 Minuten”
Clara
menemani Marthe ke toilet sementara aku menunggu di kedai kopi. Entah mengapa
rasanya aku ingin sekali segelas cappucino. Mungkin untuk menambah kesadaran
saat nanti menginterogasi Geert. Aku mengantri di antrian yang lumayan panjang
sembari menatap sekelilingku yang penuh dengan remaja, mungkin ini alasan Geert
enggan hangout bersama. Ah, Geert. Aku kembali ingat padanya. Pada pertengkaran
kami.
Aku
menikmati secangkir cappucino dengan buih berbentuk daun yang menghiasinya.
Seorang gadis melewatiku dan tersandung tepat di hadapanku. Cup kopinya tumpah,
di sana tertulis Laura, aku tak peduli pada namanya, tubuhnya kini terkapar di
hadapanku dan aku harus membantunya, tentu saja.
“Danke” [21]
“Pass auf!” [22]
Punggung
Laura meninggalkanku semakin jauh ke luar daro kedai kopi. Aku memerhatikan
tubuhnya yang mungil dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda, gadis yang manis.
Mungkin dia lebih muda dariku.
“Anna!”
Marthe
melepas lamunanku.
“Ich habe Bauchschmerzen” [23]
“Ach was! Wir gehen zurück” [24]
Kami
bertiga berjalan ke Bushaltestelle terdekat. Udara musim panas membuat kami tak
usah repot – repot mengenakan mantel. Cukup tshirt atau blus, selesai. Kami
sedang menunggu bis ketika aku melihat Geert dan gadis yang namanya baru saja
kuihat tertera pada cup kopi.
“Laura!
Geert! Was macht ihr?” [25]
Geert
yang kaget melihatku dan kaget mendengar teriakanku, melepas rangkulannya pada
Laura. Aku melihat sekotak pop corn yang baru saja dibuang oleh Laura.
Mungkinkah mereka baru saja menonton.
“Geert?”
Geert
tak menjawab pertanyaanku, ia masih terpaku melihat aku yang begitu merah
padam. Di mana ia menaruh otaknya, berselingkuh dengan pergi ke bioskop di
malam yang juga aku menonton dengan temanku. Pantas saja dia menolak tawaranku.
“Geert!”
Aku
meninggalkannya yang masih saja diam dan tidak berusaha menghentikanku atau
bahkan hanya sekadar menyeruku. Geert!
...
Berbulan
lamanya aku dan Geert tidak berbagi kabar, semenjak malam itu kami tak salinh
menghubungi. Tak ada usaha dari Geert untuk menjelaskan akar permasalahan ini.
Mungkin baginya cukup jelas dan cukup sudah aku melihatnya berselingkuh.
Selesai.
Aku mengambil
Iphoneku, memasukan nomor Laura, menunggu panggilanku terhubung, ada nada
sambung di sana. Aku menunggu beberapa saat sampai dengan terdengar suara
renyah seorang gadis di ujung sana.
“Hallo,...”
“Laura! Hier ist Anna” [26]
“Anna,
wie geht’s du? Hast du schon mal meine
E-mail gelesen?” [27]
“Ja, natürlich. Damit ich dich anrufen kann” [28]
“Anna,
wir müssen uns treffen. Schneller desto
besser, jetzt?” [29]
“Ich habe keine Zeit, erzähl mir jetzt!” [30]
Laura
menjelaskan semuanya padaku. Soal Geert yang penglihatannya terganggu karena
kerusakan fungsi kornea sehingga ia tidak dapat menerima berkas cahaya dengan
baik. Soal Laura sendiri yang ternyata adalah tunangan Geert. Mereka dijodohkan
saat natal terakhir, pertemuan keluarga yang tidak mereka sangka akan berujung
pada perjodohan. Geert dan Laura adalah sahabat kecil yang sejak kini masih
bersahabat walau baru bertemu kembali saat natal kemarin. Laura tinggal di
Rusia dan menghabiskan masa kuliahnya di sana. Ia sungguh menyesal atas
kejadian malam itu, ia tak tahu bahwa Geert sudah memiliki pasangan. Geert tak
pernah bercerita, begitu pun keluarga Geert yang tak pernah memberi tahu. Tentu
saja, selama ini aku dan Geert menjalani hubungan tanpa ikrar yang resmi.
Aku
tidak mendengarkan sisa penjelasan dari Laura. Yang ada dipikiranku hanyalah
aku yang buta tak melihat tingkah laku Geert yang berubah. Aku yang buta tak
melihat Geert yang nyaris buta. Dan aku yang buta, hatiku, tak peka pada
kegundahan diri Geert. Selamat untuk mereka kuucapkan. Viel Glück .
...
...
[1] Aku tidak bisa melihat dengan jelas tapi
percayalakh aku mencintaimu.
[2] Untuk Anna,
[3] Akhirnya aku telah mendapatkan alamat
e-mailmu. Aku ingin lebih cepat mengirimkan e-mail padmau tapi Geert tidak
membiarkanku. Anna! Aku memiliki hubungan yang rumit dengan Geert. Kita harus
bertemu sehingga aku bisa menjelaskan kepadamu. Jika kamu memiliki waktu luang
hubungi aku. kapan dan di mana terserah maumu.
[4] P.S. Ini adalah nomer teleponku 445789022
[5] Salam
[6] Kota romantis
[7] Apakah kamu baik – baik saja?
[8] Iya, kenapa?
[9] Kamu sangat pendiam, sayang
[10] Aku ingin
pergi ke bioskop. Hmm.... Besok malam, apakah kamu ikut?
[11] Geert? Sayang? Kamu di sana? Apakah kamu
mendengarku?
[12] Apa? Apa yang telah kamu katakan?
[13] Ah, sialan
[14] Aku pergi ke bioskop bersama Clara dan
Marthe. Besok malam.
[15] Anna, kamu telah memasak dengan baik. Ini
sangat enak
[16] Terimakasih
[17] Terimakasih
untuk hari luar biasa ini. Selamat tinggal
[18] Anna, kamu di mana? Filmnya sudah mulai
[19] Aku segera datang
[20] Filmnya tadi luar biasa
[21] Aku harus ke toilet
[22] Ah, Marthe, tolong
[21] Terimakasih
[22] Hati - hati
[23] Aku sakit perut
[24] Ah, kita pulang
[25] Laura! Geert! Apa yang kalian lakukan?
[26] Laura! Ini Anna
[27] Anna, apa kabarmu? Apakah kamu sudah
membaca E-mailku?
[28] Iya, tentu saja. Karena itu aku menelepon
[29] Anna, kita harus bertemu. Lebih cepat
lebih baik, sekarang?
[30] Aku tidak punya waktu, jelaskan padaku
sekarang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar