Jumat, 18 Juli 2014

Blind

Ich kann nicht gut sehen aber glaub mir! Ich hab’ dich lieb! [1]
Aku buta. Hanya mata ini yang menjadikan aku berbeda. Aku memiliki mata namun hatiku buta.
Aku baru menyadari bahwa mata memiliki peranan dalam setiap emosi yang kurasa. Tanpanya aku tak pernah tahu apa itu kebenaran, kesalahan, penyebab tangis dan tawa. Aku buta akan semuanya jikalau mata ini tak dapat berfungsi dengan baik.
Sama seperti saat ini ketika aku membaca e-mail dari Laura. Jika bukan karena bantuan mata, aku tak tahu akan permintaan maafnya. Dan mungkin selamanya aku akan benci pada gadis manis itu.
Liebe Anna, [2]
Endlich habe ich deine E-mailadresse erhalt. Ich mӧchte dir schneller schreiben, aber Geert lasst mich nicht. Glaub mir, Anna! Ich habe eine kompliezierte Beziehung mit Geert. Wir müssen uns treffen, sodass ich wieder erklären kann. Wenn du Freizeit hast dann ruf mich an! Wie du willst, wo und wann.  [3]

P.S. Hier ist meine Nummer 445789022 [4]
Grüβ [5]
Aku membaca kiriman e-mail dari Laura berulang – ulang. Tak ada kata yang berubah, setiap titik, koma dan jedanya masih berada di posisi semula. Setiap katanya membawaku kembali ke adegan di mana aku melihatnya bersama Geert. Masih sesak dadaku mengingat kejadian itu, masih ada sakit yang berbekas walau itu sudah berbulan – bulan lamanya berlalu. Geert teganya.
Aku memandangi nomer ponsel yang Laura tinggalkan di penutup surat elektroniknya. Kupandangi iphone pink milikku yang tergeletak di samping mac putih yang masih menunjukan isi surat elektronik dari Laura. Bergantian aku menatap keduanya, cukup lama, sampai akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya. Bagaimanapun aku butuh penjelasan.
...
Angin musim panas membawa sedikit kebahagianku bagiku yang gemar berjalan – jalan di taman. Beberapa hari lagi salju – salju yang menutupi pohon akan segera mencair. Dan aku bisa menghabiskan akhir pekanku lagi sembari membaca buku di bawah pohon rindang di pinggiran Neckar.
Neckar yang indah. Sudah ratusan jam lamanya aku habiskan hariku untuk memandanginya. Lensa terbaik untuk menikmati pemandangan indah itu tak lain adalah lensa mata sendiri. Sungai yang membentang luas dan bersih, terkadang ada beberapa kelompok kano yang sedang berlatih di sana. Alte Brücke yang membelahnya pun tak kalah indah. Jembatan yang telah banyak kali menjadi saksi dua insan mengikrar janji, untuk setia sehidup semati. Dari tempatku biasa duduk, aku dapat melihat Heidelberger Schloss yang indah menjulang tinggi dan perkasa. Bagai penjaga keindahan dan ketenangan  kota romantis di Jerman. Heidelberg, die romantische Stadt [6]         
Pohon ini telah lama sekali menopang tubuhku yang gemar bersandar padanya sembari membaca beberapa novel kegemaranku. Bahkan terkadang aku mengeraskan suaraku saat membaca agar pohon itu dapat mendengar dan menikmati cerita yang sedang aku baca. Pohon itu teramat bersejarah bagiku. Tak hanya bagiku karena beberapa bulan ini ada Geert yang menemaniku membaca dan menghabiskan waktu di pohon yang kusebut  Baumchen padahal ukurannya cukup besar.
Awal musim panas nanti Geert mengajakku piknik kecil di dekat pohon itu, tentu saja aku senang bukan kepalang. Seorang Geert yang begitu dingin dan berwibawa dengan lembutnya mengajakku piknik di tengah musim panas. Mungkin ada sesuatu yang ingin ia katakan. Aku  tak sabar menunggu hari itu. Aku telusur internet mencari resep  masakan kegemaran Geert, Apfelkuchen dan Donner.
...
“Bist du okay?” [7]
Geert memecahkan lamunanku yang sedang memerhatikan sekelompok burung merpati yang bertebangan kala anak – anak kecil itu berlarian ke arah mereka.
“Ja, warum?” [8]
“Du bist so ruhig, Schatz” [9]
Aku membalasnya dengan senyuman dan menyuapkan sepotong Apfelkuchen ke dalam mulutnya. Geert menikmatinya dengan kunyahan yang renyah, di sekitar mulutnya tersisa remah – remah. Aku tertawa melihat tingkahnya yang tidak biasa, ia begitu santai dan tidak formal seperti kesehariannya. Ia sibuk dengan tangan yang mencoba membersihkan remah di ujung bibir kirinya. Geert, andai ia tahu, ia yang begitu diam akhir – akhir ini, ia berubah, menjadi sangat pendiam.
“Ich mӧchte ins Kino gehen. Hmm... Morgen Abend. Kommst du mit?” [10]
Geert tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia terlihat kaget dengan ajakanku yang mendadak. Lama sekali aku dan ia tidak pergi nonton ke bioskop. Bahkan menonton film di tempatnya pun sudah lama sekali rasanya sejak Now You See Me rilis. Ia selalu beralasan unitnya berantakan, atau jika aku mengajaknya menonton film saat ia berkunjung ke unitku. Ia menolaknya degan halus dan lebih menyukai duduk berdua menikmati langit yang jauh di sana.
“Geert? Schatz? Bist du da? Hӧrst du mich?” [11]
“Wie bitte? Was hast du gesagt?” [12]
“Ach, Quatsch!” [13]
Aku tak meneruskan perkataanku. Rasanya Geert selalu menghindar ketika aku mengajaknya pergi ke bioskop atau sekadar maraton dvd. Sudahlah, mungkin dia sudah tidak suka dengan kegiatan macam abg ini.
“Ich gehe mit Clara und Marthe ins Kino. Morgen Abend” [14]
Aku memberikan kalimat pernyataan dan tak berharap Geert akan menjawabnya. Cukup sudah ia merusak mood di siang hari yang cerah ini.
Anna, du hast gut gekocht. Es schmekt mir sehr gut” [15]
“Danke” [16]
Sisa hari itu kami habiskan dengan tenggelam dalam kesibukan masing – masing. Aku melahap habis novel yang kubawa sementara Geert menuntaskan makan siangnya sampai keranjang makananku bersih, tanpa remah sedikit pun.
“Danke für diesen tollen Tag. Tschüβ!” [17]
Geert mengucapkan salam perpisahan ketika kami sampai di pintu depan gedung apartementku. Seharusnya hari ini berakhir dengan baik sebagaimana kami mengawalinya. Ini semua karena Geert yang tak memerhatikanku dan menolak secara tidak langsung ajakanku. Geert berubah, tidak seutuhnya, hanya ia menjadi aneh dengan sering menolak ajakanku ke bioskop. Ini memang hal sederhana tapi menjadi luar biasa mengingat Geert yang dulunya gemar sekali pergi ke sana. Dan Geert yang seorang kolektor film.
...
Anna, wo bist du? Der Film fängt schon an. [18]

Komme gleich.  [19]
Aku tak menyangka pertengkaranku dengan Geert memanjang dan membuatku terlambat menemui teman – temanku. Kalau bukan karena pesan elektronik dari Marthe aku pasti sudah mengahabiskan sisa malamku berdebat dengan Geert via telepon genggam. Ada apa dengannya, mengapa menjadi berubah seperti ini, Geert tidak semenyenangkan dulu. Ada yang salah dengannya, aku harus tahu apa penyebab Geert yang mendadak marah padahal aku telah memberitahunya bahwa malam ini aku akan pergi nonton dengan Marthe dan Clara. Geert tunggu jadwal istimewa introgasi denganku, setelah aku selesai menonton Maleficent.
“Das Film war super! Wunderbar!” [20]
Aku setuju dengan pendapat Clara, film yang dibintangi Angelina Jollie itu sungguh luar biasa, aku terkesan pada tata riasanya yang luar biasa menakjubkan, pemerannya terlihat begitu berbeda dengan sosok aslinya.
“Ich muss Mal” [21]
“Ach, Marthe bitte” [22]
“5 Minuten”
Clara menemani Marthe ke toilet sementara aku menunggu di kedai kopi. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali segelas cappucino. Mungkin untuk menambah kesadaran saat nanti menginterogasi Geert. Aku mengantri di antrian yang lumayan panjang sembari menatap sekelilingku yang penuh dengan remaja, mungkin ini alasan Geert enggan hangout bersama. Ah, Geert. Aku kembali ingat padanya. Pada pertengkaran kami.
Aku menikmati secangkir cappucino dengan buih berbentuk daun yang menghiasinya. Seorang gadis melewatiku dan tersandung tepat di hadapanku. Cup kopinya tumpah, di sana tertulis Laura, aku tak peduli pada namanya, tubuhnya kini terkapar di hadapanku dan aku harus membantunya, tentu saja.
“Danke” [21]
“Pass auf!” [22]
Punggung Laura meninggalkanku semakin jauh ke luar daro kedai kopi. Aku memerhatikan tubuhnya yang mungil dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda, gadis yang manis. Mungkin dia lebih muda dariku.
“Anna!”
Marthe melepas lamunanku.

“Ich habe Bauchschmerzen” [23]
“Ach was! Wir gehen zurück” [24]
Kami bertiga berjalan ke Bushaltestelle terdekat. Udara musim panas membuat kami tak usah repot – repot mengenakan mantel. Cukup tshirt atau blus, selesai. Kami sedang menunggu bis ketika aku melihat Geert dan gadis yang namanya baru saja kuihat tertera pada cup kopi.
Laura! Geert! Was macht ihr?” [25]
Geert yang kaget melihatku dan kaget mendengar teriakanku, melepas rangkulannya pada Laura. Aku melihat sekotak pop corn yang baru saja dibuang oleh Laura. Mungkinkah mereka baru saja menonton.
“Geert?”
Geert tak menjawab pertanyaanku, ia masih terpaku melihat aku yang begitu merah padam. Di mana ia menaruh otaknya, berselingkuh dengan pergi ke bioskop di malam yang juga aku menonton dengan temanku. Pantas saja dia menolak tawaranku.
“Geert!”
Aku meninggalkannya yang masih saja diam dan tidak berusaha menghentikanku atau bahkan hanya sekadar menyeruku. Geert!
...
Berbulan lamanya aku dan Geert tidak berbagi kabar, semenjak malam itu kami tak salinh menghubungi. Tak ada usaha dari Geert untuk menjelaskan akar permasalahan ini. Mungkin baginya cukup jelas dan cukup sudah aku melihatnya berselingkuh. Selesai.

Aku mengambil Iphoneku, memasukan nomor Laura, menunggu panggilanku terhubung, ada nada sambung di sana. Aku menunggu beberapa saat sampai dengan terdengar suara renyah seorang gadis di ujung sana.
“Hallo,...”
Laura! Hier ist Anna” [26]
Anna, wie geht’s du? Hast du schon mal meine E-mail gelesen?” [27]
“Ja, natürlich. Damit ich dich anrufen kann” [28]
Anna, wir müssen uns treffen. Schneller desto besser,  jetzt?” [29]
“Ich habe keine Zeit, erzähl mir jetzt!” [30]
Laura menjelaskan semuanya padaku. Soal Geert yang penglihatannya terganggu karena kerusakan fungsi kornea sehingga ia tidak dapat menerima berkas cahaya dengan baik. Soal Laura sendiri yang ternyata adalah tunangan Geert. Mereka dijodohkan saat natal terakhir, pertemuan keluarga yang tidak mereka sangka akan berujung pada perjodohan. Geert dan Laura adalah sahabat kecil yang sejak kini masih bersahabat walau baru bertemu kembali saat natal kemarin. Laura tinggal di Rusia dan menghabiskan masa kuliahnya di sana. Ia sungguh menyesal atas kejadian malam itu, ia tak tahu bahwa Geert sudah memiliki pasangan. Geert tak pernah bercerita, begitu pun keluarga Geert yang tak pernah memberi tahu. Tentu saja, selama ini aku dan Geert menjalani hubungan tanpa ikrar yang resmi.
Aku tidak mendengarkan sisa penjelasan dari Laura. Yang ada dipikiranku hanyalah aku yang buta tak melihat tingkah laku Geert yang berubah. Aku yang buta tak melihat Geert yang nyaris buta. Dan aku yang buta, hatiku, tak peka pada kegundahan diri Geert. Selamat untuk mereka kuucapkan. Viel Glück .

...

 [1] Aku tidak bisa melihat dengan jelas tapi percayalakh aku mencintaimu.

 [2] Untuk Anna,

 [3] Akhirnya aku telah mendapatkan alamat e-mailmu. Aku ingin lebih cepat mengirimkan e-mail padmau tapi Geert tidak membiarkanku. Anna! Aku memiliki hubungan yang rumit dengan Geert. Kita harus bertemu sehingga aku bisa menjelaskan kepadamu. Jika kamu memiliki waktu luang hubungi aku. kapan dan di mana terserah maumu.

 [4] P.S. Ini adalah nomer teleponku 445789022

[5] Salam

 [6] Kota romantis

 [7] Apakah kamu baik – baik saja?

 [8] Iya, kenapa?

 [9] Kamu sangat pendiam, sayang

[10] Aku ingin pergi ke bioskop. Hmm.... Besok malam, apakah kamu ikut?

 [11] Geert? Sayang? Kamu di sana? Apakah kamu mendengarku?

 [12] Apa? Apa yang telah kamu katakan?

 [13] Ah, sialan

 [14] Aku pergi ke bioskop bersama Clara dan Marthe. Besok malam.

 [15] Anna, kamu telah memasak dengan baik. Ini sangat enak

 [16] Terimakasih

 [17] Terimakasih untuk hari luar biasa ini. Selamat tinggal

 [18] Anna, kamu di mana? Filmnya sudah mulai

 [19] Aku segera datang

 [20] Filmnya tadi luar biasa

 [21] Aku harus ke toilet

 [22] Ah, Marthe, tolong

 [21] Terimakasih

 [22] Hati - hati

 [23] Aku sakit perut

 [24] Ah, kita pulang

 [25] Laura! Geert! Apa yang kalian lakukan?

 [26] Laura! Ini Anna

 [27] Anna, apa kabarmu? Apakah kamu sudah membaca E-mailku?

 [28] Iya, tentu saja. Karena itu aku menelepon

 [29] Anna, kita harus bertemu. Lebih cepat lebih baik, sekarang?

 [30] Aku tidak punya waktu, jelaskan padaku sekarang!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar