Jumat, 18 Juli 2014

Adira


Aku mencari sampai ke ujung dimensi, tak ada yang menanti apalagi memuji. Aku terus mencari sampai akhirnya kutemui, bukan sebuah akhir, melainkan awal dari sebuah hari yang terus berganti.
Dataran tinggi Kota Bandung selalu berhasil menyuguhkan pemandangan yang indah, lukisan langit tak berujung bukti kuasa Tuhan Yang Maha Agung. Mega mendung dan orang – orang yang berpayung. Bandung dengan suguhan keindahan yang tak terbendung.
Sore ini pun tak kalah menawan dari sore – sore sebelumnya, aku memandangi langit yang beranjak senja dari bukit yang kami sebut Bukit Moko. Hadiah yang setimpal untuk kami, terutama aku, yang telah berjuang mati – matian agar mampu mencapai tempat paling tepat untuk menikmati pergeseran warna langit. Bukan sebuah perjalanan yang mudah tapi menyenangkan. Jalanan yang terjal dan masih berupa bebatuan, belum terjama aspal, membuat kami, terutama aku, kesulitan melewatinya. Aku melihat beberapa pasangan berdiri di pinggir jalan, mengistirahatkan kendaraan mereka dan sesekali mengambil gambar diri berlatar hutan dan rumah warga. Pasangan muda yang sedang dibuai asmara. Aku masih memandangi langit biru yang kini keunguan dengan semburat jingga yang manis menenangkan, bagai permen kapas yang lumer di mulut.
Sore ini kedua kalinya aku menikmati langit senja dari Bukit Moko bersama beberapa pasang mata yang takjub akan kuasa Tuhan, tak jarang di antara mereka mencuri – curi kesempatan meraih lengan pasangannya, menggenggamnya lama, hingga langit menjadi gelap, tak ada penerangan di bukit ini selain bohlam – bohlam ber-watt rendah yang di pasang di ketiga saung tempat beberapa orang duduk santai menikmati kopi dan larut dalam perbincangan mereka. Penerangan selanjutnya hanyalah beberapa remaja tanggung yang berfoto dengan kamera ber-flash. Foto saja di siang hari kalau mau terang kelihatan muka, bukan malam gelap seperti ini, naikan saja isonya. Beberapa pasangan yang sedang saling menggenggam tangan dan bersender pundak sepertinya merasa terganggu sama sepertiku.
Asap bandrek mengepul ketika seorang pria jangkung yang sangat aku kenali dan benci, mengangkat cangkir di hadapannya dan memberikan pada gadis berambut panjang teruai sebahu di sampingnya.
“Nih. Keburu dingin”
Gadis itu tersenyum manis pada pria di sampingnya, ia mengikat rambut panjang sebahunya dengan asal, lalu menerima secangkir bandrek hangat dan menyeruputnya dengan anggun. Ia menggenggam cangkir itu, seolah merasakan hangatnya dinding cangkir. Gadis itu menatap lurus ke depan, dari tempat mereka duduk jelas sekali terlihat lampu yang berwarna – warni, menandakan kehidupan malam di Kota Bandung.
“Kok rambutnya diiket” tanya pria itu
Gadis itu memandang pria di sampingnya dengan raut muka keheranan.
“Kok diiket, kan aku jadi suka, cantik”
Gadis itu tersenyum geli mendengar celetukan iseng pria itu, ia menjulurkan lidahnya dan kembali larut dalam secangkir bandrek dan lampu malam Kota Bandung yang membawanya kembali merenungi apa yang ganjil dari semua kesempurnaan ini.
Gadis itu adalah sahabatku, sejak pertama kali ia menemukanku tergeletak di pinggir jalan dekat rumahnya. Ia tidak mencuriku, sungguh. Ia sempat membawaku ke kantor polisi dan memajang fotoku di berita kehilangan namun sayangnya tak ada kabar baik yang masuk ke ponselnya. Kantor polisi pun seolah tutup pintu pada laporan beritanya. Akhirnya ia membawaku pulang ke rumahnya setelah membayar sejumlah uang yang tak masuk akal untuk apa. Jadilah aku tinggal bersamanya setelah dengan luar biasa ia memperbaiki aku yang sudah uzur ini.
Aku menemaninya setiap hari, ke manapun ia pergi. Ia gadis yang cantik dan menarik dengan pribadinya yang gemar bongkar pasang mesin. Ia ahli otomotif, aku yang keluaran Jerman dan sudah uzur ini dirubahnya menjadi motor tua yang masih sanggup beradu kecepatan setiap malam minggu di Gasibu. Dan dari Gasibu semua cerita kelam itu dimulai.
Seperti biasa setiap malam minggu ia mengajakku berkumpul bersama kawannya, menikmati asap yang mengepul dari knalpot motor - motor di arena balap, tak jarang beberapa dari mereka ada yang terjatuh atau bahkan saling menyenggol, aku suka saat melihatnya tertawa. Ia memiliki semacam virus yang menular saat tertawa, siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh hati dan rela berlama – lama memandang senyumnnya, termasuk aku.
Aku sudah lama bersamanya dan mengenal betul dirinya, selama ini aku selalu merasa ada yang aneh dari pandangan matanya. Matanya berbinar, namun ada keraguan di dalamnya, ia seolah kesakitan. Aku mencari – cari rahasia di balik mata indahnya. Tak ada jawaban yang pasti sampai akhirnya ia menceritakan semua permasalahannya padaku. Membawaku ke bukit di mana terakhir kalinya ia merasakan hangatnya pelukan Adira.
Dengan wajah yang sedih ia menceritakan semua tentang Adira padaku. Tentangnya yang sepenuhnya percaya pada perasaan yang ia rasakan pada Adira, juga tentangnya yang merasa tertipu dan begitu bodoh karena dipecundangi Adira. Dia merasa sangat dungu percaya pada pria yang tega berdusta padanya sekian lama. Adira tidak benar – benar mencintainya. Aku masih ingat apa yang ia katakan sebagai penutup ceritanya.
“Anggap saja aku ini track lari, habis dipakai ditinggal pergi”
Aku begitu sedih mendengar ceritanya, lebih sedih lagi mengingat wajahnya yang begitu terpukul dan matanya yang tak bisa berbohong, aku dapat melihatnya dengan jelas, ia sakit. Lelaki bernama Adira ini benar – benar ada di daftar pertama pencarianku, aku sungguh akan menggilasnya sampai ke ulu hati.
Semenjak mendengar ceritanya aku bersumpah akan mencari pria tak berotak di lutut bernama Adira. Kurasa dia sering terjatuh hingga otaknya yang di lutut itu terbentur berkali – kali dan menjadi bodoh ribuan kali lipat karena dengan tega meninggalkan sahabatku yang sempurna ini. Dia pikir dia Dicaprio!
Setiap malam tanpa sepengetahuannya aku keluar dari garasi mencari pria dungu bernama Adira, pencarianku tak semudah aku membayangkannya. Mungkin semua orang sudah tahu cerita ambulance yang berliaran pada malam hari di sepanjang jalanan Kota Bandung. Kini, kisah itu bertambah dengan motor tua kuning yang berkeliaran tanpa pengendara.
Aku tak peduli apa kata mereka, yang ingin aku lakukan hanyalah menggilas pria bodoh bernama Adira yang tega meninggalkan sahabatku. Aku bersumpah menghancurkan otaknya yang kosong tak berisi itu.
Pencarianku tak semudah menghidupkan mesin motor, aku bahkan tak tahu wajah Adira ini, bagaimana aku dapat menemukannya. Sial.
Adira di luar sana mungkin senang mengetahui aku yang kesulitan menemukannya. Mungkin aku memerlukan bantuan ambulance itu untuk menemukan Adira dan mengantarkannya langsung ke rumah duka.
Aku mulai frustasi untuk menemukan Adira ini namun aku tetap berusaha, sebelum Adira kutemukan kiamat pun akan kuhentikan. Adira!
Suatu hati aku kehilangan fokus saat berkendara bersamanya, entah apa yang terjadi banku salip dan aku menabrak sebuah pohon, helmnya yang tak terpasang sempurna jatuh sebelum akhirnya ia terpental jauh menubruk dinding dan meninggalkan bercak darah di sana. Kepalanya terbentur dan ia tak sadarkan diri bahkan setibanya di rumah sakit ia masih memejamkan mata. Aku yang sudah ringsek tak berguna ini hanya sempat melihatnya di bawa orang – orang berpakaian putih dengan ranjang beroda.
Berhari – hari aku menunggu di rumah namun ia tak kunjung pulang, aku mulai khawatir. Ingin rasanya menyusul ke rumah sakit, namun apa daya aku tak mau semua orang histeris melihat motor tanpa pengendara memacu kecepatan di koridor rumah sakit. Mati semua pasien di sana, termasuk perawat dan dokternya.
Hingga hari itu pun tiba dan aku bahagia melihatnya kembali walau dengan kening diperban, perban itu mengelilingi bagian atas kepalanya, tapi ia tetap cantik. Aku senang melihatnya kembali namun murka melihat orang yang mengantarnya pulang.
“Dir, pelan - pelan”
Dugaanku tepat. Pria yang dipanggilnya Dir itu adalah Adira yang selama ini aku cari. Ia mengantar sahabatku tercinta pulang dan sungguh wajahnya begitu polos tanpa menyesali dosa masa lalu, apa yang terjadi dengan sahabatku. Lupakah dia pada si bodoh Adira ini.
Hari – hari berikutnya Adira selalu menemani sahabatku dan menggantikan posisiku. Aku kini hanya berdiam diri di gudang menunggu mungkin ia mau kembali memperbaikiku dan sudi aku temani berjalan – jalan. Apa yang bisa motor uzur rusak sepertiku lakukan.
Semenjak hadirnya Adira lagi sahabatku menjadi lebih riang, ia kini sehat selayaknya dirinya yang dulu gemar membawaku ke arena balap. Aku heran saat melihat ekspresi pertamanya melihatku yang rusak ini, seolah ia baru bertemu denganku, sama seperti waktu itu. Ia memperbaiki aku, lagi. Walaupun kini aku jarang dipakainya. Adira selalu setia menemani ke mana pun ia pergi. Adira bodoh yang kini mendapat kesempatan kedua dari Tuhan dan merenggut kesempatanku. Rasanya ingin aku panggil si ambulance temanku itu.
Kami pergi ke bukit itu lagi, bukit di mana Adira dengan lancang meninggalkan sahabatku. Aku tak mengerti kenapa ia mau diajak Adira kembali ke sini. Aku sungguh tidak paham.
“Kamu kok diem, sakit lagi kepalanya?”
“Enggak kok”
“Ngelamun?”
”Kayak ada yang hilang, Dir... Aku nggak tahu apa”
“Kan ada aku, kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan pernah pergi”
...
Sepenggal pengakuan dariku,
Andai Adira tahu, saat itu aku bingung tak tahu apa yang terjadi kepadaku. Adira adalah kekasihku harusnya aku tak perlu merasa kesepian. Namun, ini sedikit aneh, aku merasa ada yang salah denganku, dengan Adira bahkan dengan motor kuning itu. Aku bahagia menikmati langit senja bersamanya namun tak lebih bahagia daripada aku berkendara dengan motor itu. Aku merasakan ikatan batin dengannya, seolah kami teman, atau bahkan kekasih yang ditakdirkan bahagia bersama untuk selamanya. Aku bingung, terlebih saat aku melihat kaca depan motorku yang basah sepulang kami dari Moko, setelah Adira melamarku, aku tak tahu apa yang salah hanya saja aku rasa lamaran itu kurang tepat dan motorku seolah sedih karenanya. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh tapi sungguh aku jatuh cinta pada motor kuningku.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar