Sabtu, 19 Juli 2014

Kisah Cinta dari Kisahku [ bagian 3 ]

Ia termenung di hadapan jendela ms.word yang bersih  tanpa satu titik pun. Telunjuknya yang ramping mengetuk – ngetuk meja dengan tempo yang cepat. Jangan tanya bagaimana raut mukanya, kacamatanya melorot dengan bibir yang dimonyonkan ke depan, tatapan mata cokelatnya lurus ke layar yang masih saja kosong setelah berjam – jam ia pandangi. Terang saja kosong, seharusnya ia mengetikan sesuatu di sana bukan hanya sekadar memandangnya dengan takjub dan luar biasa, tak akan ada kata yang tiba – tiba muncul jika hanya dipandangi saja.
“Scheisse!” 1
Seorang pria jangkung berambut mirip jagung menghampiri gadis yang terlihat frustasi di atas meja kerjanya.
“Was ist los, Schatzi?” 2
“Ich habe schon 3 Stunden lange hier gesessen. Und ich tut nichts” 3
“Du sollst ins Bed gehen” 4
“Aber ich muss arbeiten” 5
“Du bist kein Wonderwoman. Du brauchst Schlafen. Jetzt!” 6
Gadis itu masih duduk di meja kerjanya dan memandangi layar laptopnya. Kini ia membuka salah satu bagian cerita yang seharusnya malam ini telah memiliki akhir. Cerita itu masih menggantung dan ia sama sekali kehabisan ide untuk mengakhiri ceritanya.
Ia membaca kalimat pembuka ceritanya yang menjelaskan suasana Neckar di sore hari menjelang musim semi. Anak – anak yajng bermain Ponyfarm, remaja yang bergerombol, keluarga yang piknik dengan bahagia juga pria yang duduk di pinggiran Neckar sembari membaca roman karya Theodor Fontane yang berjudul Effi Briest. Itu adalah roman kesukaan gadis itu, gadis yang membuat cerita tentang pria di pinggiran Neckar yang pada akhirnya merebut perhatiannya.
Ia berhenti membaca setelah selesai pada bagian di mana ia membuat pria dalam kisahnya bertemu dengan gadis pirang pelayan toko. Entah, apa yang ada dalam pikirannya, kenapa ia harus mempertemukan pria yang sebenarnya ia sukai dengan seorang pelayan toko yang terjatuh daari sepeda, di pinggiran Neckar pula.
Ia senang pria dalam kisahnya bertemu gadis pirang pelayan toko, mereka merajut kasih dan saling mencintai, setidaknya begitulah cerita yang ia buat. Namun, semenjak ia merasa jatuh hati pada tokoh pria dalam ceritanya, ia seolah bingung untuk meneruskan ceritanya, ia tak tahu arah ceritanya yang entah mau di bawa ke mana. Ia senang ketika pria itu dibuat bahagia bersama gadis pirang. Walau sebenarnya sang pria lebih memilih gadis yang membuatkannya cerita daripada si pirang ini.
Gadis itu sesungguhnya bahagia membaca pria yang dicintanya sedang memeluk gadis pirang yang sedang menerima musibah. Ia sebenarnya bahagia, memberikan sifat perhatian dan tanggung jawab pada pria yang dibuatnya itu. Dan sifat yang diberikannya itu terbukti lewat perilaku pria idamannya pada si gadis pirang. Hanya saja ada perasaan ganjil ketika ia membuatkan kisah cinta antara pria yang dicintanya dengan gadis pirang pelayan toko. Ia merasa ini perasaan semacam tidak menerima melihat orang yang ia cinta bersama dengan orang lain. Ia tahu ada Greck yang bersamanya kini, namun pria dalam kisahnya ini jauh lebih membuatnya jatuh cinta daripada Greck.
“Schatzi!” 7
“Ich weiss ja genau aber bitte lass mich allein!” 8
Greck kembali duduk, ia menarik kursi yang sebelumnya berdiri di belakang gadis itu tepat ke samping gadisnya. Ia memandangi layar laptop gadisnya.
“Bist du fertig?” 9
“Noch nicht” 10
Greck terdiam, membiarkan gadisnya kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Ia kembali pada layar ms.word, meneruskan ceritanya yang belum selesai dibaca dan ditulis. Ia bertanya pada dirinya sendiri apa sebenarnya yang ia mau, ia terlanjur jatuh hati pada pria dalam kisahnya dan tak mau membiarkan pria itu bersama si gadis pirang. Ia ingat, saat dengan egoisnya memunculkan tokoh pria asing yang menjadi selingkuhan si pirang agar pria idamannya tidak terikat hubungan dengan siapa pun. Ia terlalu cemburu membuat cerita kebersamaan prianya dengan si pirang. Ia senang namun tak enak hati membaca kebahagiaan di antara dua insan yang dibuatnya. Bagaimana pun ia hanya seorang gadis biasa yang jatuh cinta, wajar jika merasa cemburu pada pria yang disukanya.
“Schatz, es ist 11.00 Uhr Abend” 11
“Moment” 12
Greck mengingatkan gadisnya bahwa ini sudah hampir tengah malam.
Ia tahu dan tak perlu Greck mengingatkan, hanya saja ia belum bisa tidur dengan tenang jika cerita ini masih belum ada akhirnya. Dan ia jauh tidak lebih tenang jika harus memaksakan akhir dengan memunculkan gadis lain yang nantinya hanya akan bernasib seperti si pirang.

Ia meremas – remas udara di sekitarnya, ia menjenggut rambutnya dan terliht nampak frustasi. Ia menjeduk – jedukan kepalanya ke meja. Seperti mencari inspirasi atau mungkin jalan untuk mati. Ia bingung, tak tahu harus seperti apa menyelesaikan cerita yang dibuatnya.
Greck di sampingnya hanya terdiam, tak berani lagi berkata – kata walau sesungguhnya ia sungguh khawatir pada gadisnya yang belakangan tak pernah tidur dengan baik.
Kalau boleh jujur, Greck lebih khawatir pada gadisnya yang belakangan ini berubah. Semenjak ia memulai cerita itu, ia terlihat lebih murung, lebih bahagia, lebih pendiam, lebih menjauh dari Greck. Greck sesungguhnya khawatir gadisnya akan semakin menjauhi dirinya. Ia khawatir, pria dalam cerita itu akan merebut hati gadisnya. Mungkin orang akan menganggap Greck pria yang tak waras. Namun, coba pikir, pria mana yang tak khawatir jika gadis yang akan segera ia nikahi jatuh cinta pada pria lain, pria yang gadisnya sendiri ciptakan.
Semenjak gadisnya menciptakan tokoh pria itu, Greck sudah teramat khawatir, pasalnya setiap hari perangai gadisnya semakin berubah – ubah, ia takut kehilangan gadisnya, takut pernikahannya batal, takut gadisnya semakin terjebak di dunianya sendiri.
“Schatz” 13
Gadisnya tak menyahut. Gadis itu masih terdiam seperti melamun setelah selesai membaca cerita yang dibuatnya. Greck tidak tahu, bahwa sebenarnya gadisnya sedang jatuh ke dalam dunia yang dibuatnya. Ia sedang merangkai pertemuan indah dengan pria dalam cerita. Ia sedang berbincang akrab dengan pria itu di pinggiran Neckar. Membahas roman Effi Briest kesukaan mereka. Ia pun sedang merangkai kata – kata untuk mencerminkan cinta di antara mereka.
“Schatz! Schneller” 14
Gadis itu seolah mendengar suara Greck dan menginterpretasikannya pada cerita yang ia buat. Cepat. Dengan cepat ia menyelesaikan ceritanya, ia buat pria dalam cerita yang ia cintai jatuh cinta begitu cepat pada gadis yang baru saja ia tambahkan pada cerita. Gadis itu tak lain adalah gambaran dirinya sendiri. Penulis egois mana yang rela tokoh yang ia cintai jatuh cinta pada orang lain dan bahagia bersama orang lain, bukan dirinya. Ia tak mau, walau hanya dalam cerita ia ingin kisah cinta mereka bersatu.        
Ia membuat kisah cinta antara teori relativitas dengan Albert Einstein menjadi syah. Ia membuat semuanya menjadi boleh dan legal.

“Schatz, ich habe dich lieb” 15
Ia membubuhkan titik pada kisah yang selama ini membuatnya merasa bersalah pada Greck. Kalimat cinta dari Greck menyadarkannya akan batasan dunia nyata dan mana yang fana.



1 “Sialan”


2 “Apa yang terjadi, sayang?”

3 “Aku sudah duduk selama tiga jam lamanya di sini. Dan, aku tidak melakukan apapun”

4 “Kamu harus pergi tidur”

5 “Tapi, aku harus pergi kerja”

6 “Kamu bukan Wonderwoman. Kamu butuh tidur. Sekarang!!”

7 “Sayang!”

8 “Aku tahu tapi tolong tinggalkan aku sendiri!”

9 “Apakah kamu sudah selesai?”

10 “Belum pernah”

11 “Sayang, ini sudah pukul 11.00 malam”

12 “Sebentar”

13 “Sayang”

14 “Sayang! Lebih cepat”

15 “Sayang, aku cinta padamu”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar