Ia
termenung di hadapan jendela ms.word
yang bersih tanpa satu titik pun.
Telunjuknya yang ramping mengetuk – ngetuk meja dengan tempo yang cepat. Jangan
tanya bagaimana raut mukanya, kacamatanya melorot dengan bibir yang dimonyonkan
ke depan, tatapan mata cokelatnya lurus ke layar yang masih saja kosong setelah
berjam – jam ia pandangi. Terang saja kosong, seharusnya ia mengetikan sesuatu
di sana bukan hanya sekadar memandangnya dengan takjub dan luar biasa, tak akan
ada kata yang tiba – tiba muncul jika hanya dipandangi saja.
“Scheisse!” 1
Seorang
pria jangkung berambut mirip jagung menghampiri gadis yang terlihat frustasi di
atas meja kerjanya.
“Was ist los, Schatzi?” 2
“Ich habe schon 3 Stunden lange hier gesessen. Und ich
tut nichts” 3
“Du sollst ins Bed gehen” 4
“Aber ich muss arbeiten” 5
“Du bist kein Wonderwoman. Du brauchst Schlafen. Jetzt!”
6
Gadis
itu masih duduk di meja kerjanya dan memandangi layar laptopnya. Kini ia
membuka salah satu bagian cerita yang seharusnya malam ini telah memiliki
akhir. Cerita itu masih menggantung dan ia sama sekali kehabisan ide untuk
mengakhiri ceritanya.
Ia
membaca kalimat pembuka ceritanya yang menjelaskan suasana Neckar di sore hari
menjelang musim semi. Anak – anak yajng bermain Ponyfarm, remaja yang
bergerombol, keluarga yang piknik dengan bahagia juga pria yang duduk di
pinggiran Neckar sembari membaca roman karya Theodor Fontane yang berjudul Effi
Briest. Itu adalah roman kesukaan gadis itu, gadis yang membuat cerita tentang
pria di pinggiran Neckar yang pada akhirnya merebut perhatiannya.
Ia
berhenti membaca setelah selesai pada bagian di mana ia membuat pria dalam
kisahnya bertemu dengan gadis pirang pelayan toko. Entah, apa yang ada dalam
pikirannya, kenapa ia harus mempertemukan pria yang sebenarnya ia sukai dengan
seorang pelayan toko yang terjatuh daari sepeda, di pinggiran Neckar pula.
Ia
senang pria dalam kisahnya bertemu gadis pirang pelayan toko, mereka merajut
kasih dan saling mencintai, setidaknya begitulah cerita yang ia buat. Namun,
semenjak ia merasa jatuh hati pada tokoh pria dalam ceritanya, ia seolah
bingung untuk meneruskan ceritanya, ia tak tahu arah ceritanya yang entah mau
di bawa ke mana. Ia senang ketika pria itu dibuat bahagia bersama gadis pirang.
Walau sebenarnya sang pria lebih memilih gadis yang membuatkannya cerita
daripada si pirang ini.
Gadis
itu sesungguhnya bahagia membaca pria yang dicintanya sedang memeluk gadis
pirang yang sedang menerima musibah. Ia sebenarnya bahagia, memberikan sifat
perhatian dan tanggung jawab pada pria yang dibuatnya itu. Dan sifat yang
diberikannya itu terbukti lewat perilaku pria idamannya pada si gadis pirang.
Hanya saja ada perasaan ganjil ketika ia membuatkan kisah cinta antara pria
yang dicintanya dengan gadis pirang pelayan toko. Ia merasa ini perasaan
semacam tidak menerima melihat orang yang ia cinta bersama dengan orang lain.
Ia tahu ada Greck yang bersamanya kini, namun pria dalam kisahnya ini jauh
lebih membuatnya jatuh cinta daripada Greck.
“Schatzi!” 7
“Ich weiss ja genau aber bitte lass mich allein!” 8
Greck
kembali duduk, ia menarik kursi yang sebelumnya berdiri di belakang gadis itu
tepat ke samping gadisnya. Ia memandangi layar laptop gadisnya.
“Bist du fertig?” 9
“Noch nicht” 10
Greck
terdiam, membiarkan gadisnya kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Ia
kembali pada layar ms.word,
meneruskan ceritanya yang belum selesai dibaca dan ditulis. Ia bertanya pada
dirinya sendiri apa sebenarnya yang ia mau, ia terlanjur jatuh hati pada pria
dalam kisahnya dan tak mau membiarkan pria itu bersama si gadis pirang. Ia
ingat, saat dengan egoisnya memunculkan tokoh pria asing yang menjadi
selingkuhan si pirang agar pria idamannya tidak terikat hubungan dengan siapa
pun. Ia terlalu cemburu membuat cerita kebersamaan prianya dengan si pirang. Ia
senang namun tak enak hati membaca kebahagiaan di antara dua insan yang
dibuatnya. Bagaimana pun ia hanya seorang gadis biasa yang jatuh cinta, wajar
jika merasa cemburu pada pria yang disukanya.
“Schatz, es ist 11.00 Uhr Abend” 11
“Moment” 12
Greck
mengingatkan gadisnya bahwa ini sudah hampir tengah malam.
Ia
tahu dan tak perlu Greck mengingatkan, hanya saja ia belum bisa tidur dengan
tenang jika cerita ini masih belum ada akhirnya. Dan ia jauh tidak lebih tenang
jika harus memaksakan akhir dengan memunculkan gadis lain yang nantinya hanya
akan bernasib seperti si pirang.
Ia
meremas – remas udara di sekitarnya, ia menjenggut rambutnya dan terliht nampak
frustasi. Ia menjeduk – jedukan kepalanya ke meja. Seperti mencari inspirasi
atau mungkin jalan untuk mati. Ia bingung, tak tahu harus seperti apa
menyelesaikan cerita yang dibuatnya.
Greck
di sampingnya hanya terdiam, tak berani lagi berkata – kata walau sesungguhnya
ia sungguh khawatir pada gadisnya yang belakangan tak pernah tidur dengan baik.
Kalau
boleh jujur, Greck lebih khawatir pada gadisnya yang belakangan ini berubah.
Semenjak ia memulai cerita itu, ia terlihat lebih murung, lebih bahagia, lebih
pendiam, lebih menjauh dari Greck. Greck sesungguhnya khawatir gadisnya akan
semakin menjauhi dirinya. Ia khawatir, pria dalam cerita itu akan merebut hati
gadisnya. Mungkin orang akan menganggap Greck pria yang tak waras. Namun, coba
pikir, pria mana yang tak khawatir jika gadis yang akan segera ia nikahi jatuh
cinta pada pria lain, pria yang gadisnya sendiri ciptakan.
Semenjak
gadisnya menciptakan tokoh pria itu, Greck sudah teramat khawatir, pasalnya
setiap hari perangai gadisnya semakin berubah – ubah, ia takut kehilangan
gadisnya, takut pernikahannya batal, takut gadisnya semakin terjebak di dunianya
sendiri.
“Schatz” 13
Gadisnya
tak menyahut. Gadis itu masih terdiam seperti melamun setelah selesai membaca
cerita yang dibuatnya. Greck tidak tahu, bahwa sebenarnya gadisnya sedang jatuh
ke dalam dunia yang dibuatnya. Ia sedang merangkai pertemuan indah dengan pria
dalam cerita. Ia sedang berbincang akrab dengan pria itu di pinggiran Neckar.
Membahas roman Effi Briest kesukaan mereka. Ia pun sedang merangkai kata – kata
untuk mencerminkan cinta di antara mereka.
“Schatz! Schneller” 14
Gadis
itu seolah mendengar suara Greck dan menginterpretasikannya pada cerita yang ia
buat. Cepat. Dengan cepat ia menyelesaikan ceritanya, ia buat pria dalam cerita
yang ia cintai jatuh cinta begitu cepat pada gadis yang baru saja ia tambahkan
pada cerita. Gadis itu tak lain adalah gambaran dirinya sendiri. Penulis egois
mana yang rela tokoh yang ia cintai jatuh cinta pada orang lain dan bahagia
bersama orang lain, bukan dirinya. Ia tak mau, walau hanya dalam cerita ia
ingin kisah cinta mereka bersatu.
Ia
membuat kisah cinta antara teori relativitas dengan Albert Einstein menjadi
syah. Ia membuat semuanya menjadi boleh dan legal.
“Schatz,
ich habe dich lieb” 15
Ia
membubuhkan titik pada kisah yang selama ini membuatnya merasa bersalah pada
Greck. Kalimat cinta dari Greck menyadarkannya akan batasan dunia nyata dan
mana yang fana.
1 “Sialan”
2 “Apa yang
terjadi, sayang?”
3 “Aku sudah
duduk selama tiga jam lamanya di sini. Dan, aku tidak melakukan apapun”
4 “Kamu harus
pergi tidur”
5 “Tapi, aku harus
pergi kerja”
6 “Kamu bukan
Wonderwoman. Kamu butuh tidur. Sekarang!!”
7 “Sayang!”
8 “Aku tahu
tapi tolong tinggalkan aku sendiri!”
9 “Apakah kamu
sudah selesai?”
10 “Belum
pernah”
11 “Sayang,
ini sudah pukul 11.00 malam”
12 “Sebentar”
13 “Sayang”
14 “Sayang!
Lebih cepat”
15 “Sayang,
aku cinta padamu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar