Bagaimana rasanya menunggu dengan perasaan yang tak
menentu. Bagaimana harus meredakannya yang meraju jika meraihnya saja aku tak
mampu. Bagaimana rasanya menjadi dia yang menunggu, maafkan aku.
Rasanya badanku lebih ringan dari biasanya. Seolah
seluruh beban menguap bersama molekul – molekul yang terurai menjadi atom –
atom yang sama sekali tak terlihat dan terjamah. Setiap langkahku terasa
seringan permen kapas yang dulu aku dan ia makan setangkai bersama di pasar
malam. Aku rindu dia.
Aku rindu saat kami berbagi serantang nasi dan sambal
serta tahu tempe di atas gubuk dekat sawah tempat aku mengais rejeki. Ia selalu
membawakan makan siang yang walau sederhana namun sungguh terasa nikmat.
Apalagi dimakan berdua di tengah sawah dengan semilir angin yang berhembus dan
membuat rambutnya terbang ke sana – ke mari. Dengan cepat ia akan mengikatnya
tepat seleher dan menariknya ke depan.
Aku juga ingat saat sore menjelang, kami sering bersepeda bersama mengelilingi kampung. Aku
memboncengnya di belakang. Ia memelukku dengan erat dan hangat. Walau hanya
bermodal sepeda tua aku senang, dia senang, kami senang berbagi kasih sayang.
Aku pernah berjanji padanya dan bagiku sekali aku
berjanji maka itu berlaku selamanya. Selamanya yang tak mengenal batas ruang
dan waktu, tak peduli jarak dan bahkan mengesampingkan dimensi. Tak ada yang
akan menghalangi aku, ksatria yang kalau sudah berjanji pasti menepati. Aku ini
laki – laki malu kalau banyak mengumbar janji tanpa satu pun ditepati.
Aku berjanji padanya kembali dengan modal untuk
meminangnya. Aku sudah berjanji dan apapun yang terjadi aku akan menepatinya.
Tak ada yang dapat mengahalangi. Bahkan takdir Tuhan sekalipun, aku tak peduli.
Malam ini aku mencoba kembali menemuinya, aku mengetuk
pintu rumahnya namun tak ada jawaban. Bilik sederhana itu terlihat gelap,
sepertinya memang tak ada orang di dalamnya. Berhari – hari aku mencoba
menemuinya namun nihil, tak ada hasil. Aku kembali menapaki jalanan kampung yang
bermodal cahaya bulan.
Ada yang ganjil dari kampung ini, sekarang suasananya
terasa lebih sepi dan harus kuakui ini sedikit mencekam. Beberapa obor yang
biasa dipasang di persimpangan jalan belakangan mati setiap aku melewatinya.
Aku ini laki – laki siapa bilang tak boleh takut, aku pemberani, hanya saja ini
sedikit membuatku merinding.
Hal ganjil lainnya, setiap kali aku menapaki jalan, ada
seorang nona yang duduk di persimpangan jalan dekat rumah wanita yang sangat
aku rindukan
Nona bergaun
putih itu duduk lemas di atas batu dengan memegang erat setangkai bunga tak berkelopak. Pandangannya tertuju
pada satu genangan air yang menenggelamkan kedua telapak kakinya, seolah dua
kutub magnet berlawanan yang saling menarik, semakin dalam ia menunduk
semakin aku dibuatnya penasaran. Entah berapa banyak malam yang aku
lewati dengan melihatnya duduk menghadap jalanan sempit kampung kami. Ingin
rasanya kutepuk pundak nona itu, memandang wajahnya, mencari tahu ekspresi di
balik uraian rambut yang menutupi wajahnya, mengajaknya berbincang atau hanya
untuk sekedar bertukar sapa.
Nona itu seolah
tak terusik dengan segala rasa penasaranku. Ia masih diam dalam kesunyiannya
yang sendiri, seperti sedang menikmati nyanyian selamat tidur, menunggu bulan
mengecup keningnya untuk mengantar tidur, menunggu ucapan selamat malam dari
bintang - bintang yang menghiasi langit. Entahlah, nona itu dengan segala
diamnya semakin membuatku tak bisa membendung rasa ingin tahu yang mulai liar.
Malam ini kucoba
mengabulkan permintaan keingintahuanku yang liar, perlahan aku berjalan
mendekati nona itu. Aroma - aroma aneh bercampur menjadi satu, aku mulai
terganggu dengan apa yang indera penciumanku dapatkan, ditambah dengan suara
burung hantu yang bersahutan. Lengkaplah alasanku berbalik badan dan membiarkan
rasa penasaranku kecewa, lagi. Angin malam berhembus kencang seolah mendorongku
untuk terus maju.
Jarakku dengannya kini hanya
dipisahkan oleh ragu yang menyeruak di benakku. Tegakah aku mengusik ketenangan
nona ini demi memuaskan rasa penasaran yang mulai tak bisa aku bendung. Namun,
keraguanku mengalah terhadap dorongan angin malam yang terus memaksaku
melangkah.
Nona itu kini
tepat di bawah pandanganku, entah mengapa perasaan aneh muncul dalam
benakku, ingin rasanya aku memeluk nona di hadapanku, memberikan pundakku
untuknya bersandar, dengan senang hati menghapus tetesan air mata yang kulihat
menetes bercampur dengan genangan air. Tunggu! Genangan air ini, mungkinkah
kumpulan tetesan air matanya. Kudekatkan wajahku pada nona itu, terdengar samar
suara isak tangisnya. Aku hendak meraih beberapa helai rambut yang menutupi
wajahnya. Tunggu sebentar, apa yang terjadi, ada apa dengan diriku. Aku tak
dapat meraihnya. Kupandangi kedua telapak tanganku, ada apa ini. Nona itu
perlahan mengangkat wajahnya seolah hendak memberikan jawaban atas segala
kebingunganku. Tuhan! Mungkinkah ini, Maria! Nona di hadapanku adalah Maria. Wanita
ceria yang selalu menghiasi hariku, mewarnai setiap lembaran kehidupanku.
Kenapa ia menangis.
Setangkai bunga yang tak lagi berkelopak yang digenggamnya kini
bersatu dengan genangan air. Kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Sedih, pucat, kecewa, merana dan entah kesakitan apalagi yang ia rasakan.
Kucoba lagi untuk meraih helaian rambutnya, gagal.
Mata sendu itu
menatap ke arahku, kosong. Kucoba kembali meraihnya, mencoba menghapus air mata
yang meluncur di pipi lembutnya. Tak bisa! Aku masih tak bisa menyentuhnya.
Kupandangi kedua bola mata yang masih menatap kosong. Kuselami pandangan
kosongnya hingga sampai pada hari itu. Hari di mana aku harus pergi
meninggalkan Maria, menjual hasil ladang untuk sanggup menyuntingnya.
Meninggalkan Maria, meninggalkannya, selamanya.
Aku ingat saat mobil pengangkut panen itu tiba – tiba
terperosok ke dalam jurang yang masih menghiasi jalanan di kampung kami. Saat
itu hanya wajah Mari dan setangkai mawar yang kuberikan padanya yang menguasi
pikiranku dan membuatku tetap tersadar walau kepalaku membentur bebatuan dan
tertimpa satu batu besar. Aku mati seketika, tentu saja. Namun, wajah Maria dan
setangkai bunga itu membuatku masih tersadar dan ingin menemuinya. Aku sudah
berjanji, aku harus tepati, aku bukan seorang munafik.
Aku meminta kemurahan hati sosok yang tiba – tiba muncul
di hadapanku dan mengajakku untuk kembali, untuk pulang. Aku tak mau kembali
pada-Nya sebelum janjiku tuntas. Aku tak mau mengecewakan Maria yang kusayang.
Aku tak mau menjadi ksatria yang tertusuk pedangnya sendiri. Aku berjanji pada sosok itu akan menuruti
apapun pintanya asal aku diijinkan bertemu Maria dan menuntaskan janjiku.
Aku ini mungkin benar adanya hanya ksatria yang mati
tertusuk pedangnya sendiri. Tak mampu menepati janji. Bagaiman bisa aku
meminang Maria jika menghapus air mata di pipinya saja tanganku tak sanggup
melakukannya, bagaimana mungkin ksatria membiarkan putrinya menderita seperti
ini. Aku ksatria gagal yang tak pantas meminang putri sesuci Maria.
Kuucapkan salam perpisahan untuk selamanya pada Maria
yang kusayang untuk lebih dari sekadar selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar