Sabtu, 19 Juli 2014

Aku yang Tak Mampu Meraihmu

Bagaimana rasanya menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Bagaimana harus meredakannya yang meraju jika meraihnya saja aku tak mampu. Bagaimana rasanya menjadi dia yang menunggu, maafkan aku.
Rasanya badanku lebih ringan dari biasanya. Seolah seluruh beban menguap bersama molekul – molekul yang terurai menjadi atom – atom yang sama sekali tak terlihat dan terjamah. Setiap langkahku terasa seringan permen kapas yang dulu aku dan ia makan setangkai bersama di pasar malam. Aku rindu dia.
Aku rindu saat kami berbagi serantang nasi dan sambal serta tahu tempe di atas gubuk dekat sawah tempat aku mengais rejeki. Ia selalu membawakan makan siang yang walau sederhana namun sungguh terasa nikmat. Apalagi dimakan berdua di tengah sawah dengan semilir angin yang berhembus dan membuat rambutnya terbang ke sana – ke mari. Dengan cepat ia akan mengikatnya tepat seleher dan menariknya ke depan.
Aku juga ingat saat sore menjelang, kami sering  bersepeda bersama mengelilingi kampung. Aku memboncengnya di belakang. Ia memelukku dengan erat dan hangat. Walau hanya bermodal sepeda tua aku senang, dia senang, kami senang berbagi kasih sayang.
Aku pernah berjanji padanya dan bagiku sekali aku berjanji maka itu berlaku selamanya. Selamanya yang tak mengenal batas ruang dan waktu, tak peduli jarak dan bahkan mengesampingkan dimensi. Tak ada yang akan menghalangi aku, ksatria yang kalau sudah berjanji pasti menepati. Aku ini laki – laki malu kalau banyak mengumbar janji tanpa satu pun ditepati.
Aku berjanji padanya kembali dengan modal untuk meminangnya. Aku sudah berjanji dan apapun yang terjadi aku akan menepatinya. Tak ada yang dapat mengahalangi. Bahkan takdir Tuhan sekalipun, aku tak peduli.
Malam ini aku mencoba kembali menemuinya, aku mengetuk pintu rumahnya namun tak ada jawaban. Bilik sederhana itu terlihat gelap, sepertinya memang tak ada orang di dalamnya. Berhari – hari aku mencoba menemuinya namun nihil, tak ada hasil. Aku kembali menapaki jalanan kampung yang bermodal cahaya bulan.
Ada yang ganjil dari kampung ini, sekarang suasananya terasa lebih sepi dan harus kuakui ini sedikit mencekam. Beberapa obor yang biasa dipasang di persimpangan jalan belakangan mati setiap aku melewatinya. Aku ini laki – laki siapa bilang tak boleh takut, aku pemberani, hanya saja ini sedikit membuatku merinding.
Hal ganjil lainnya, setiap kali aku menapaki jalan, ada seorang nona yang duduk di persimpangan jalan dekat rumah wanita yang sangat aku rindukan
Nona bergaun putih itu duduk lemas di atas batu dengan memegang erat setangkai bunga tak berkelopak. Pandangannya tertuju pada satu genangan air yang menenggelamkan kedua telapak kakinya, seolah dua kutub magnet berlawanan yang saling menarik,  semakin dalam ia menunduk semakin aku dibuatnya penasaran. Entah  berapa banyak malam yang aku lewati dengan melihatnya duduk menghadap jalanan sempit kampung kami. Ingin rasanya kutepuk pundak nona itu, memandang wajahnya, mencari tahu ekspresi di balik uraian rambut yang menutupi wajahnya, mengajaknya berbincang atau hanya untuk sekedar bertukar sapa.
Nona itu seolah tak terusik dengan segala rasa penasaranku. Ia masih diam dalam kesunyiannya yang sendiri, seperti sedang menikmati nyanyian selamat tidur, menunggu bulan mengecup keningnya untuk mengantar tidur, menunggu ucapan selamat malam dari bintang - bintang yang menghiasi langit. Entahlah, nona itu dengan segala diamnya semakin membuatku tak bisa membendung rasa ingin tahu yang mulai liar.
Malam ini kucoba mengabulkan permintaan keingintahuanku yang liar, perlahan aku berjalan mendekati nona itu. Aroma - aroma aneh  bercampur menjadi satu, aku mulai terganggu dengan apa yang indera penciumanku dapatkan, ditambah dengan suara burung hantu yang bersahutan. Lengkaplah alasanku berbalik badan dan membiarkan rasa penasaranku kecewa, lagi. Angin malam berhembus kencang seolah mendorongku untuk terus maju.
Jarakku dengannya kini hanya dipisahkan oleh ragu yang menyeruak di benakku. Tegakah aku mengusik ketenangan nona ini demi memuaskan rasa penasaran yang mulai tak bisa aku bendung. Namun, keraguanku mengalah terhadap dorongan angin malam yang terus memaksaku melangkah. 
Nona itu kini tepat di bawah pandanganku, entah mengapa perasaan aneh muncul dalam benakku,  ingin rasanya aku memeluk nona di hadapanku, memberikan pundakku untuknya bersandar, dengan senang hati menghapus tetesan air mata yang kulihat menetes bercampur dengan genangan air. Tunggu! Genangan air ini, mungkinkah kumpulan tetesan air matanya. Kudekatkan wajahku pada nona itu, terdengar samar suara isak tangisnya. Aku hendak meraih beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Tunggu sebentar, apa yang terjadi, ada apa dengan diriku. Aku tak dapat meraihnya. Kupandangi kedua telapak tanganku, ada apa ini. Nona itu perlahan mengangkat wajahnya seolah hendak memberikan jawaban atas segala kebingunganku. Tuhan! Mungkinkah ini, Maria! Nona di hadapanku adalah Maria. Wanita ceria yang selalu menghiasi hariku, mewarnai setiap lembaran kehidupanku. Kenapa ia menangis.
Setangkai bunga yang tak lagi berkelopak yang digenggamnya kini bersatu dengan genangan air. Kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Sedih, pucat, kecewa, merana dan entah kesakitan apalagi yang ia rasakan. Kucoba lagi untuk meraih helaian rambutnya, gagal.
Mata sendu itu menatap ke arahku, kosong. Kucoba kembali meraihnya, mencoba menghapus air mata yang meluncur di pipi lembutnya. Tak bisa! Aku masih tak bisa menyentuhnya. Kupandangi kedua bola mata yang masih menatap kosong. Kuselami pandangan kosongnya hingga sampai pada hari itu. Hari di mana aku harus pergi meninggalkan Maria, menjual hasil ladang untuk sanggup menyuntingnya. Meninggalkan Maria, meninggalkannya, selamanya.
Aku ingat saat mobil pengangkut panen itu tiba – tiba terperosok ke dalam jurang yang masih menghiasi jalanan di kampung kami. Saat itu hanya wajah Mari dan setangkai mawar yang kuberikan padanya yang menguasi pikiranku dan membuatku tetap tersadar walau kepalaku membentur bebatuan dan tertimpa satu batu besar. Aku mati seketika, tentu saja. Namun, wajah Maria dan setangkai bunga itu membuatku masih tersadar dan ingin menemuinya. Aku sudah berjanji, aku harus tepati, aku bukan seorang munafik.
Aku meminta kemurahan hati sosok yang tiba – tiba muncul di hadapanku dan mengajakku untuk kembali, untuk pulang. Aku tak mau kembali pada-Nya sebelum janjiku tuntas. Aku tak mau mengecewakan Maria yang kusayang. Aku tak mau menjadi ksatria yang tertusuk pedangnya sendiri.  Aku berjanji pada sosok itu akan menuruti apapun pintanya asal aku diijinkan bertemu Maria dan menuntaskan janjiku.
Aku ini mungkin benar adanya hanya ksatria yang mati tertusuk pedangnya sendiri. Tak mampu menepati janji. Bagaiman bisa aku meminang Maria jika menghapus air mata di pipinya saja tanganku tak sanggup melakukannya, bagaimana mungkin ksatria membiarkan putrinya menderita seperti ini. Aku ksatria gagal yang tak pantas meminang putri sesuci Maria.
Kuucapkan salam perpisahan untuk selamanya pada Maria yang kusayang untuk lebih dari sekadar selamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar