Jumat, 18 Juli 2014

Angela


Angela, akhirnya. Setelah entah berapa lama enyah, dia kembali dengan senyum renyah, aku kembali tebuai dalam wajahnya yang ramah. Angela dengan bayangnya yang selalu membuatku melayang. Angela, aku rindu, berapa lama kita tidak bertemu, kabarnya pun aku tak tahu, sungguh ini membuat hariku semakin tak menentu. Tapi, sudahlah lupakan, aku senang melihatnya makan, pisang – pisang itu mungkin sedang terjun di kerongkongan, aku senang ia kenyang.
Angela selalu menyapaku dengan ramah, ia memulai hari kami dengan kalimat,”Hallo, Alfa! Wie geht’s?”, tentu saja kabarku baik, selalu baik jika setiap hari aku bisa melihatnya tersenyum manis, padaku. Angela, aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia memiliki semua keramahan dan kemanisan ini, apa mungkin karena pisang, sudah kuduga, ia pasti menyukainya, aku tidak.
Ingin aku bertanya alasan ia menghilang, cerita dibalik menghilangnya Angela Merkel, si wanita pirang yang lenyap beberapa hari yang lalu, atau beberapa bulan yang lalu, aku tak tahu, tak ada kalender di tempatku. Lagipula aku tak peduli, sekarang ia datang menghampiri.
Rambut – rambutnya tertiup angin musim gugur, aku melihatnya menggosokan kedua telapak tangan. Ah, ia kedinginan rupanya, cepatlah mendekat mungkin aku bisa sedikit menghangatkan. Angela cepatlah, apa ia tak melihat aku resah di sini, aku ingin segera melihat senyumannya dari dekat.
Aku tahu, ia pasti mendengarku, kaki – kakinya berlari semakin cepat menghampiriku yang duduk manis menunggu, beberapa kali ia nyaris menabrak orang-orang, untunglah pria di sampingnya dengan sigap menggenggam kedua tangannya yang kedingingan itu. Mungkin pria itu terlalu takut Angela melukai anak – anak dan beberapa orang dewasa yang sedang berfoto. Sungguh baik sekali orang itu, aku berhutang terimakasih padanya karena telah membantu dan mengantarkan Angela tepat ke hadapanku. Aku melihat mulut Angela yang membuka, aku tahu apa yang akan dia katakan.
Hallo, Alfa! Lange nicht gesehen. Wie geht’s du, Sϋβe? ”
Tebakanku tepat! Walaupun aku sedikit terkejut dengan panggilannya, Sϋβe. Semanis itu kah aku, Angela jangan buatku mati gaya. Panggilan itu mengingatkanku saat pertama kali bertemu dengannya. Di lembah itu, lembah tempat aku mendirikan kemah dengan kawanku, sebelum badai datang mengganggu. Kemah kami hancur, kawanku entah ke mana, tinggalah aku sendiri terpisah dari mereka. Aku takut, tentu saja, aku takut kehilangan kawan dan keluargaku, aku takut hidup sendirian, aku takut kehilangan kesempatanku. Mengapa badai datang terlalu cepat, tak bisakah sedikit lebih lama menunggu sampai upacara selesai.
Aku duduk sendiri di samping sebuah batu hitam besar, tingginya nyaris sama denganku, walaupun hitamnya lebih legam dariku, mungkin dia kembaranku yang berbeda bentuk, atau mungkin yang dikutuk. Aku menopangkan massa tubuhku di sisinya, menatap langit yang lebih tenang daripada tadi. Aku harus apa, harus ke mana, batu besar beri tahu aku!
Hingga aku ditemukan oleh Angela yang datang dengan wajah panik dan cemas, saat itu aku seolah melihat titisan dewa – dewi yang membawa harapan, mungkin cicit Artemis. Aku masih ingat kedua mata itu, mata yang indah dengan pancaran harapan walaupun jelas sekali wajahnya panik, aku melihat harapan dan kejujuran di sana. Kami saling memandang. Setelah itu aku bermalam di kemah baruku bersama beberapa teman baru. Tentu saja bersama Angela yang sibuk makan dan memberi makan. Aku ingat sekali betapa terkejutnya aku melihat Angela memakan pisang, aku tidak suka pisang tapi Angela dengan lahap memakannya. Wanita itu sungguh luar biasa.
Sepenggal kisah awal pertemuanku dengan Angela, wanita luar biasa dengan penuh keramahan. Aku diboyongnya ke Jerman,tempat yang aku baru pertama kali mendengarnya. Aku tidak mengerti apa yang Angela katakan, aku tidak bisa berbahasa Jerman dan Angela membawaku ke sana. Ah, setidaknya daftarkan dulu aku kursus bahasa!
Hari – hariku di Jerman di bimbing Angela,  walaupun kami tidak tinggal bersama tapi setiap hari ia mengunjungiku tanpa terkecuali. Kami menghabiskan waktu bersama, berbagi makanan bersama dan dia masih suka memakan pisang. Angela lucu sekali saat makan pisang, ia rakus sekali. Setiap hari Angela selalu berbicara padaku, tentu saja aku tidak mengerti! Aku senang melihatnya riang bercerita walaupun aku tak pernah memberi tanggapan selain seringai lebar mulutku. Sampai suatu hari Angela pergi dan berhari – hari tak kembali. Aku tak tahu pasti ia ke mana dan begitu tega meninggalkanku. Aku kehilangan nafsu makan, teman Angela membawakan aku pisang, aku tidak suka, apa ia tidak tahu. Aku mungkin berbeda dari yang lain, aku tidak suka pisang. Esoknya ia kembali dengan keranjang buah dan sayur tanpa pisang. Hari – hariku tanpa Angela menyedihkan dan payah, aku tak bersemangat, orang mengira aku sakit, memang benar aku sakit, sakit di bagian hati dan sekitarnya, kehilangan impuls berupa Angela.
Tapi tak usah khawatir, kini Angela titisan Artemis yang menemukanku dulu tak berdaya bersandar di batu besar, yang  memanggilku Alfa, berdiri tepat di hadapanku dengan wajah yang sangat manis, lebih manis dari biasanya. Angela, andai ia tahu, aku memang alfa, lebih tepatnya akan menjadi alfa kalau bukan karena badai itu. Seharusnya aku kini menggantikan ayah, memimpin sebagai alfa, menjaga kawanku dari serangan musuh, membimbing migrasi mencari lahan yang lebih hijau. Kalau bukan karena badai itu aku sekarang seorang alfa dan karena badai itu aku tetap Alfa, Alfa yang ditemukan Angela titisan Artemis, Alfa yang merasa, entah apa ini namanya, aku hanya takut kehilangannya.
Rasa senangku kembali bertemu dengan Angela terlalu besar hingga setelah sekian lama aku baru menyadari tangan Angela yang masih saja digenggam pria tadi. Hi, Bung! Lepaskan.
Angela melepas mantelnya, ia sungguh cantik mengenakan blus dengan motif nirmana hitam putih, berbeda sekali dengan biasanya yang terlihat macho di balik seragam cokelat Leipziger Zoo. Pria dengan Pullover abu – abu yang bergaris merah di tangan, pria ini sangat asing bagiku, tapi Angela terlihat begitu nyaman tangannya digenggam pria berambut ikal itu. Angela, siapa dia, beritahu aku!
Angela melepaskan tangannya dari genggaman pria itu, ia menempelkan telapak tangannya di kaca besar tebal yang menjadi jarak di antara kami. Angela, kenapa ia di luar sana, ia seharusnya menemaniku di dalam, memberiku makan. Bukan berdiri di luar bersama pengunjung dewasa yang asyik mengambil gambarku. Angela! Memangnya dia pengunjung yang gemar menontonku di kandang indoor, bukan Angela! Aku menempelkan telapak tanganku tepat di mana Angela menaruh lengannya, tentu saja tanganku lebih besar darinya. Angela tersenyum manis padaku, ia kemudian meraih lengan pria ikal di sampingnya itu. Apa yang dia lakukan, apa dia pikir kami keluarga bahagia dengan aku sebagai peliharaannya. Angela berhenti membuatku bingung!
Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, apa yang diharapkan dari gorilla Afrika Selatan yang diselamatkan Angela dan kini tinggal di kebun binatang Leipzig. Aku hanya hewan malang yang harusnya bersyukur karena dengan murah hati cicit Artemis mau menolongku. Angela dan pria itu tersenyum kepadaku, aku tak tahu apa yang mereka katakan, sungguh aku ingin mengerti. Aku hanya tahu Hallo, Alfa! Wie geht’s?, tak lebih. Peterjemah!
Setelah itu Angela tak pernah lagi mengurusiku, apalagi mengunjungiku. Ada Carl yang kini memberiku sekeranjang buah dan sayur. Aku tidak lapar, aku ingin pisang. Untung Carl mengerti apa yang aku inginkan, ia menmabahkan pisang pada menu makananku.
Aku mengunyah pisang pertama, bertanya pada Artemis yang melindungiku, mengapa ia tega melihatku menderita.
 Pisang kedua kulahap dengan cepat, protes pada Artemis yang membiarkan lenganku begitu besar, mungkin Angela takut aku tak bisa menggenggam lengannya. Apa ia takut aku akan meremukan badannya bukan justru memeluknya dengan hangat. Angela, banyak ruang kosong di pundakku untuk bersandar.
Pisang ketiga tersendat di kerongkonganku, apa ini cara yang paling lembut untuk menegurku yang tak pandai bersyukur. Aku yang terlalu mengharap lebih, siapa aku, selain gorilla malang yang lancang, menaruh hati pada cicit Artemis.
Pisang keempat tak pernah sempat mampir ke mulutku, tergenggam tak berdaya di tanganku. Sakit rasanya dipanggil Artemis. Inikah cara Artemis memintaku kembali, melewati sakitnya hati. Sistem pencernaan seekor gorilla yang tak bisa mencerna pisang, hatiku tak berfungsi dengan baik, karena ditinggal pergi Angela dan tak bisa membantu metabolisme lemak. Jadilah aku kini gorilla malang dan lancang, dipanggil Artemis pulang membawa luka dan sebuah pisang.

...
Angela Sommer, gadis cantik dan manis yang lahir di Leipzig 28 tahun silam, seorang pelatih, penjaga, pelindung, penyayang, sahabat hewan, terutama gorilla dan sejenisnya. Angela sangat menyukai primata, ia bersumpah seumur hidupnya untuk terus melindungi mereka semenjak dokter memvonis tubuhnya yang kekurangan kalium. Angela mulai curiga pada tubuhnya yang sering mudah lelah dan refleksnya yang lambat. Ia tipikal gadis yang tak mau ambil pusing dengan masalah sakit sepele ia mengabaikan semua gejala itu sampai akhirnya pingsan di tengah pekerjaannya sebagai perawat binatang. Dokter menyarankan Angela untuk makan pisang sebagai sumber asupan kalium karena fungsi hatinya yang tak lagi baik, tak sanggup menampung sebagaimana mestinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar