Angela,
akhirnya. Setelah entah berapa lama enyah, dia kembali dengan senyum renyah,
aku kembali tebuai dalam wajahnya yang ramah. Angela dengan bayangnya yang
selalu membuatku melayang. Angela, aku rindu, berapa lama kita tidak bertemu,
kabarnya pun aku tak tahu, sungguh ini membuat hariku semakin tak menentu.
Tapi, sudahlah lupakan, aku senang melihatnya makan, pisang – pisang itu
mungkin sedang terjun di kerongkongan, aku senang ia kenyang.
Angela
selalu menyapaku dengan ramah, ia memulai hari kami dengan kalimat,”Hallo, Alfa! Wie geht’s?”, tentu saja
kabarku baik, selalu baik jika setiap hari aku bisa melihatnya tersenyum manis,
padaku. Angela, aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia memiliki semua keramahan
dan kemanisan ini, apa mungkin karena pisang, sudah kuduga, ia pasti
menyukainya, aku tidak.
Ingin
aku bertanya alasan ia menghilang, cerita dibalik menghilangnya Angela Merkel,
si wanita pirang yang lenyap beberapa hari yang lalu, atau beberapa bulan yang
lalu, aku tak tahu, tak ada kalender di tempatku. Lagipula aku tak peduli,
sekarang ia datang menghampiri.
Rambut
– rambutnya tertiup angin musim gugur, aku melihatnya menggosokan kedua telapak
tangan. Ah, ia kedinginan rupanya, cepatlah mendekat mungkin aku bisa sedikit
menghangatkan. Angela cepatlah, apa ia tak melihat aku resah di sini, aku ingin
segera melihat senyumannya dari dekat.
Aku
tahu, ia pasti mendengarku, kaki – kakinya berlari semakin cepat menghampiriku
yang duduk manis menunggu, beberapa kali ia nyaris menabrak orang-orang,
untunglah pria di sampingnya dengan sigap menggenggam kedua tangannya yang
kedingingan itu. Mungkin pria itu terlalu takut Angela melukai anak – anak dan
beberapa orang dewasa yang sedang berfoto. Sungguh baik sekali orang itu, aku
berhutang terimakasih padanya karena telah membantu dan mengantarkan Angela
tepat ke hadapanku. Aku melihat mulut Angela yang membuka, aku tahu apa yang
akan dia katakan.
“Hallo, Alfa! Lange nicht gesehen. Wie geht’s
du, Sϋβe? ”
Tebakanku
tepat! Walaupun aku sedikit terkejut dengan panggilannya, Sϋβe. Semanis itu kah aku, Angela jangan buatku mati gaya.
Panggilan itu mengingatkanku saat pertama kali bertemu dengannya. Di lembah
itu, lembah tempat aku mendirikan kemah dengan kawanku, sebelum badai datang
mengganggu. Kemah kami hancur, kawanku entah ke mana, tinggalah aku sendiri
terpisah dari mereka. Aku takut, tentu saja, aku takut kehilangan kawan dan
keluargaku, aku takut hidup sendirian, aku takut kehilangan kesempatanku. Mengapa
badai datang terlalu cepat, tak bisakah sedikit lebih lama menunggu sampai
upacara selesai.
Aku
duduk sendiri di samping sebuah batu hitam besar, tingginya nyaris sama
denganku, walaupun hitamnya lebih legam dariku, mungkin dia kembaranku yang
berbeda bentuk, atau mungkin yang dikutuk. Aku menopangkan massa tubuhku di
sisinya, menatap langit yang lebih tenang daripada tadi. Aku harus apa, harus
ke mana, batu besar beri tahu aku!
Hingga
aku ditemukan oleh Angela yang datang dengan wajah panik dan cemas, saat itu
aku seolah melihat titisan dewa – dewi yang membawa harapan, mungkin cicit
Artemis. Aku masih ingat kedua mata itu, mata yang indah dengan pancaran
harapan walaupun jelas sekali wajahnya panik, aku melihat harapan dan kejujuran
di sana. Kami saling memandang. Setelah itu aku bermalam di kemah baruku
bersama beberapa teman baru. Tentu saja bersama Angela yang sibuk makan dan
memberi makan. Aku ingat sekali betapa terkejutnya aku melihat Angela memakan
pisang, aku tidak suka pisang tapi Angela dengan lahap memakannya. Wanita itu
sungguh luar biasa.
Sepenggal
kisah awal pertemuanku dengan Angela, wanita luar biasa dengan penuh keramahan.
Aku diboyongnya ke Jerman,tempat yang aku baru pertama kali mendengarnya. Aku
tidak mengerti apa yang Angela katakan, aku tidak bisa berbahasa Jerman dan
Angela membawaku ke sana. Ah, setidaknya daftarkan dulu aku kursus bahasa!
Hari
– hariku di Jerman di bimbing Angela, walaupun kami tidak tinggal bersama tapi
setiap hari ia mengunjungiku tanpa terkecuali. Kami menghabiskan waktu bersama,
berbagi makanan bersama dan dia masih suka memakan pisang. Angela lucu sekali
saat makan pisang, ia rakus sekali. Setiap hari Angela selalu berbicara padaku,
tentu saja aku tidak mengerti! Aku senang melihatnya riang bercerita walaupun
aku tak pernah memberi tanggapan selain seringai lebar mulutku. Sampai suatu
hari Angela pergi dan berhari – hari tak kembali. Aku tak tahu pasti ia ke mana
dan begitu tega meninggalkanku. Aku kehilangan nafsu makan, teman Angela membawakan
aku pisang, aku tidak suka, apa ia tidak tahu. Aku mungkin berbeda dari yang
lain, aku tidak suka pisang. Esoknya ia kembali dengan keranjang buah dan sayur
tanpa pisang. Hari – hariku tanpa Angela menyedihkan dan payah, aku tak
bersemangat, orang mengira aku sakit, memang benar aku sakit, sakit di bagian
hati dan sekitarnya, kehilangan impuls berupa Angela.
Tapi
tak usah khawatir, kini Angela titisan Artemis yang menemukanku dulu tak
berdaya bersandar di batu besar, yang memanggilku Alfa, berdiri tepat di hadapanku dengan
wajah yang sangat manis, lebih manis dari biasanya. Angela, andai ia tahu, aku
memang alfa, lebih tepatnya akan menjadi alfa kalau bukan karena badai itu.
Seharusnya aku kini menggantikan ayah, memimpin sebagai alfa, menjaga kawanku
dari serangan musuh, membimbing migrasi mencari lahan yang lebih hijau. Kalau
bukan karena badai itu aku sekarang seorang alfa dan karena badai itu aku tetap
Alfa, Alfa yang ditemukan Angela titisan Artemis, Alfa yang merasa, entah apa
ini namanya, aku hanya takut kehilangannya.
Rasa
senangku kembali bertemu dengan Angela terlalu besar hingga setelah sekian lama
aku baru menyadari tangan Angela yang masih saja digenggam pria tadi. Hi, Bung!
Lepaskan.
Angela
melepas mantelnya, ia sungguh cantik mengenakan blus dengan motif nirmana hitam
putih, berbeda sekali dengan biasanya yang terlihat macho di balik seragam
cokelat Leipziger Zoo. Pria dengan Pullover abu – abu yang bergaris merah
di tangan, pria ini sangat asing bagiku, tapi Angela terlihat begitu nyaman
tangannya digenggam pria berambut ikal itu. Angela, siapa dia, beritahu aku!
Angela
melepaskan tangannya dari genggaman pria itu, ia menempelkan telapak tangannya
di kaca besar tebal yang menjadi jarak di antara kami. Angela, kenapa ia di
luar sana, ia seharusnya menemaniku di dalam, memberiku makan. Bukan berdiri di
luar bersama pengunjung dewasa yang asyik mengambil gambarku. Angela! Memangnya
dia pengunjung yang gemar menontonku di kandang indoor, bukan Angela! Aku menempelkan telapak tanganku tepat di
mana Angela menaruh lengannya, tentu saja tanganku lebih besar darinya. Angela
tersenyum manis padaku, ia kemudian meraih lengan pria ikal di sampingnya itu.
Apa yang dia lakukan, apa dia pikir kami keluarga bahagia dengan aku sebagai
peliharaannya. Angela berhenti membuatku bingung!
Aku
tak mengerti apa yang mereka katakan, apa yang diharapkan dari gorilla Afrika
Selatan yang diselamatkan Angela dan kini tinggal di kebun binatang Leipzig.
Aku hanya hewan malang yang harusnya bersyukur karena dengan murah hati cicit
Artemis mau menolongku. Angela dan pria itu tersenyum kepadaku, aku tak tahu
apa yang mereka katakan, sungguh aku ingin mengerti. Aku hanya tahu Hallo, Alfa! Wie geht’s?, tak lebih. Peterjemah!
Setelah
itu Angela tak pernah lagi mengurusiku, apalagi mengunjungiku. Ada Carl yang
kini memberiku sekeranjang buah dan sayur. Aku tidak lapar, aku ingin pisang.
Untung Carl mengerti apa yang aku inginkan, ia menmabahkan pisang pada menu
makananku.
Aku
mengunyah pisang pertama, bertanya pada Artemis yang melindungiku, mengapa ia
tega melihatku menderita.
Pisang kedua kulahap dengan cepat, protes pada
Artemis yang membiarkan lenganku begitu besar, mungkin Angela takut aku tak
bisa menggenggam lengannya. Apa ia takut aku akan meremukan badannya bukan
justru memeluknya dengan hangat. Angela, banyak ruang kosong di pundakku untuk
bersandar.
Pisang
ketiga tersendat di kerongkonganku, apa ini cara yang paling lembut untuk
menegurku yang tak pandai bersyukur. Aku yang terlalu mengharap lebih, siapa
aku, selain gorilla malang yang lancang, menaruh hati pada cicit Artemis.
Pisang
keempat tak pernah sempat mampir ke mulutku, tergenggam tak berdaya di
tanganku. Sakit rasanya dipanggil Artemis. Inikah cara Artemis memintaku
kembali, melewati sakitnya hati. Sistem pencernaan seekor gorilla yang tak bisa
mencerna pisang, hatiku tak berfungsi dengan baik, karena ditinggal pergi
Angela dan tak bisa membantu metabolisme lemak. Jadilah aku kini gorilla malang
dan lancang, dipanggil Artemis pulang membawa luka dan sebuah pisang.
...
Angela
Sommer, gadis cantik dan manis yang lahir di Leipzig 28 tahun silam, seorang
pelatih, penjaga, pelindung, penyayang, sahabat hewan, terutama gorilla dan
sejenisnya. Angela sangat menyukai primata, ia bersumpah seumur hidupnya untuk
terus melindungi mereka semenjak dokter memvonis tubuhnya yang kekurangan
kalium. Angela mulai curiga pada tubuhnya yang sering mudah lelah dan
refleksnya yang lambat. Ia tipikal gadis yang tak mau ambil pusing dengan
masalah sakit sepele ia mengabaikan semua gejala itu sampai akhirnya pingsan di
tengah pekerjaannya sebagai perawat binatang. Dokter menyarankan Angela untuk
makan pisang sebagai sumber asupan kalium karena fungsi hatinya yang tak lagi
baik, tak sanggup menampung sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar