Kami tumbuh bersama walaupun bukan sepasang saudara.
Dikiranya kami ini kembar yang hanya dibedakan rambut di kepala. Tidak. Kami
bukan sepasanga saudara kembar, kami hanya dua anak yang lahir bersamaan dan
tumbuh bersama pula. Kami tidak ingin menjadi sepasang saudara. Apa boleh ada
cinta dan rasa ingin memiliki di antara saudara? Jawabannya pasti tidak. Karena
itu, aku tegaskan sekali lagi, kami bukanlah saudara.
Kami lahir bersama, di hari yang sama dan detik yang sama
pula dari ibu yang berbeda. Saat itu aku kebingungan, aku berteriak – teriak
memanggil ibu namun yang ada hanyalah bola lampu kuning yang menghangatkan
tubuhku. Kukira selama ini ibu yang menghangatkanku. Aku sedikit kecewa melihat
bola lampu ini. Aku masih berteriak – teriak sampai dengan tersadar suara yang
kukira adalah gema ternyata suara asli yang berasal dari tubuh makhluk lain.
Aku mengedarkan pandanganku dan benar saja. Aku melihat tubuh lain yang mirip
sekali denganku sedang berteriak – teriak memanggil ibunya.
Ia menyadari aku yang senasib dengannya. Kami bertukar
pandangan tanpa sepatah atau dua patah kata pun. Aku melihat kecemasan yang
terpantul dari bola matanya, mungkin sama cemasnya seperti aku saat ini. Tanpa
komando dari siapa pun kami bergerak mencoba untuk bersebelahan. Namun, sia –
sia saja usaha kami, gundukan bundar besar ini menghalangi langkah kami. Kami
masih saling memandang tanpa kata ataupun suara. Seolah indera penglihatan kami
ini bisa mewakili setiap kata yang ingin diucap. Hei kau, aku pun sama cemasnya
denganmu, aku ingin ibu.
Kami masih berbicara lewat pandangan mata ketika seorang
berbadan besar dengan sepatu aneh selutut yang ia kenakan juga sebuah penutup
yang menutupi mulut dan hidungnya serta tangan yang dibalut benda yang terbuat
dari karet, mengangkatku dan teman baruku itu. Aku meronta – ronta ingin
dilepaskan, aku takut ibu datang dan tak melihatku yang sedari tadi
menunggunya. Teman baruku pun sama paniknya dan terus meronta, bagaimana jika
ibu kami datang, mereka pasti akan khawatir. Kami dimasukkan oleh seorang besar
itu ke dalam kotak degan dinding yang rendah dan atap terbuka. Ia menjinjing
kami serta memasukkan beberapa anak yang juga mirip dengan kami ke dalam kotak
itu. Kini, di dalam kotak penuh dan sesak, aku berdiri di dekat teman baruku,
aku tak mau terpisah darinya. Ia pun seolah mengerti apa maksudku dan memiliki
pemikiran yang sama, ia berdiri di dekatku dan karena ia lelaki ia melindungiku
dari anak – anak lain yang usil. Bagaimana mereka masih bisa usil sementara
kami kebingungan mencari ibu.
Seorang besar tadi menaruh kami semua ke dalam kotak yang
jauh lebih besar dari yang tadi, kami tak harus berdesak – desakan lagi. Aku
masih berada di dekat teman baruku dan tak mau jauh – jauh darinya. Kami berdua
berjalan menelusuri kotak besar ini hingga menemukan sudut yan nyaman untuk
kami berkeluh kesah. “Aku mau ibu, aku
mau ibu, ...”, begitu kataku berulang – ulang dan teman baruku hanya
mengiyakan.
Anak lain yang juga mirip sepertiku menghampiri kami
dengan angkuh dan sombong. Kepalanya ditegakkan dan dadanya dibusungkan. Ia
menertawakanku yang menangis ingin ibu, juga menertawakan teman baruku yang
bermain dengan perempuan, denganku. Ia mengatakan bahwa tak ada kata ibu jika
kami sudah sampai di kotak besar ini. Jangan pernah berharap melihat apalagi
mengetahui rupa ibu. Sejak awal dilahirkan kami adalah yatim piatu, begitu
katanya, sampai dengan remaja dan dewasa nanti akan tetap begitu adanya. Bahkan
sampai nanti mati, tubuhnya dikoyak sana – sini, jangan pernah harap walau
hanya sedetik melihat ibu. Bagaimana bisa membedakan yang mana ibu jika ibu –
ibu itu memiliki wujud yang sama.
Aku memerhatikan perkataan si anak angkuh dan sombong itu
dengan seksama. Awalnya aku tidak percaya, bagimana mungkin ibuku sendiri akan
menelantarkanku tanpa pernah mencariku. Namun, setelah beberapa bulan tinggal
di kotak besar ini, bersama anak – anak yang merasa ditelantarkan, keyakinanku
pada ibu perlahan terkikis sampai akhirnya tak ada sama sekali kata ibu yang
keluar dari mulutku. Untuk apa ada ibu jika bersama anak – anak terlantar ini
menyenangkan, apalagi bersama teman baruku yang dulu lahir di waktu yang sama
denganku, kini bukan teman baruku lagi, statusnya berganti dari teman baru
menjadi teman hidup.
Kami tak pernah mempermasalahkan lagi perkara ibu. Selama
kami masih bersama tak perlu apa itu ibu, asal kami berdua bisa saling
melindungi. Ia selalu menjagaku dari
remaja – remaja jahil yang gemar menggodaku. Dengan sigap a akan maju melawan
siapapun yang berani menggangguku. Ia bukanlah kakakku dan aku tak mau ia
menjadi kakakku. Karena, aku merasakan sesuatu hal yang lain padanya. Perasaan
yang akan berubah menjadi rasa sakit hari jika kami beranggapan bahwa kami
adalah saudara. Walaupun kami serupa itu tak menjamin bahwa kami semua adalah sekelompok
saudara yang ditinggal ibu. Mungkin ini hanya cara Artemis saja agar kami pandai bersyukur dan memiliki ciri khas yang
nantinya akan menjadi pembeda antara satu dan lainnya.
Aku tak pernah mengatakan secara langsung bahwa aku
menyukainya. Aku hanya selalu mengatakan bahwa aku senang berada di dekatnya
dan aku senang ia selalu ada untuk melindungiku. Ia pun sama halnya denganku
yang tak pernah mengatakan secara langsung bahwa ia menyukainya. Hanya saja
lewat senyuman dan tindakannya aku tahu, cintaku tak bertepuk sebelah ceker.
Kami kini bukanlah anak – anak malang yang ditinggal ibu
lagi, kini kami beranjak dewasa dan satu per satu dari kami mulai ditarik
keluar dari kotak. Aku sedih saat melihat si anak angkuh dan sombong itu
ditarik keluar oleh seorang besar yang dulu membawa kami ke kotak. Si anak
angkuh sudah bukan anak – anak lagi. Dengan bahagia si besar dan dewasa angkuh
itu pergi dengan suaranya yang melengking bahagia. Sejak awal aku memang tak
mengerti dengan pola pikirnya, walaupun sesungguhnya aku sangat berterimakasih
atas sarannya untuk melupakan ibu.
Kotak besar kini sudah tidak terlalu besar mengingat kami
yang tumbuh semakin hari semakin besar. Isinya pun sudah tidak sesesak dulu.
Satu per satu kawanku menghilang dan aku tak pernah mendengar kabar apapun
darinya. Untunglah aku masih bisa bersama dengan teman hidupku. Setiap kali
seorang besar yang sering mengambil kawan – kawanku datang, teman hidupku
menyuruh aku untuk diam dan jangan bergerak sedikit pun, jangan mengepakkan sayap
apalagi mengeluarkan suara. Sejauh ini rencan kami berhasil, aku dan ia tak
pernah ditarik keluar.
Kawan – kawanku yang masih bertahan bersama di kotak ini
merasa takjub dengan hubungan di antara kami. Tanpa aku meminta mereka
menggelar pesta sederhana dan menjadikan aku serta teman hidupku bagai raja dan
ratu semalam. Aku bahagia sekali. Rasa senangku tak bisa aku tutupi. Akhirnya
hubungan aku dan dia menjadi shahih dengan ikrar ini. Aku berkokok di tengah
malam dengan suara nyaring dan membungkam kawan – kawanku yang lain. Mereka
mengatakan bahwa kokokku merdu sekali. Teman hidupku khawatir mendengar kokok
merduku yag kini diketahui kawan – kawan yang lain. Ia segera menyudahi pesta
malam ini dan kami kembali ke sudut kotak.
Apa yang ditakutkan teman hidupku sepertinya menjadi
kenyataan. Seorang besar itu kini berdiri di hadapan kami dan terlihat
kebingungan untuk memilih. Di baliknya berdiri seorang gadis manis yang terus
saja merengek pada orang besar itu.
“Ayah, cepat! Aku mau makan”
“Sebentar, Nak”
“Ayah, aku sudah lapar”
Tiba – tiba tangan seorang besar itu meraih teman
hidupku.
“Benar, Ayah. Itu saja, yang besar. Pasti dagingnya
banyak”
Mereka pun pergi membawa teman hidupku untuk selamanya.
Aku tak pernah mendengar kokoknya lagi atau bahkan kabarnya. Ia hilang, lenyap
selamanya. Aku menangis setiap hari menunggunya yang tak pernah pulang. Hingga
tiba giliranku yang pergi menyusulnya. Aku melawan, aku pasrah saja saat benda
tajam itu mengiris leherku, membuatku kesulitan bernapas dan kehilangan
kesadaran hingga kehilangan nyawa.
“Mau ayam goreng?”
“Enggak, terimakasih. Aku nggak makan ayam”
“Kamu vegetarian, sayang?”
“Enggak juga. Pernah kamu mendengar kisah sepasang ayam
yang menikah lalu dipisahkan karena istilah ayam goreng, ayam bakar, ayam
penyet, ayam rica – rica dan bumbu – bumbu lainnya?”
“Emang ada kisah kayak gitu, sayang?”
“Ada. Dan mungkin ayam goreng yang kamu pesan nanti
adalah salah satu dari ayam – ayam yang sedih karena ditinggal pergi
pasangannya yang sudah berubah menjadi ayam segala bumbu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar