Sabtu, 19 Juli 2014

Kisah Anak yang Hidup Bersama dan Dipisahkan oleh Maut

Kami tumbuh bersama walaupun bukan sepasang saudara. Dikiranya kami ini kembar yang hanya dibedakan rambut di kepala. Tidak. Kami bukan sepasanga saudara kembar, kami hanya dua anak yang lahir bersamaan dan tumbuh bersama pula. Kami tidak ingin menjadi sepasang saudara. Apa boleh ada cinta dan rasa ingin memiliki di antara saudara? Jawabannya pasti tidak. Karena itu, aku tegaskan sekali lagi, kami bukanlah saudara.
Kami lahir bersama, di hari yang sama dan detik yang sama pula dari ibu yang berbeda. Saat itu aku kebingungan, aku berteriak – teriak memanggil ibu namun yang ada hanyalah bola lampu kuning yang menghangatkan tubuhku. Kukira selama ini ibu yang menghangatkanku. Aku sedikit kecewa melihat bola lampu ini. Aku masih berteriak – teriak sampai dengan tersadar suara yang kukira adalah gema ternyata suara asli yang berasal dari tubuh makhluk lain. Aku mengedarkan pandanganku dan benar saja. Aku melihat tubuh lain yang mirip sekali denganku sedang berteriak – teriak memanggil ibunya.
Ia menyadari aku yang senasib dengannya. Kami bertukar pandangan tanpa sepatah atau dua patah kata pun. Aku melihat kecemasan yang terpantul dari bola matanya, mungkin sama cemasnya seperti aku saat ini. Tanpa komando dari siapa pun kami bergerak mencoba untuk bersebelahan. Namun, sia – sia saja usaha kami, gundukan bundar besar ini menghalangi langkah kami. Kami masih saling memandang tanpa kata ataupun suara. Seolah indera penglihatan kami ini bisa mewakili setiap kata yang ingin diucap. Hei kau, aku pun sama cemasnya denganmu, aku ingin ibu.
Kami masih berbicara lewat pandangan mata ketika seorang berbadan besar dengan sepatu aneh selutut yang ia kenakan juga sebuah penutup yang menutupi mulut dan hidungnya serta tangan yang dibalut benda yang terbuat dari karet, mengangkatku dan teman baruku itu. Aku meronta – ronta ingin dilepaskan, aku takut ibu datang dan tak melihatku yang sedari tadi menunggunya. Teman baruku pun sama paniknya dan terus meronta, bagaimana jika ibu kami datang, mereka pasti akan khawatir. Kami dimasukkan oleh seorang besar itu ke dalam kotak degan dinding yang rendah dan atap terbuka. Ia menjinjing kami serta memasukkan beberapa anak yang juga mirip dengan kami ke dalam kotak itu. Kini, di dalam kotak penuh dan sesak, aku berdiri di dekat teman baruku, aku tak mau terpisah darinya. Ia pun seolah mengerti apa maksudku dan memiliki pemikiran yang sama, ia berdiri di dekatku dan karena ia lelaki ia melindungiku dari anak – anak lain yang usil. Bagaimana mereka masih bisa usil sementara kami kebingungan mencari ibu.
Seorang besar tadi menaruh kami semua ke dalam kotak yang jauh lebih besar dari yang tadi, kami tak harus berdesak – desakan lagi. Aku masih berada di dekat teman baruku dan tak mau jauh – jauh darinya. Kami berdua berjalan menelusuri kotak besar ini hingga menemukan sudut yan nyaman untuk kami berkeluh kesah.  “Aku mau ibu, aku mau ibu, ...”, begitu kataku berulang – ulang dan teman baruku hanya mengiyakan.
Anak lain yang juga mirip sepertiku menghampiri kami dengan angkuh dan sombong. Kepalanya ditegakkan dan dadanya dibusungkan. Ia menertawakanku yang menangis ingin ibu, juga menertawakan teman baruku yang bermain dengan perempuan, denganku. Ia mengatakan bahwa tak ada kata ibu jika kami sudah sampai di kotak besar ini. Jangan pernah berharap melihat apalagi mengetahui rupa ibu. Sejak awal dilahirkan kami adalah yatim piatu, begitu katanya, sampai dengan remaja dan dewasa nanti akan tetap begitu adanya. Bahkan sampai nanti mati, tubuhnya dikoyak sana – sini, jangan pernah harap walau hanya sedetik melihat ibu. Bagaimana bisa membedakan yang mana ibu jika ibu – ibu itu memiliki wujud yang sama.
Aku memerhatikan perkataan si anak angkuh dan sombong itu dengan seksama. Awalnya aku tidak percaya, bagimana mungkin ibuku sendiri akan menelantarkanku tanpa pernah mencariku. Namun, setelah beberapa bulan tinggal di kotak besar ini, bersama anak – anak yang merasa ditelantarkan, keyakinanku pada ibu perlahan terkikis sampai akhirnya tak ada sama sekali kata ibu yang keluar dari mulutku. Untuk apa ada ibu jika bersama anak – anak terlantar ini menyenangkan, apalagi bersama teman baruku yang dulu lahir di waktu yang sama denganku, kini bukan teman baruku lagi, statusnya berganti dari teman baru menjadi teman hidup.
Kami tak pernah mempermasalahkan lagi perkara ibu. Selama kami masih bersama tak perlu apa itu ibu, asal kami berdua bisa saling melindungi.  Ia selalu menjagaku dari remaja – remaja jahil yang gemar menggodaku. Dengan sigap a akan maju melawan siapapun yang berani menggangguku. Ia bukanlah kakakku dan aku tak mau ia menjadi kakakku. Karena, aku merasakan sesuatu hal yang lain padanya. Perasaan yang akan berubah menjadi rasa sakit hari jika kami beranggapan bahwa kami adalah saudara. Walaupun kami serupa itu tak menjamin bahwa kami semua adalah sekelompok saudara yang ditinggal ibu. Mungkin ini hanya cara Artemis saja agar kami  pandai bersyukur dan memiliki ciri khas yang nantinya akan menjadi pembeda antara satu dan lainnya.
Aku tak pernah mengatakan secara langsung bahwa aku menyukainya. Aku hanya selalu mengatakan bahwa aku senang berada di dekatnya dan aku senang ia selalu ada untuk melindungiku. Ia pun sama halnya denganku yang tak pernah mengatakan secara langsung bahwa ia menyukainya. Hanya saja lewat senyuman dan tindakannya aku tahu, cintaku tak bertepuk sebelah ceker.
Kami kini bukanlah anak – anak malang yang ditinggal ibu lagi, kini kami beranjak dewasa dan satu per satu dari kami mulai ditarik keluar dari kotak. Aku sedih saat melihat si anak angkuh dan sombong itu ditarik keluar oleh seorang besar yang dulu membawa kami ke kotak. Si anak angkuh sudah bukan anak – anak lagi. Dengan bahagia si besar dan dewasa angkuh itu pergi dengan suaranya yang melengking bahagia. Sejak awal aku memang tak mengerti dengan pola pikirnya, walaupun sesungguhnya aku sangat berterimakasih atas sarannya untuk melupakan ibu.
Kotak besar kini sudah tidak terlalu besar mengingat kami yang tumbuh semakin hari semakin besar. Isinya pun sudah tidak sesesak dulu. Satu per satu kawanku menghilang dan aku tak pernah mendengar kabar apapun darinya. Untunglah aku masih bisa bersama dengan teman hidupku. Setiap kali seorang besar yang sering mengambil kawan – kawanku datang, teman hidupku menyuruh aku untuk diam dan jangan bergerak sedikit pun, jangan mengepakkan sayap apalagi mengeluarkan suara. Sejauh ini rencan kami berhasil, aku dan ia tak pernah ditarik keluar.
Kawan – kawanku yang masih bertahan bersama di kotak ini merasa takjub dengan hubungan di antara kami. Tanpa aku meminta mereka menggelar pesta sederhana dan menjadikan aku serta teman hidupku bagai raja dan ratu semalam. Aku bahagia sekali. Rasa senangku tak bisa aku tutupi. Akhirnya hubungan aku dan dia menjadi shahih dengan ikrar ini. Aku berkokok di tengah malam dengan suara nyaring dan membungkam kawan – kawanku yang lain. Mereka mengatakan bahwa kokokku merdu sekali. Teman hidupku khawatir mendengar kokok merduku yag kini diketahui kawan – kawan yang lain. Ia segera menyudahi pesta malam ini dan kami kembali ke sudut kotak.
Apa yang ditakutkan teman hidupku sepertinya menjadi kenyataan. Seorang besar itu kini berdiri di hadapan kami dan terlihat kebingungan untuk memilih. Di baliknya berdiri seorang gadis manis yang terus saja merengek pada orang besar itu.
“Ayah, cepat! Aku mau makan”
“Sebentar, Nak”
“Ayah, aku sudah lapar”
Tiba – tiba tangan seorang besar itu meraih teman hidupku.
“Benar, Ayah. Itu saja, yang besar. Pasti dagingnya banyak”
Mereka pun pergi membawa teman hidupku untuk selamanya. Aku tak pernah mendengar kokoknya lagi atau bahkan kabarnya. Ia hilang, lenyap selamanya. Aku menangis setiap hari menunggunya yang tak pernah pulang. Hingga tiba giliranku yang pergi menyusulnya. Aku melawan, aku pasrah saja saat benda tajam itu mengiris leherku, membuatku kesulitan bernapas dan kehilangan kesadaran hingga kehilangan nyawa.
“Mau ayam goreng?”
“Enggak, terimakasih. Aku nggak makan ayam”
“Kamu vegetarian, sayang?”
“Enggak juga. Pernah kamu mendengar kisah sepasang ayam yang menikah lalu dipisahkan karena istilah ayam goreng, ayam bakar, ayam penyet, ayam rica – rica dan bumbu – bumbu lainnya?”
“Emang ada kisah kayak gitu, sayang?”
“Ada. Dan mungkin ayam goreng yang kamu pesan nanti adalah salah satu dari ayam – ayam yang sedih karena ditinggal pergi pasangannya yang sudah berubah menjadi ayam segala bumbu”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar